Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Jaksa Agung Ungkap Alasan Ingin Hukum Mati Koruptor: Memiskinkan Tak Cukup!

Jaksa Agung Ungkap Alasan Ingin Hukum Mati Koruptor: Memiskinkan Tak Cukup! Jaksa Agung Berikan Amanat pada Upacara Hari Bhakti Adhyaksa ke-61. ©2021 Merdeka.com

Merdeka.com - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap alasannya semangat dalam menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia. Menurut dia, seringkali upaya penegakkan hukum yang dilakukan sekarang tak cukup untuk memberantas kejahatan korupsi.

Dia beranggapan, saat ini banyak upaya penegakkan hukum, seperti memiskinkan pelaku hingga tindakan represif lain. Tapi tindakant tersebut justru tak memberikan efek jera bagi pelaku.

"Upaya tersebut ternyata belum cukup memberantas kejahatan korupsi. Karena itu kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan hukum, dengan menerapkan hukuman mati," kata Burhanuddin saat hadir dalam diskusi yang digelar Fakultas Hukum Unsoed, Kamis (18/11).

Orang lain juga bertanya?

Burhanuddin mengatakan, selama ini pihaknya telah mencoba memberikan efek jera dengan memberikan tuntutan maksimal sesuai dengan tingkat kejahatannya. Kemudian, kata dia, pihaknya juga mengubah pola pendekatan follow the suspect (tersangka) menjadi follow the money dan follow the asset untuk mendalami perkara. Hal itu kemudian yang akan berujung pada perampasan aset.

"Memiskinkan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset recovery. Sehingga, penegakkan hukum tidak hanya pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan secara maksimal," ucap dia lagi.

Jaksa, kata dia, juga telah berupaya menyeleksi pemberian justice collaborator (JC) bagi para koruptor yang terjerat. Lalu, upaya hukum lain melalui sistem keperdataan juga sempat diupayakan kepada koruptor yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun ditemukan ada kerugian keuangan negara dalam peristiwa tersebut.

Namun demikian, kata dia, semua upaya tersebut masih belum dapat memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Sehingga, pendakatan yang lebih ekstrem untuk mengupayakan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa korupsi tengah dikaji dan diupayakan oleh Kejaksaan.

"Terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, tentunya akan menimbulkan pro kontra," jelas dia.

"Keberadaan sanski pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," tambah dia.

Boleh dalam UU

Apalagi, kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.

Dia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.

Misalnya, kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.

Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang. Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.

Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai, konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.

"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya.

Contoh Kasus

Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana tersebut berkaca dari dua kasus korupsi kelas kakap yang digarap oleh Kejagung, yakni pengelolaan dana keuangan dan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Kasus Jiwasraya berdampak pada banyak masyarakat luas ataupun para pegawai yang mendapat jaminan sosial tak terpenuhi haknya. Diketahui, kasus itu merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.

Hal serupa juga kembali terjadi pada kasus korupsi Asabri yang turut merugikan hak-hak prajurit di Indonesia. Dimana, mereka memiliki harapan untuk masa pensiun dan masa depan keluarganya lewat asuransi yang dikelola perusahaan pelat merah itu.

Dalam kasus Asabri, total ada delapan terdakwa yang telah diseret ke meja hijau. Mereka didakwa Jaksa merugikan keuangan negara Rp22,7 triliun akibat kasus mega korupsi yang terjadi pada perusahaan pelat merah itu.

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Jaksa Agung Bicara Ancaman Miskinkan Koruptor Sebut Tak Cukup Cuma di Penjara
Jaksa Agung Bicara Ancaman Miskinkan Koruptor Sebut Tak Cukup Cuma di Penjara

Perlu upaya lain yakni mampu mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan.

