Jazz Atas Awan, sensasi nol derajat celcius dan jazz kaum proletar

Merdeka.com - Hawa dingin di dataran Tinggi Dieng Banjarnegara Jawa Tengah masih terasa menusuk tulang. Suhu nol derajat celcius ketika mendekati tengah malam, tak membuat seluruh penonton beranjak dari gelaran Jazz Atas Awan yang menjadi bagian rangkaian dari Festival Kebudayaan Dieng 2015.

Berbagai penonton dari kalangan usia, terlihat ramai memadati Kompleks Candi Arjuna. Untuk mengusir hawa dingin, penonton pun mengenakan jaket hingga sarung. Bahkan, sebagian lainnya terlihat asyik membakar jagung di atas tungku tanah liat.

Bagi sebagian besar penonton, sensasi menonton pertunjukan jazz di kawasan Dieng merupakan hal yang baru dan menarik, seperti yang dikemukakan seorang penonton asal Semarang, Mega Yulinda (23).

"Biasanya musik Jazz ditampilkan di tempat-tempat yang eksklusif. Namun, kali ini di ruang terbuka dengan pemandangan alam yang indah," ujarnya.

Tak hanya Mega, kesan asyik dan menarik juga diungkapkan pengunjung dari wisatawan asal New Zeland, Sarah (25). Menurutnya, suasana yang dingin saat menyaksikan pertunjukan jazz menambah sensasi. "Suasananya cukup dingin dengan musik yang asyik," ucapnya.

Di tengah penonton yang datang, personel Slank, Bimbim dan Ivanka pun mengaku baru kali pertama menyaksikan gelaran yang dilakukan setahun sekali. "Ini baru pertama kali ke sini, setelah beberapa tahun (penyelenggaraan). Asyik dengan suasana gunung dan apresiasi seni yang tinggi," ucap Bimbim.

Tak hanya penonton, hawa dingin Dieng yang mencapai suhu di bawah nol derajat celcius juga menjadi tantangan sendiri bagi penampil dalam ajang tersebut.

Pengisi acara dari band Absurd Nation, Naga Gultom vokalis Absurd Nation Semarang mengaku mendapat tantangan terutama soal pernapasan.

"Kita persiapkan fisik sebelum tampil, karena Di sini, oksigen tidak terlalu banyak. Tetapi yang penting sebenarnya persiapan mental," katanya yang sudah kali ketiga tampil di acara tersebut.

Sementara itu, panitia Jazz Atas Awan, Budi Hermanto mengatakan pilihan musik jazz untuk digelar dalam acara ini karena ingin menjadikan jazz sebagai bagian dari napas kehidupan untuk saling toleran satu dengan lainnya.

"Jazz sepengetahuan saya adalah musik kelompok kaum proletar dan saya menimbang kalau di daerah yang sangat dingin tidak cocok jika digelar musik rock," ujarnya.

Acara tersebut, jelasnya, sengaja didesain berbeda. Menurut dia, Dieng dipilih untuk menyajikan pertunjukan yang menyatu dengan alam. "Pakai sarung pun bisa menyaksikan di sini. Kami ingin membangun semangat bersama. Jazz sebagai napas kehidupan," katanya.

Dari pantauan Budhi, jumlah penonton gelaran ini juga cukup meningkat dibanding tahun lalu. "Saya juga bingung kenapa banyak penonton datang ke Dieng untuk nonton jazz di suasana yang dingin, tetapi saya berterimakasih atas apresiasinya," ucapnya.

Dalam gelaran itu ada tujuh grup jazz dari beberapa grup jazz di Indonesia yang menyatakan siap tampil. "Jakarta tiga, Semarang satu dan Solo satu. Sisanya lokal," katanya. (mdk/hhw)