ICW: Putusan MK Menghendaki Model Baru Pemberian Remisi
Merdeka.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021 tidak menghapus pembatasan remisi bagi narapidana korupsi.
"Mahkamah bukan membuka remisi untuk narapidana korupsi, tetapi menghendaki model baru pemberian remisi," kata Kurnia, di Jakarta, Rabu,
Pernyataan tersebut menanggapi putusan MK pada 30 September 2021 terhadap uji materiil yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Otto Cornelis Kaligis (OC) Kaligis terkait syarat pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana (napi).
-
Apa hak utama warga negara dalam hukum dan pemerintahan? Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-
Kenapa hukum dibuat? Hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan, ketentraman sekaligus keamanan.
-
Siapa saja yang wajib patuhi hukum? Menurut Aristoteles hukum tidak hanya memiliki arti kumpulan aturan yang bisa mengikat dan berlaku kepada masyarakat saja. Namun juga berlaku kepada hakim itu sendiri. Dengan kata lain, hukum tak diperuntukkan dan ditaati oleh masyarakat saja, namun juga wajib dipatuhi oleh para pejabat negara.
-
Mengapa norma hukum bisa dibilang fakta sosial? Contohnya adalah peraturan mengenai larangan mencuri, yang dapat kita lihat dalam Undang-Undang Pidana. Aturan ini menjadi fakta sosial yang hadir dalam bentuk material, karena dapat kita baca, pelajari, dan terlihat secara fisik.
-
Siapa yang berhak atas legalisasi aset? Legalisasi aset merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.
-
Kenapa hukum penting untuk masyarakat? Adanya hukum membuat kehidupan sosial masyarakat lebih teratur dan tertib. Berikut adalah tujuan dan fungsi hukum selengkapnya.
MK memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Kamis (30/9), namun menyatakan semua napi memiliki hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali.
"MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012, namun permasalahannya adalah pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan," jelas Kurnia.
Dari pertimbangan tersebut, menurut Kurnia, muncul kesan baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan suatu kesalahan.
"Padahal, MK sendiri dalam putusan tersebut sudah menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya. Maka putusan MK tersebut jelas 'error in objecto' karena membahas sesuatu yang bukan objek perkaranya," terangnya.
Kurnia juga menilai, majelis hakim konstitusi memaksakan diri mengeluarkan pendapat, sehingga membuka ruang tafsir berbeda di tengah masyarakat. Selain itu, putusan MK dinilai tidak tegas, meski MK sama sekali tidak membatalkan peraturan-peraturan yang ada terkait remisi.
"Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK terdahulu, maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan. Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi putusan-putusan sebelumnya," ungkapnya.
Ketidaktegasan itu disebut makin memperlihatkan ketiadaan "sense of crisis" terhadap kejahatan korupsi di Indonesia, padahal praktik korupsi masih menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat.
"Tidak hanya itu, MK juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai 'extraordinary crime' yang membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, sehingga kalau seluruh terpidana tanpa terkecuali dapat dengan mudah mendapatkan remisi, berarti menyamaratakan semua tindak pidana," kata Kurnia.
Padahal putusan-putusan MK sebelumnya dengan tegas mengesahkan pembatasan hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi.
Terlebih dalam salah satu butir pandangannya, MK menyebutkan bahwa persyaratan pemberian remisi bagi terpidana dengan kejahatan khusus berdampak pada situasi "overcrowded" di lembaga pemasyarakatan.
"Jelas pandangan MK keliru, sebab mengacu pada data per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) jika dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan (270.445 orang). Dalam konteks kejahatan lain, misalnya, narkoba, sepertinya permasalahannya bukan pada pengetatan remisi, melainkan undang-undang dan implementasi dari penegak hukum," kata Kurnia seperti dilansir dari Antara.
Sehingga ICW berkesimpulan putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 tersebut tidak dapat dijadikan alasan mengubah PP 99/2012 yang mengatur syarat remisi bagi terpidana koruptor, salah satunya adalah ditetapkan sebagai "justice collaborator" yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara.
"Mahkamah sama sekali tidak berwenang menafsirkan apa pun yang diatur dalam PP Nomor 99/2012, sebab PP itu bukan objek kewenangannya. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, sehingga pemerintah tidak dapat berargumentasi terhadap pandangan mahkamah di luar objek permohonan untuk mengubah PP 99/2012 yang memberikan pembatasan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk korupsi," ujarnya.
Dalam putusannya, MK berpendapat, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, termasuk dalam hal ini menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang.
Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan, karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights).
MK menyebut persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga harus mempertimbangkan dampak 'overcrowded' di lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Karena itu, menurut Mahkamah, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Badan Legislasi DPR menyatakan akan berupaya untuk menyusun RUU Keimigrasian sedemikian rupa.
Baca SelengkapnyaBebas bersyarat itu apa? Berikut penjelasan bebas bersyarat, lengkap dengan tujuan dan alurnya.
Baca SelengkapnyaSeperti diketahui, MK baru saja mengeluarkan putusan mengubah syarat Pilkada.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK
Baca SelengkapnyaMenkumham Supratman Andi Agtas menilai hak pembebasan bersyarat yang diberikan oleh Ditjen Pemasyarakatan kepada Jessica Kumala Wongso telah memenuhi ketentuan.
Baca SelengkapnyaOrang yang dapat ditolak pihak imigrasi bepergian ke luar negeri sebatas orang yang diperlukan untuk kepentingan penyidikan.
Baca SelengkapnyaPutusan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024, yang salah satu poin utamanya menyentuh mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Baca SelengkapnyaKUHP baru yang akan berlaku 2026 lebih mengedepankan penegakan hukum dengan cara keadilan restorasi atau restorative justice.
Baca Selengkapnya