Ironi nenek Sandinem dibelit kemiskinan dan jaminan sosial
Merdeka.com - Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di depan rumah Sandinem Wartem (80), janda tua beranak dua tersebut. Sesekali mereka bercerita tentang kehidupan sehari-hari Sandinem di gubuk reyot yang ditinggalinya sejak puluhan tahun itu.
Potret rumah tinggal Sandinem dan keluarganya, jauh dari kata cukup. Maklum saja, kedua anaknya mengalami depresi sejak 10 tahunan lebih. Sandinem sendiri menjanda saat usianya 60 tahun, karena suami tercintanya meninggal sekitar 20 tahun silam. Rumah reyot berukuran panjang empat meter dengan lebar lima meter itu, masih tetap berdiri meski beberapa bagiannya sudah rusak dimakan usia.
Dinding rumah yang hanya berupa anyaman bambu, mulai nampak rampuh dimakan usia. Pun bagian depan rumah tak ubahnya seperti rumah rusak. Dalam rumah beralas tanah, Sandimen Wartem tinggal bersama kedua anaknya, Saliah (50) dan Narwan (43) di Grumbul Datar RT 01/RW 08 Desa Pageraji Cilongok Banyumas Jawa Tengah. Hidupnya jauh dari hiruk pikuk modernitas masyarakat yang tempat tinggalnya sudah teraliri listrik. Tak ada televisi, radio atau benda listrik lainnya.
-
Siapa yang tinggal di rumah nyaris roboh? Sang pemilik, Abun (63), tak bisa berbuat banyak lantaran hidup di bawah garis kemiskinan.
-
Kenapa tempat tinggal Samudi sangat memprihatinkan? Ia pun hanya bisa pasrah dan berbuat sebisanya untuk menyambung hidup.
-
Siapa yang tinggal di rumah tak layak huni? Sudah 15 tahun terakhir, ia tinggal di bangunan tak layak itu bersama suami dan seorang anaknya.
-
Apa itu Broken Home? Broken home merupakan kondisi ketika keluarga tidak utuh. Sederhananya, orang tua yang bercerai bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental sang anak. Kondisi ini yang kemudian membuat seseorang disebut sebagai anak broken home.
-
Bagaimana kondisi rumah? Meskipun demikian, menariknya beberapa perabotan masih tersusun rapi.
-
Siapa yang terdampak broken home? Dan dampaknya? Lebih kepada anak-anak.
Pun selama ini, Sandinem hanya mengandalkan kayu bakar untuk memasak. Dalam rumahnya, hanya ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur yang semuanya disanggah bambu dan nyaris ambruk. "Ya seperti ini kondisinya," ujar Sadinem yang hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Banyumas.
Menurut Ketua RT 01/RW 08 tempat Sandinem tinggal, Ahmad Solekhudin Yanto, rumah Sandinem sudah berkali-kali diperbaiki warga. Namun kondisinya, selalu rusak lantaran tak ada keluarga Sandinem yang mampu merawat rumah tersebut. Selain itu, kondisi keluarga Sandinem saat ini hanya mengandalkan belas kasih warga sekitar.
"Sejak saya menjadi ketua RT, nama keluarga Bu Sandinem tidak termasuk dalam keluarga penerima Jamksesmas. Mereka hanya mendapat raskin yang selama ini harus diambil sendiri. Padahal, Ibu Sandinem mengalami kesulitan untuk berjalan," ujarnya.
Kepedulian masyarakat di lingkungan tempat tinggal Sandinem, jelasnya, cukup tinggi. Meski begitu, Yanto mengaku warga tidak semuanya memiliki kemampuan berlebih secara ekonomi. "Kami sebenarnya berharap ada bantuan dari pemerintah untuk membantu Ibu Sandinem," jelasnya.
Meski tinggal di rumah yang nyaris roboh, Sandinem menerimanya dengan lapang dada. Diakuinya, beberapa waktu terakhir ada beberapa bantuan yang didapatnya dari warga yang datang. "Biasanya mereka meminta saya untuk memegang uang, biasanya uang itu untuk keperluan sehari-hari," ucap Sandinem yang saat ini berjalan dengan menggunakan tongkat berukuran satu meter.
