Guru besar dan pakar Matematika ini bicara soal PR kelas 2 SD
Merdeka.com - PR Matematika milik Habibi, murid kelas 2 SD, yang dikerjakan oleh Erfas, sang kakak mahasiswa jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, menjadi pembicaraan hangat di media sosial.
Erfas mengajari Habibi jawaban 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24. Ternyata jawaban itu salah, versi guru yang benar adalah 4+4+4+4+4+4 = 6 x 4 = 24. Hasil sama namun konsep beda.
Persoalan tersebut mengundang komentar dari pakar hingga guru besar Matematika. Ada yang bersikap netral dan memberi penjelasan berdasarkan pemahaman masing-masing.
-
Bagaimana cara pendekatan pengajaran matematika berubah? Seperti halnya banyak mata pelajaran, pendekatan pengajaran dan pembelajaran matematika dapat berubah seiring berjalannya waktu.
-
Apa masalah PR matematika bagi murid dan orang tua? Permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini antara lain pekerjaan rumah yang terlalu sulit – bahkan dengan bantuan orang tua – serta pekerjaan yang menunda waktu tidur, melewati waktu bersama keluarga, dan menyebabkan perasaan tidak mampu dan frustrasi.
-
Apa PR matematika yang diminta bantuan? Anak tersebut kemudian memberikan soal desimal yang panjang, yang sayangnya tidak dapat diselesaikan oleh operator,' ungkap Lenzner kepada Good Morning America.
-
Buku apa yang paling laris di Indonesia? Diterbitkan pada tahun 1936, buku ini membanggakan prestasi luar biasa dengan penjualan lebih dari 15 juta eksemplar dan menjadi salah satu buku terlaris di Indonesia.
-
Siapa yang melakukan penelitian tentang PR matematika? Para peneliti, dari Universitas South Australia dan Universitas St Francis Xavier di Kanada, mewawancarai delapan keluarga Kanada, mengajukan pertanyaan tentang pengalaman mereka mengerjakan pekerjaan rumah matematika dan dampaknya terhadap keluarga.
-
Apa yang viral di media sosial? Sontak saja, momen tersebut menjadi sorotan hingga viral di media sosial.
Berikut lengkapnya:
Dosen Matematika UPI Bandung
Dosen matematika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Rizky Rosjanuardi menjelaskan rinci soal polemik tersebut. Menurutnya, tidak bisa disalahkan satu pihak dan membenarkan yang lain.Dia menjelaskan pokok permasalahan dengan dua sudut pandang, antara konsep dan konteks. Secara garis besar dapat dipahami pengertian konsep berkaitan terkait sesuatu yang abstrak. Namun secara ilmu matematika, konteks menjadi hal yang jauh lebih penting.Dia mencontohkan 4 X 6 dengan soal cerita. Secara konsep diartikan bahwa ada empat orang membawa enam kantong kresek, hal tersebut berbeda dengan konteks yang diartikan bahwa ada enam orang membawa empat kantong plastik."Bahwa secara konsep, 6 kali 4 bisa berbeda, tetapi matematika tidak selamanya dikatakan konsep 6 kali 4 bisa berbeda. Itu mengapa terjadi, karena matematika dipaksakan konseptual," kata Rizky saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (22/9).Menurutnya, permasalahan perbedaan tempat antara 4 dan 6 di soal siswa kelas 2 SD bukan hal yang urgen. Menjadi serius ketika guru memberikan pemahaman kontekstual terhadap konsep matematika anak SD. "Karena siswa berpikir konseptual," lanjutnya."Secara matematika sama, secara konteks bisa berbeda. Karena konteks nyangkut keseharian. Kalau dalam konsep abstrak, satu kali tiga bisa beda," terangnya.
Kemendikbud tidak menyalahkan jawaban siswa
Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, menjelaskan dalam penerapan Kurikulum 2013 ada dua aspek penting yang menjadi penilaian guru pada murid. Yakni aspek kemampuan dan penalaran."Dalam penalaran ini yang dipesankan, siswa diminta membuat jawaban untuk mencari pemecahan masalah tidak hanya satu jawaban," kata Ibnu saat dihubungi merdeka.com, Senin (22/9).Dalam kasus siswa kelas 2 di atas, guru memberikan soal 4+4+4+4+4+4=x=... Dalam hal itu, siswa berhak menjawab sesuai penalarannya yang dia rasa mendekati jawaban yang dimaksud."Nah dalam kasus itu, bisa saja si siswa memberikan jawaban sesuai penalarannya, yaitu 4x6 atau 6x4. Itu enggak salah, karena dalam penalaran enggak harus memberikan satu jawaban. Jika dia penalarannya mengasosiasikan 4x6 bisa benar, 6x4 juga benar," jelasnya.Dia menyayangkan perbuatan si guru yang langsung menyalahkan hasil kerja si anak. Ditambahkannya, seharusnya guru tidak memaksakan hasil kerja anak seperti yang dia inginkan."Seharusnya tidak terjadi itu, tidak musim lagi guru yang tidak sesuai dengan pikirannya lalu dianggap salah. Itukan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang," kritik Ibnu.Dia mencontohkan, misalnya ada kawat sepanjang 20 cm. Si guru memerintahkan siswa membentuk persegi."Nah terserah siswa membuat ukurannya seperti apa. Enggak harus 4cmx20cm, bisa 2cmx10cm," jelasnya.
