Kasus-kasus korban salah tangkap polisi yang paling menyedihkan
Merdeka.com - Kualitas penegakan hukum sebuah negara, dapat dilihat dari proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukumnya. Maka, kasus-kasus di sekitar penegakan hukum, termasuk fenomena salah tangkap, merupakan cacat yang mencoreng nama baik lembaga-lembaga hukum yang dimiliki negara tersebut.
Nahasnya, salah tangkap itu bukan hanya istilah saja ketika subjek yang diadili di persidangan itu, bahkan sampai mendekam di penjara untuk waktu beberapa lama, akibat cerobohnya para penegak hukum yang memproses kasus-kasus mereka.
Tak jarang, kesaksian-kesaksian para korban selama proses pembuatan BAP (Berita Acara Perkara), tidak memenuhi unsur hukum yang berlaku, seperti tidak adanya pendampingan kuasa hukum, serta tindakan penyiksaan yang dilakukan para aparat polisi demi mendapat pengakuan dari subjek yang diperiksa di bawah tekanan dan penderitaan yang mereka berikan.
-
Siapa yang terkena kanker anak? Leukemia, lymphoma (kanker kelenjar getah bening), dan tumor otak adalah beberapa jenis kanker yang paling umum menyerang anak-anak di Indonesia.
-
Apa yang membuat anak terluka? 'Sayangku, ibu minta maaf jika ucapan dan tindakan ibu sebelumnya membuat hatimu terluka. Ibu ingin kamu tahu bahwa ibu selalu mencintaimu tanpa syarat, dan ibu berjanji akan berusaha lebih baik lagi untuk memahami perasaanmu.'
-
Siapa yang mengorbankan anak-anak? Sebagai pusat kekuasaan utama di Mesoamerika pra-Hispanik, Chichén Itzá terkenal dengan tradisi berdarahnya, penduduk masa ini juga mengorbankan kerabat termasuk saudara kandung khususnya laki-laki.
-
Bagaimana anak-anak dikorbankan? 76 anak-anak itu dibelah dadanya dan dalam keadaan telanjang dengan pakaian berada di sampingnya. Dada mereka telah dipotong terbuka dari tulang selangka hingga ke tulang dada. Tulang rusuk mereka dipaksa terbuka, yang kemungkinan untuk mendapatkan akses ke jantung mereka.
-
Bagaimana cara anak itu meninggal? Antropologi fisik di lokasi menyatakan bocah itu berusia 10 tahun saat meninggal dengan gigi terkikis dan tanda-tanda infeksi didalam mulutnya.
Berikut beberapa kisah pilu mengenai korban salah tangkap yang dilakukan pihak kepolisian, dengan sejumlah fakta menyedihkan yang diakui korban dari cacatnya prosedur penyidikan, penyelidikan, sampai putusan vonis hakim yang dikenakan kepadanya.
Andro: Salah tangkap, disiksa, dipenjara, dan diganti rugi Rp 1 juta
Pada 30 Juni 2013 silam, empat pengamen yakni AP, MF, BF, dan FP bersama kawan-kawannya, menemukan Dicky dalam keadaan terluka parah di kolong jalan layang Cipulir, Jakarta Selatan. Selain mereka, ada dua pengamen dewasa yang menemukan Dicky yakni Nurdin Prianto dan Andro Supriyanto.Saat ditemukan, Dicky yang tak dikenal oleh para pengamen tersebut sudah terkulai lemas akibat sejumlah luka bacok di tubuhnya. Tak lama kemudian Dicky pun menghembuskan nafas terakhirnya. teman-temannya itu lalu melaporkan penemuan tersebut ke warga sekitar, hingga akhirnya polisi datang. Namun justru Andro dan teman-temannya yang ditahan hingga akhirnya diadili atas pembunuhan Dicky Maulana."Saya korban salah tangkap di Cipulir pada hari Minggu, 30 Juni 2013. Selama sidang di pengadilan, saya dibantu oleh YLBHI Jakarta. Saya divonis 1 tahun penjara, lalu setelah kasasi saya dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan," ujar Andro, kala itu.Menurut pengakuan Andro, ia dan teman-temannya ditangkap oleh polisi karena diduga membunuh Dicky tahun 2013 lalu. Dalam proses penyidikan di Polda Metro Jaya, Andro berkali-kali disiksa dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk dipaksa untuk mengakui sebagai pembunuh Dicky."Saya disiksa, dilakban, disetrum, diinjak-injak dan disuruh mengakui, tapi saya tidak mau," ujar Andro.Karena enggan mengaku, Andro pun dipaksa polisi untuk mengakui masalah motor Astrea. Karena tidak tahan siksaan, akhirnya ia terpaksa mengaku. Yang anehnya, menurut cerita Andro, selama proses BAP ia sama sekali tidak didampingi kuasa hukum. Namun, berkat bantuan YLBHI, akhirnya Andro divonis bebas setelah kasasi di MA.Atas proses salah tangkap ini, Andro hanya menerima kompensasi berupa uang senilai Rp 1 juta.
