Hukuman dan Eksekutor Kebiri untuk Paedofil Menurut Ahli Hukum Pidana
Merdeka.com - Sulitnya proses eksekusi pelaksanaan kebiri kimia untuk terpidana pemerkosaan di Mojokerto membuat ahli hukum ikut angkat bicara. Meski undang-undang sudah mensyaratkan jika hukuman tersebut boleh dilaksanakan, tapi ternyata tidak sekarang.
Hal ini lah yang dikatakan oleh Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki. Ia mengatakan, eksekusi pengebirian terpidana yang sudah ditetapkan dalam amar putusan hakim, wajib dilaksanakan oleh eksekutor.
"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegasnya, Senin (26/8).
-
Apa saja yang diatur UU ITE baru tentang perlindungan anak? 'Revisi kedua UU ITE akan menjadi momentum bagus untuk memasukkan perlindungan hak anak dalam mengakses layanan internet dan dunia digital. Harus ada upaya preventif agar konten-konten di dunia maya tidak merugikan anak-anak,'
-
Kenapa revisi kedua UU ITE jadi momentum perlindungan anak? Revisi kedua UU ITE dianggap sebagai momentum perlidungan hak anak di ruang digital. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen APTIKA) Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan Perubahan Kedua (UU ITE) akan meningkatkan perlidungan anak-anak yang mengakses layanan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
-
Bagaimana UU ITE baru lindungi anak dari konten dewasa? 'Hak anak juga harus dilindungi jangan sampai terekspos melebihi usianya. Mereka harus mendeteksi apakah banyak anak-anak yang menggunakan platform buatan mereka. Jadi, ketika memang bisa diakses oleh anak mereka harus dan berkewajiban menghapus segala konten dewasa di platformnya,' jelasnya.
-
Bagaimana proses pembuatan UU KIP? “Dulu ada tiga draf, draf dari DPR, draf dari LIN, draf dari masyarakat. Karena ini inisiatif oleh Baleg, UU inisiatif itu dulu sangat mahal, inilah kemenangan dari reformasi. apapun Undang-Undang yang bersangkutan demokratisasi kita akan dahulukan,“ katanya.
-
Apa yang dilakukan pelaku pada korban? 'Korban meninggal akibat kekerasan. Ini peristiwa pembunuhan dengan tindak kekerasan, ditali, dicekik. Kami penyidik melakukan penyidikan pembunuhan, tidak soal lain,' kata Endriadi.
-
Apa yang dilakukan pelaku kepada korban? Mereka melakukan tindakan kekerasan fisik kepada korban.
Lalu, bagaimana jika dokter yang diminta jaksa menolak karena bertentangan dengan prinsip maupun keilmuan kedokteran, Yusron mengatakan, pada prinsipnya tidak ada seorang warga negara pun yang dapat menolak undang-undang atau aturan negara.
Sebab, jika aturan dalam undang-undang telah 'memerintahkan', maka semua orang dianggap tahu dan wajib melaksanakan perintah undang-undang tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika dokter tidak setuju dan berencana 'melawan' perintah undang-undang tersebut, dapat menyalurkannya sesuai dengan jalur konstitusi.
"Dokter harus tunduk dan patuh terhadap hukum negara. Kalau dokter tidak setuju atau menolak hukuman kebiri, jalannya bisa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi prinsipnya, semua pihak wajib melaksanakan aturan undang-undang, tidak bisa menolak," tambahnya.
Terkait dengan pelaksanaan teknis pengebirian itu sendiri, Yusron menyatakan telah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (diubah UU nomor 35 tahun 2014).
Ia menjelaskan, Perpu itu, tepatnya pasal 81A, mengatur tentang kapan waktu pelaksanaan kebiri kimia harus dilakukan. Pasal 81A menyebut "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok."
"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ungkapnya.
Jadi, jaksa dianggapnya masih memiliki waktu yang cukup panjang, sembari mempersiapkan perangkat teknis eksekusi. "Yang saya tahu dari media, terpidana kan divonis 12 tahun penjara ya. Jadi, setelah masa pidana pokok selesai, baru jaksa melaksanakan hukuman tambahannya. Aturannya demikian, masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan," tegasnya.
Sebelumnya, Muhammad Aris sejak 2015 lalu terbukti telah mencabuli 9 anak yang tersebar di Wilayah Mojokerto. Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las dia mencari mangsa, kemudian membujuk korbannya dengan iming-iming dan membawanya ke tempatnya sepi lalu melakukan perbuatan asusila pada korban.
Namun nahas, aksi pelaku sempat terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis (25/10) sekitar pukul 16.30 WIB. Dan akhirnya pelaku berhasil diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.
Lalu, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menjatuhkan vonis bersalah pada Aris karena melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019.
Hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pun dijatuhkan pada Aris. Sebagai hukuman tambahan, hakim memerintahkan pada jaksa agar melakukan 'kebiri kimia'.
Dalam kasus ini, Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan.
Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap, lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi.
Jangan Lewatkan:
Ikuti Polling Setuju Atau Tidak Paedofil Dihukum Kebiri Kimia? Klik disini
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Nasib tragis dialami dua kakak beradik disabilitas di Purworejo. Keduanya jadi korban pencabulan oleh tiga pelaku.
Baca SelengkapnyaSaat tersangka beraksi kedua kali, korban merekamnya untuk dijadikan barang bukti.
Baca SelengkapnyaRevisi UU ITE kedua dianggap sebagai momentum perlidungan hak anak di ruang digital.
Baca Selengkapnya