Guru besar Matematika nilai buku Matematika masih uji coba
Guru Besar Matematika Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Darhim ikut berkomentar soal PR matematika anak SD yang bikin heboh media sosial. Menurut Darhim, buku matematika SD yang sekarang beredar bersifat uji coba, belum selesai direvisi."Intinya memang buku ajar masih belum benah benar. Ini bukunya masih uji coba, belum final," kata Darhim saat dihubungi merdeka.com, Senin (22/9).Darhim mengaku sudah mengetahui polemik PR tersebut dari media sosial. Namun dirinya enggan berkomentar inti permasalahan, lantaran buku ajar matematika belum sepenuhnya sempurna.Menurutnya, buku yang beredar sudah saatnya dilakukan revisi, dengan mendatangi semua stakeholder; penulis, tim ahli dan guru.Memang diakuinya, muatan pelajaran matematika untuk kelas 2 SD harus sudah mencantumkan unsur koneksi matematika. Yaitu menggabungkan dan mengaitkan ilmu matematika dengan kehidupan sehari-hari."Dalam kehidupan seperti dalam bentuk sains, bahasa dan IPS. Yang jelas berupa aktivitas manusia yang diambil, yang sesuai untuk mata pelajaran itu," terangnya.Itu pun, lanjut Darhim, harus dibatasi cuma pada aspek aktivitas sehari-hari yang familiar dengan siswa tersebut."Tematik untuk awal SD itu bagus. Artinya ilmu pengetahuan digali dari lingkungan belajar," sambungnya.Dengan metode ajar matematika seperti itu, siswa diyakini tidak lagi kesulitan mempelajari matematika di kemudian hari."Malah seharusnya tematik sampai kelas 3 SD. Kelas empat, lima dan enam tidak tematik. Semakin rendah semakin bayak ilmu murninya. Semakin tinggi semakin kelihatan ilmunya," ucap Darhim.
Pemerhati ilmu Matematika minta guru tidak kaku menilai
Pemerhati ilmu matematika, Adi Rio Arianto menilai peristiwa Habibi bisa terjadi karena guru itu dinilai kurang tanggap dengan perkembangan Matematika siswanya."Berhati-hatilah dan carilah metode yang paling efektif ketika memberi evaluasi kepada anak seusia Habibi," kata Adi Rio melalui e-mailnya kepada merdeka.com, Senin (22/9)."Terlepas dari anak tersebut yang sedikit perlu belajar lagi atau pendidiknya yang kurang tanggap dengan perkembangan matematika siswanya, saya pikir ini adalah masalah besar yang akan menentukan kualitas generasi manusia Indonesia ke depan. Manusia yang sudah mendapatkan pendidikan hari ini mestilah menjadi penentu bagi sejarah bangsa yang kesemuanya akan bergantung pada kualitas anak didik hari ini," imbuh Adi.Dia menilai, apa yang sedang terjadi pada anak seusia Habibi adalah pelajaran besar bagi para penggiat ilmu matematika di seluruh Indonesia."Mungkin ini terkesan sepele, namun ini adalah persoalan soft-skill anak bangsa Indonesia. Yah, ini menyangkut masa depan anak-anak Indonesia terkait perkembangan ilmu matematika yang mereka tekuni termasuk saya yang sudah berkecimpung dengan matematika sejak 24 tahun silam," ujarnya.Beberapa pertimbangan khusus ini jika tidak dilihat secara mendalam, kata Adi, jelas akan merugikan perkembangan dan kemampuan intelektual seseorang, tidak hanya bagi Habibi, tetapi juga bagi anak-anak lain yang baru akan, sedang, dan yang sudah menempuh pendidikan dasar seusia nya."Bagaimanapun juga anak-anak punya hak dasar untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dibarengi dengan metode yang layak pula. Saya pikir tidak hanya pihak institusi Komnas Anak-Anak, Asosiasi Pemerhati Ilmu Matematika Se-Indonesia, tetapi juga para pendidik termasuk orang tua siswa perlu mengevaluasi peristiwa di atas," pungkasnya.