Baca Selengkapnya
Prabowo Dinilai Tepat Tunjuk ST Burhanuddin Jadi Jaksa Agung, Ini Sepak Terjangnya
Prabowo Dinilai Tepat Tunjuk ST Burhanuddin Jadi Jaksa Agung, Ini Sepak Terjangnya

Presiden Prabowo Subianto menunjuk Sanitiar Burhanuddin sebagai Jaksa Agung periode 2024-2029, Minggu (20/10).

Baca Selengkapnya
VIDEO: Ide Galak Ahok Tolak Hukuman Mati Koruptor Pilih Dimiskinkan
VIDEO: Ide Galak Ahok Tolak Hukuman Mati Koruptor Pilih Dimiskinkan "Biar Makin Sengsara di Penjara!"

Ahok lebih memilih koruptor dimiskinkan dan dihukum penjara seumur hidup

Baca Selengkapnya
Tegas, Jaksa Agung Ancam Tindak Kajari Jika Tak Perbaiki Sistem Usai Usut Kasus Korupsi
Tegas, Jaksa Agung Ancam Tindak Kajari Jika Tak Perbaiki Sistem Usai Usut Kasus Korupsi

Peringatan itu disampaikan Burhanuddin dalam Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di SICC, Bogor, Kamis (7/11).

Baca Selengkapnya
VIDEO: Ide Galak Ahok Tolak Hukuman Mati Koruptor Pilih Dimiskinkan Biar Makin Sengsara di Penjara!
VIDEO: Ide Galak Ahok Tolak Hukuman Mati Koruptor Pilih Dimiskinkan Biar Makin Sengsara di Penjara!

Basuki Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok tak setuju jika koruptor dihukum mati. Alasannya, hukuman mati para koruptor tidak akan menyelesaikan masalah.

Baca Selengkapnya
Jokowi: Korupsi Sekarang Makin Canggih, Menggunakan Teknologi Mutakhir
Jokowi: Korupsi Sekarang Makin Canggih, Menggunakan Teknologi Mutakhir

Jokowi mengatakan, saat ini korupsi semakin canggih dan kompleks, serta menggunakan teknologi mutakhir.

Baca Selengkapnya
Harapan KPK ke Presiden Terpilih, Segera Sahkan RUU Perampasan Aset
Harapan KPK ke Presiden Terpilih, Segera Sahkan RUU Perampasan Aset

Kepada presiden terpilih KPK berharap RUU Perampasan Asen disahkan

Baca Selengkapnya
Mahfud MD: Saya Setuju Koruptor Dijatuhi Hukuman Mati
Mahfud MD: Saya Setuju Koruptor Dijatuhi Hukuman Mati

Mahfud menjelaskan dalam Undang-Undang yang saat ini bisa saja menerapkan hukuman mati bagi koruptor.

Baca Selengkapnya
Bukan Kirim Koruptor ke Nusakambangan, Ini Cara Anies Berantas Korupsi Jika Menang Pilpres
Bukan Kirim Koruptor ke Nusakambangan, Ini Cara Anies Berantas Korupsi Jika Menang Pilpres

Menurut Anies, mengirim koruptor ke Nusakambangan bukan cara efekif untuk memberantas korupsi.

Baca Selengkapnya
Kejagung Siap 'Sikat' Jaksa yang Mencoreng Institusinya
Kejagung Siap 'Sikat' Jaksa yang Mencoreng Institusinya

Kejagung siap pecat anggota yang terbukti bersalah

Baca Selengkapnya
Pejabat Banyak yang Korupsi, Jokowi: Kita Perlu Evaluasi Total
Pejabat Banyak yang Korupsi, Jokowi: Kita Perlu Evaluasi Total

Perlu ada evaluasi total karena banyak perjabat Indonesia yang terjerat korupsi

Baca Selengkapnya
Megawati Minta KPK Dibubarkan, Anas Urbaningrum: Saya Duga Beliau Bercanda
Megawati Minta KPK Dibubarkan, Anas Urbaningrum: Saya Duga Beliau Bercanda

Sebelumnya, Megawati meminta Presiden Jokowi untuk membubarkan KPK.

Baca Selengkapnya