Kegagapan Pemerintah Hadapi Lonjakan Tajam Covid-19
Merdeka.com - Satu tahun lebih pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pelbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran virus mematikan berasal dari Wuhan, China, tersebut.
Mulai dari membentuk gugus tugas hingga Satgas Covid-19 yang tertuang dalam Keppres. Mendorong masyarakat menerapkan protokol kesehatan dengan pola 5M yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi.
Kemudian mempercepat 3T yakni Testing, Tracing, dan Treatment sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19. Hingga menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lalu bermetamorfosis menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
-
Kapan kasus Covid-19 meningkat? Kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Kenapa kasus Covid-19 naik? Kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Apa saja penyakit kritis yang meningkat? Berdasarkan data Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kasus penyakit katastropik (jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, dan lainnya) di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 23,3 juta kasus di tahun 2022.
-
Kapan gelombang puncak Covid-19 di Indonesia? Data Satgas Penanganan Covid-19 mencatat ada dua kali gelombang puncak yang menghantam Indonesia selama kurun 3 tahun terakhir ini.Gelombang pertama pada 15 Juli 2021 akibat varian Delta dengan rata-rata laporan positif harian 16.041 kasus, dan 16 Februari 2022 oleh varian Omicron sebanyak 18.138 kasus.
-
Mengapa Covid-19 menjadi pandemi global? Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa paling berdampak di abad ke-21. Penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru ini telah menginfeksi lebih dari 200 juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia.
Setahun lebih berjalan penyebaran Covid-19 justru semakin mengganas. Lonjakan terbesar ketika Satgas Covid-19 melaporkan terjadi 20 ribu kasus per tanggal 24 Juni. Kasus itu menjadi rekor penambahan Covid-19 harian sejak melanda tanah air pada Maret 2020. Lonjakan kasus Covid-19 ini membuat pelayanan seluruh rumah sakit nyaris tumbang.
Pemerintah pun kembali mengatur strategi untuk menekan laju Covid-19 dengan menerapkan PPKM dimulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021 mendatang.
"Saya memutuskan untuk membelakuan 3-20 Juli khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi dalam akun Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (1/7).
Sejumlah pengetatan aktivitas dilakukan dalam PPKM Darurat tersebut. Di antaranya, seluruh pegawai kantor yang tidak masuk dalam kategori sektor essential bekerja dari rumah 100 persen.
Bagi pekerjaan yang masuk dalam kategori essential, diberlakukan bekerja di kantor dengan kapasitas 50 persen saja. Sektor essential adalah keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina Covid-19, serta industri orientasi ekspor.
Sementara untuk pekerjaan kategori kritikal, diperbolehkan masuk 100 persen. Kategori ini di antaranya, energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (seperti listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.
Dalam PPKM Darurat ini, seluruh kegiatan belajar mengajar tatap muka juga ditiadakan. Seluruhnya dilakukan secara online atau daring.
Di satu sisi, rumah sakit tak mampu lagi menampung pasien Covid-19. Mereka harus rela mengantre karena kondisinya benar-benar dipenuhi pasien terpapar Covid-19. Sejumlah rumah sakit rujukan bahkan harus mendirikan tenda darurat untuk menampung pasien Covid-19. Sementara pasien yang mengalami gejala ringan harus menjalani isolasi mandiri di rumah.
Sejumlah rumah sakit juga kekurangan oksigen untuk pasien Covid-19. Salah satunya terjadi di RSUP Dr Sardjito, Sleman, Yogyakarta. Pihak RSUP Dr Sardjito melaporkan 63 pasien meninggal dunia dalam dua hari terakhir sejak Sabtu (3/7) malam hingga Minggu (4/7) pagi. Bahkan 33 pasien dilaporkan meninggal dunia akibat krisis oksigen.
"Sedangkan yang meninggal pasca oksigen central habis pukul 20.00 WIB maka kami sampaikan jumlahnya 33 pasien," kata Direktur RSUP Dr Sardjito Rukmono Siswishasto, Minggu (4/7).
Krisis oksigen juga menimpa rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 lainnya. Pasokan oksigen yang dibutuhkan bagi pasien isolasi mandiri di rumah membuat sejumlah orang berbondong-bondong memburu barang tersebut. Hal ini memicu kelangkaan oksigen. Pemerintah pun membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Oksigen untuk memastikan kebutuhan oksigen di tengah lonjakan pasien Covid-19 di setiap provinsi dapat tercukupi.
"Kalau misalnya ternyata terjadi kekurangan, Kementerian Perindustrian tinggal mengkonversikan oksigen yang tadinya dialokasikan ke industri menjadi dialokasikan ke rumah sakit dan kalau perlu mengimpor oksigen," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers virtual Layanan Telemedicine bagi Pasien Isolasi Mandiri dan dipantau dari Jakarta, Senin (5/7).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memastikan hingga saat ini pasokan obat maupun oksigen menuju rumah sakit masih terkendali. Luhut menambahkan, kebutuhan oksigen juga akan dipasok oleh lima produsen berskala besar untuk menangani permasalahan kesehatan yang terjadi sekarang.