Dosen Matematika ITB
Dosen Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmad Muchlis berkomentar soal polemik tersebut. Berikut penjelasannya kepada merdeka.com:Kepada mahasiswa, saya sering mengatakan bahwa dalam matematika itu bukan benar salahnya yang paling penting, melainkan pertanggungjawaban. Maksudnya begini, kalau Anda menyatakan sesuatu, berikan argumentasi untuk pernyataan Anda itu. Di sini kita bicara tentang sahih tidaknya argumentasi.Antara siswa SD dengan mahasiswa saya yang memang mau menjadi ahli dalam matematika pastilah berbeda. Untuk mahasiswa, metodologi matematika menuntut persyaratan yang lebih ketat. Itu tentunya terlalu berat buat anak SD.Nah sekarang 4+4+4+4+4+4 itu sama dengan 6x4 atau 4x6? Menurut saya sih lihat saja argumentasinya. Sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, sesuai dengan levelnya, terima saja. Kalau guru mengatakan 6x4 itu lebih banyak bersifat konvensi, kesepakatan. Ada yang tidak sepakat? Silakan saja, tetapi beri argumentasi yang baik.Apa yang saya sampaikan di atas lebih sesuai dengan esensi matematika dan belajar matematika.Ingat bahwa matematika yang sekarang ini dulunya dinamai ilmu pasti. Mengapa nama ilmu pasti tidak digunakan lagi? Karena memang nama itu tidak tepat.Mudah-mudahan tidak membuat lebih bingung.Menurut saya, yang lebih penting untuk dapat ditangkap siswa SD daripada 4+4+4+4+4+4 itu 6x4 atau 4x6 adalah gagasan tentang mengapa 6x4=4x6.
Pakar pendidikan Arief Rachman
Pakar pendidikan Arief Rachman mengatakan, dalam pembelajaran matematika proses mendapatkan hasil jawaban sangat penting. Meski melalui proses yang berbeda dan mendapatkan hasil sama menurutnya tidak ada yang bisa disalahkan."Keunggulan proses lebih penting daripada keunggulan hasil. Bagaimana proses mereka mendapatkan hasil itu yang harus diargumentasikan," kata Arief kepada merdeka.com, Senin (22/9).Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini melanjutkan, di dalam evaluasi ada kebenaran ilmu tertentu secara ilmiah. Kebenaran ilmu bisa diuji oleh diskusi. Menurutnya kalau mengacu dari permasalahan tersebut tentu yang disalahkan adalah sang guru."Tapikan kita belum tahu bagaimana cara guru tersebut menilai. Ini memang sering terjadi, ada kemungkinan guru keliru ada kemungkinan murid keliru. Semua ini seharusnya didiskusikan oleh yang bersangkutan," jelas Arief.Arief mengatakan, pemberian nilai setiap guru kepada muridnya memang berbeda-beda. Dia mencontohkan, dalam kasus ini bisa saja guru matematika yang lain membenarkan jawaban yang dibuat oleh Habibi."Saya melihat kalau keduanya merasa benar ini tidak menyelesaikan masalah. Apalagi sampai dimasukkan media sosial. Untuk menyelesaikan masalah seharusnya, orangtua murid, guru yang bersangkutan, dan pihak sekolah duduk bareng membahas hal ini," jelasnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Yakni, meningkatkan kualitas ilmu sains dan teknologi yang diperoleh siswa terutama siswa SD.
Baca SelengkapnyaPresiden RI Prabowo Subianto meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti memperbaiki metode pembelajaran Matematika.
Baca SelengkapnyaTerbaru, Mbah Melan menjadi sorotan usai hadir di kanal YouTube Deddy Corbuzier.
Baca SelengkapnyaSebuah video yang diunggah oleh akun Instagram seorang guru @julaehaju menunjukan mirisnya kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.
Baca SelengkapnyaApa jadinya jika siswi kelas 9 tak mampu menjawab pertanyaan seputar penjumlahan dan perkalian?
Baca SelengkapnyaDugaan jual beli buku dan seragam di sekolah Situbondo menggegerkan masyarakat. Begini faktanya.
Baca SelengkapnyaPara ahli mengingatkan agar orang tua lebih bijak dalam memilih cara mendidik anak.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi memberikan pertanyaan matematika kepada anak-anak di Papua
Baca SelengkapnyaWarganet mengaku mengalami peningkatan nilai usai mengikuti kelas online dari sang kakek.
Baca SelengkapnyaAnies menilai kesuksesan pendidikan ditentukan oleh guru yang berkualitas, bukan kurikulum yang diotak-atik.
Baca SelengkapnyaMendikdasmen Abdul Mu'ti memperkenalkan metode belajar matematika untuk siswa PAUD
Baca SelengkapnyaBudi menyatakan bahwa mereka sudah kembali mulai Selasa (23/7) ini dan mengajar sesuai dengan tugasnya.
Baca Selengkapnya