Epidemiolog Pertanyakan Publikasi Fakta Ilmiah Uji Klinik Fase 1 Vaksin Nusantara
Merdeka.com - Pengembangan vaksin Covid-19 Nusantara menjadi sorotan publik. Sebab, uji klinik fase satu vaksin yang menggunakan sel dendritik itu mengalami sejumlah persoalan. Di antaranya, pembuatan vaksin tidak steril dan data keamanan dihapus peneliti.
Akibatnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin kelanjutan uji klinik fase dua vaksin Nusantara. Namun, peneliti tetap melanjutkan uji coba vaksinnya kepada sejumlah subjek penelitian.
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo mempertanyakan pengembangan vaksin Nusantara. Dia mengaku heran ada dokter yang melanggar standar pengembangan vaksin.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
-
Siapa yang terlibat dalam penelitian Covid-19 ini? Tim peneliti yang dipimpin oleh Wellcome Sanger Institute dan University College London di Inggris menemukan respons kekebalan baru yang memberikan pertahanan garis depan yang kuat.
-
Kenapa Covid Pirola dikhawatirkan? Varian baru virus corona bernama Pirola tengah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia. Varian BA.2.86, yang dijuluki 'Pirola', adalah varian baru Omicron yang bermutasi dan memicu lonjakan kasus baru. Pirola memiliki lebih dari 30 mutasi penting, menurut Scott Roberts, spesialis penyakit menular Yale Medicine dikutip dari Al-Jazeera.
-
Apa yang ditemukan peneliti? Para peneliti menggambarkan spesies baru dari genus Calotes di Tiongkok selatan dan Vietnam utara.
-
Virus itu apa? Virus adalah mikroorganisme yang sangat kecil dan tidak memiliki sel. Virus merupakan parasit intraseluler obligat yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel organisme biologis.
-
Apa tujuan produksi vaksin dalam negeri? Kemandirian dalam produksi vaksin merupakan salah satu kebijakan utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
"Kenapa seorang ilmuwan yang kebetulan dokter kemudian ternyata menggunakan cara-cara yang tidak standar di dalam sebuah riset. Jangan-jangan ini sudah kebiasaannya, ya saya enggak tahu," katanya saat dihubungi merdeka.com, Jumat (16/4).
Windhu menegaskan, setiap pengembangan vaksin maupun obat harus mematuhi standar. Selain itu, pengembangan vaksin harus mengikuti arahan BPOM. BPOM, kata dia, merupakan benteng pengawas pembuatan vaksin, obat hingga makanan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat.
"Ayo kita kembali pada standar, standar ini sudah disepakati secara internasional demi keselamatan manusia. Ada standar etik, prosedur, kita jalankan," ujarnya.
Tak hanya itu, Windhu juga mempertanyakan publikasi fakta ilmiah uji klinik fase satu vaksin Nusantara. Dia mengaku hingga saat ini belum pernah mendengar dan membaca publikasi data uji klinik fase satu vaksin Nusantara baik di jurnal nasional maupun internasional.
"Saya enggak pernah dengar itu, enggak pernah membaca. Mudah-mudahan sudah ada tapi saya belum pernah baca. Para ahli lain juga merasa belum pernah membaca," ucap dia.
Windhu menambahkan, pada dasarnya, publikasi fakta ilmiah pengembangan vaksin melalui jurnal sangat penting. Melalui publikasi tersebut, peneliti bisa mendapat masukan mengenai penelitian atau kelayakan untuk memasuki tahap pengembangan vaksin berikutnya dari ahli virus maupun vaksin.
"Semua harus dipublikasikan, supaya direview oleh para ahli di bidangnya seperti virolog, mikrobiolog, vaksinolog, imunolog, epidemiolog sehingga dikatakan ini oke. Kita ini kalau melakukan penelitian ilmiah di bidang apapun selalu harus ada publikasi, di jurnal baik nasional maupun internasional. Jadi enggak diam-diam begitu, enggak boleh," tandasnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaDari 1.000 lebih perundungan yang di klarifikasi ternyata sebagian besar bukan perundungan. Hanya 30 persen atau 300 kasus
Baca SelengkapnyaMenkes angkat bicara mengenai efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca
Baca SelengkapnyaUndip menyayangkan penghentian sementara praktik Dekan FK Undip tersebut.
Baca SelengkapnyaKemenkes menegaskan, penelitian nyamuk wolbachia dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan World Mosquito Program (WMP).
Baca SelengkapnyaSejumlah elemen masyarakat menolak penyebaran nyamuk Wolbachia di Gedung Bappenas.
Baca SelengkapnyaSebelum dipecat, Dekan FK Unair dipanggil oleh Rektorat untuk mengklarifikasi pernyataan menolak program dokter asing di Indonesia.
Baca SelengkapnyaNamun kalau untuk yang komorbid, kata Menkes, risiko tetap ada karena virusnya tidak hilang.
Baca SelengkapnyaBudi menyatakan, praktik perundungan tidak hanya diakui Undip. Tapi juga dilaporkan peserta PPDS.
Baca SelengkapnyaTjandra Yoga Aditama mengatakan, tren peningkatan laju kasus Covid-19 di Indonesia dan sejumlah negara lain masih perlu diwaspadai.
Baca SelengkapnyaCovid-19 varian JN.1 dilaporkan berkaitan erat dengan varian BA.2.86 dan dikhawatirkan dapat mempengaruhi pola penularan dan tingkat keparahan penyakit.
Baca SelengkapnyaTemuan ini, merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh Kemenkes.
Baca Selengkapnya