Sebenarnya selama ini Sandinem mengandalkan hasil penjualan kayu bakar yang dikumpulkan kedua anaknya untuk bertahan hidup. Namun, diakuinya kayu bakar yang dikumpulkannya tidak ada pembeli. Harga seikat kayu bakar dijual dari Rp 500 hingga Rp 10 ribu.
"Nek se-iket cilik 500 perak, sing ikat gede 10 ewu, tapi kayu udu blarak. Nek blarak mung 500 perak se-iket cilik (Kalau satu ikat Rp 500 satu ikat besar Rp 10 ribu untuk kayu, bukan daun kelapa. Kalau daun kepala hanya Rp 500 satu ikat kecil)," kata Sandinem.
Usai adzan zuhur berkumandang, Sandinem menutup pintu depan rumahnya menggunakan papan dan anyaman bambu yang sudah menghitam. Ia pamit menuju sumur milik tetangganya dan harus berjalan sekitar 15 meter dari rumahnya dengan menggunakan tongkat dan menenteng sendal jepit. "Saya mau sembahyang dulu," ucapnya dalam bahasa banyumasan.
Tak berapa lama, dia kembali dalam kondisi segar usai membasuh badannya. Tak lama, ia bergegas menuju kamarnya yang sebagian besar dinding terbuat dari anyaman bambu dan sudah bolong karena lapuk. Perlahan ia menggunakan mukenanya di atas tempat tidur yang sekaligus menjadi tempat sandangnya. Mukena lusuh pun dikenakan untuk menunaikan ibadah di atas dipan bambu yang beralas kasur tipis.
Sementara di dapur, anaknya Sailah mengupas ganyong, makanan dari umbi-umbian, untuk mengganjal rasa lapar. Sesekali, Sailah berbicara sendiri sambil mengupas helai demi helai kulit ganyong. Menurut seorang tetangganya, Amriah (50), Sailah sudah lama sekali mengalami depresi. "Dari dulu saya tinggal di sini, kondisinya (Sailah) seperti itu," ucapnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi adik Sailah, Narwan yang juga mengalami depresi sekitar sepuluh tahun lalu. Meski begitu, Amriah dan warga sekitarnya berharap ada perhatian untuk keluarga Sadinem yang saat ini tinggal di gubuk tersebut.
(mdk/hhw)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Begitu miris, ia hanya bisa memakan menu nasi dan micin serta tinggal di gubuk tak layak
Baca SelengkapnyaKakek Sanusi kini hanya mengandalkan pemberian tetangga untuk sekedar makan dan bertahan hidup.
Baca SelengkapnyaWalau hidup serba kekurangan, ia tampak selalu tersenyum
Baca SelengkapnyaSetiap hari Ngadenin (63) harus berjalan melalui selokan sempit yang menjadi akses satu-satu jalan ke rumahnya.
Baca SelengkapnyaKondisi rumah kakek pembuat gula merah berusia 82 tahun ini memprihatinkan bahkan nyaris roboh.
Baca SelengkapnyaKondisi rumah Idris rapuh. Atapnya terbuat dari daun rumbia yang hampir hancur, dinding anyaman bambunya juga berlubang dan penuh rongga. Ia butuh bantuan.
Baca SelengkapnyaSeorang gadis asal pelosok Sukabumi, Jawa Barat sempat mencuri perhatian warganet di media sosial.
Baca SelengkapnyaUntuk bertahan hidup, kakek Samudi hanya melakukan usaha sebisanya yakni dengan berjualan daun singkong.
Baca SelengkapnyaTerungkap, berkebun menjadi salah satu kegiatan yang digemari.
Baca SelengkapnyaWalau usianya telah renta, namun Mbah Soiman masih bekerja keras di ladang
Baca SelengkapnyaYadi dan Onih jadi salah satu warga Kota Sukabumi yang hidup dalam garis kemiskinan dan membutuhkan bantuan.
Baca SelengkapnyaKakek di Gorontalo hanya santap parutan kelapa untuk mengganjal perut lapar hingga disorot warganet.
Baca Selengkapnya