"Pemerintah meminta lima produsen oksigen agar 100 persen produksi mereka dikasih ke masalah kesehatan," kata Luhut.
Paralel Mengatasi Covid-19
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra melihat sejak awal pemerintah gagap dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dia menyoroti pemerintah yang terlihat hanya mengandalkan perilaku kedisiplinan masyarakat dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19.
Padahal cara tersebut dinilainya sulit diterapkan lantaran perbedaan latar belakang ekonoimi, pendidikan, sosial budaya masyarakat di Indonesia. Sehingga upaya memutus mata rantai Covid-19 dilakukan pemerintah dalam 16 bulan belum terlihat jelas.
"Sementara di sisi lain pemerintah untuk memastikan 3T itu masih sangat lemah. Buktinya seluruh rumah sakit rujukan Covid sudah over capacity itu fakta. Kemduian terjadi pemeriksaan yang sangat rendah terkait dengan testing nah hal hal ini seharusnya sudah dipersiapkan jauh hari gitu tetapi memang inilah yang kurang persiapan serius sekali di saat saat sakarang ini varian Delta yang kecepatan menularnya tinggi,' kata Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Selasa (6/7).
Hermawan mengatakan, sejak awal kebijakan yang diambil pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yakni dengan menerapkan lockdown regional. Sebab kebijakan PPKM Darurat lebih cenderung menunda atau meminimalisir laju sementara kasus Covid-19.
"Kalau kita mau memutus mata rantai. Kalau kita mau keluar dari pandemi dan bisa mengendalikan dengan baik harusnya lockdown supaya tidak ada lagi subjektivitas di lapangan. Semua orang merasa adil. Kalau sekarang kan sekat-sekat seperti ini tidak merata seluruh wilayah jadi sebagian orang merasa kok ini bisa, kok ini tidak, kok kami begini, kami begitu, kok yang ini tidak. Seharusnya hal-hal ini tidak ada lagi kalau kita mau memutus mata rantai," kata dia.
Menurut dia, kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam menangani Covid-19 membuat ketidakpercayaan publik. Dia mengatakan, butuh saling menguatkan antara pemerintah dan masyarakat agar bisa lepas dari pandemi Covid-19 berkepanjangan.
"Sebenarnya baik pemerintah masyarakat punya sama-sama kewajiban agar bahu membahu keluar dari pandemi Covid tetapi kan tidak hanya masyarakat yang disalahkan seharusnya pemerintah juga punya tangung jawab berkaitan dengan 3T itu. Jadi kalau dianggap perilaku masyarakat lemah tapi juga pemerintah lemah dalam testing maka dari itu sembari mengevaluasi masing-masing harusnya bisa saling paralel dan saling menguatkan dari aspek kebijakan termauk testing tracing dan treatmen," tandasnya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kemenkes RI sudah mengirimkan vaksin Inavac ke Dinkes Sumsel.
Baca SelengkapnyaKasus Covid-19 di Singapura melonjak drastis. Indonesia mulai waspada.
Baca SelengkapnyaTjandra mengatakan, data WHO menunjukkan, ada kenaikan 255 persen perawatan Covid-19 di rumah sakit Indonesia.
Baca SelengkapnyaMerdeka.com menangkap berbagai momen dramatis pandemi Covid-19 sepanjang tiga tahun melanda Indonesia. Berikut foto-fotonya:
Baca SelengkapnyaKemenkes juga melaporkan kasus Covid-19 terkonfirmasi per 12 Desember 2023 mencapai 6.815.576 kasus atau bertambah sekitar 298 pasien dalam sepekan terakhir.
Baca SelengkapnyaDinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mengungkapkan tiga penyebab kenaikan kasus Covid-19.
Baca SelengkapnyaTren kenaikan kasus mingguan Covid-19 nasional per 9 Desember 2023 dilaporkan menyentuh angka 554 kasus positif.
Baca SelengkapnyaPeningkatan kasus Covid-19 terlihat di Depok, Jawa Barat, dan sejumlah wilayah lainnya.
Baca SelengkapnyaInformasi Jokowi terima dari Menkes, kasus Covid-19 masih dalam kondisi yang baik meski memang ada kenaikan.
Baca SelengkapnyaLonjakan kasus penyakit mirip influenza ini membuat sebuah RS di China penuh. Banyak pasien anak-anak yang terpaksa dirawat di koridor dan tangga rumah sakit.
Baca SelengkapnyaKepala sebuah klinik di Tokyo, Ando Sakuro mengatakan bahwa sepuluh orang telah teruji positif setiap hari sejak akhir Juni.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca Selengkapnya