Rosikin: Ditangkap karena dituduh menimbun 2.000 liter solar subsidi
Kasus salah tangkap kembali dilakukan pihak kepolisian. Kali ini dilakukan oleh aparat polisi dari Polsek Bogor Barat. Kejadian ini terjadi saat mereka menggerebek sebuah rumah semi permanen, yang dijadikan tempat penimbunan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, di Kampung Batu Ulung RT 003/07 Cifor, Kelurahan Bubulak, Bogor Barat, Kota Bogor, pada 12 November 2014 silam.Salah seorang warga bernama Tuti (30), mengaku kecewa dengan penggerebekan yang dilakukan pihak Polsek Bogor Barat tersebut, karena Rosikin (46) suaminya yang tidak tahu menahu masalah penimbunan BBM itu, ikut pula dibawa oleh petugas."Kita di sini ngontrak dan tidak tahu apa-apa bahwa di sebelah itu adalah gudang penimbunan solar. Saya dan suami kira tempat itu hanya gudang oli bekas. Dulunya tempat pemotongan ayam," ujar Tuti."Selain suami saya, saya melihat ada 3 orang yang dibawa. Bahkan handphone saya ikut diamankan. Saya sempat teriak suami saya jangan dibawa," katanya menambahkan.Rosikin, korban salah tangkap polisi yang sudah dibebaskan itu menuturkan, di seputar lokasi penimbunan BBM, memang terdapat usaha ayam potong dan penampungan barang rongsokan."Saya tahu banyak solar di dalam. Itu solar subsidi, makanya saya takut untuk membaur. Apalagi penyewanya kurang bergaul. Dia datang dan pulang setelah panasin mesin. Yang nginap hanya tiga karyawan," ujarnya.Pengepul barang rongsokan yang sudah bertahun-tahun menempati lokasi ini menambahkan, selain dirinya, rekannya bernama Rustandi juga ditangkap polisi."Polisi main tangkap begitu saja saat tiba di lokasi. Saya dan pak Rustandi lagi duduk. Polisi kira kami pemilik gudang penimbunan solar subsidi ini," ungkapnya.Dari lokasi, polisi membawa mobil tangki dan truk bak tertutup, dan seorang pegawai di gudang penimbunan bernama Eko. Terkait salah tangkap ini, Kapolsek Bogor Barat Kompol Indiratyaningsih pun menghindar dan menolak dimintai keterangan.
Salah tangkap, dipenjara, dan tak diizinkan hadiri pemakaman anak
Pada 18 September 2014 silam, keributan terjadi di pangkalan ojek di sekitar Pusat Grosir Cililitan (PGC). Dua sopir angkot berkelahi karena berebut penumpang. Tukang ojek yang ada di pangkalan pun berupaya melerainya. Namun, karena sakit hati, salah satu sopir angkot pulang, dan kembali ke lokasi membawa senjata. Ia pun dikeroyok oleh sejumlah tukang ojek dan sopir angkot lainnya di tempat tersebut, hingga meregang nyawa.Seminggu setelahnya, petugas dari Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur mengejar seseorang bernama Dodi, seorang supir angkot lain, yang diduga menewaskan sopir angkot tersebut. Namun, alih-alih menangkap Dodi, polisi justru menangkap orang lain yang bernama Dedi. Padahal, saat kejadian, Dedi sudah pulang ke rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.Proses hukum yang cacat dari penyidikan, penyelidikan, hingga putusan hakim tetap berjalan. Pria nahas itu divonis bersalah oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan mendekam di Rutan Cipinang.Selama 10 bulan, Nurochmah sang istri tidak menyerah. Ia meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, sampai akhirnya banding dikabulkan dengan menyatakan bahwa Dedi tidak bersalah dan berhak dibebaskan. Melalui rilis No.142/PID/2015/PT.DKI Jo No.1204/Pid.B/2014/PN.Jkt.Tim, hakim memutuskan bahwa Dedi tidak bersalah, sementara tuntutan jaksa penuntut umum dinyatakan tidak sah.Namun, anak Dedi yang menderita gizi buruk pun akhirnya meninggal karena kurang perawatan. Pasalnya, Nurochmah sang istri, yang akhirnya menggantikan Dedi menjadi tukang ojek demi memenuhi kebutuhan keluarganya setelah sang suami dipenjara, tak sanggup membiayai pengobatan sang anak.Bahkan, pihak LBH Jakarta juga menyebutkan bahwa ketika prosesi pemakaman, Dedi tak diizinkan oleh polisi melihat wajah anaknya untuk yang terakhir kali. Dia baru dapat izin menengok kuburan anaknya, setelah mendapat jaminan dari pengacara LBH Jakarta. Saat itu Dedi diborgol bersama dengan pengacaranya tersebut menuju ke makam anaknya. Dedi pun menambah daftar kasus korban salah tangkap atau rekayasa kasus yang dilakukan oleh polisi. (mdk/bal)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
KPAI saat ini berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak .
Baca SelengkapnyaKPAID Tasikmalaya menyatakan kasus anak berkebutuhan khusus (ABK) meninggal dianiaya orang tuanya menjadi kado pahit di Hari disabilitas.
Baca SelengkapnyaKementerian PPPA memastikan tiga balita, anak tersangka pelaku dan korban, akan mendapatkan pengasuhan yang tepat.
Baca SelengkapnyaKorban yang berusia 13 tahun itu terakhir kali terlihat berdiri dikerumuni polisi memegang rotan. Dia kemudian ditemukan tewas di bawah jembatan.
Baca SelengkapnyaAyah di Muara Baru Banting Anaknya di Tengah Keramaian hingga Meninggal
Baca SelengkapnyaMayoritas kematian mereka tak wajar, bahkan sengaja dibunuh.
Baca SelengkapnyaTak hanya itu, Brigpol AK juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Baca SelengkapnyaOrang tua korban sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kematian anak kandungnya.
Baca SelengkapnyaPerbuatan cabul dilakukan oknum polisi hingga berulang-ulang. Dari korban masih duduk di bangku sekolah dasar hingga ia menginjak kelas 9 SMP
Baca SelengkapnyaSeorang anak perempuan berinisial S (4) menjadi korban penyanderaan oleh seorang pria tua.
Baca SelengkapnyaKeluarga korban menemukan banyaknya kejanggalan dalam kasus tersebut, mulai dari luka lebam serta keterangan dari para saksi.
Baca SelengkapnyaPelaku punya riwayat ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa).
Baca Selengkapnya