Kelanjutan Kasus Emirsyah Satar Usai Dituntut 12 Tahun Penjara
Merdeka.com - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar pidana penjara 12 tahun denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan. Tuntutan itu diberikan JPU setelah Emirsyah Satar dinilai menerima suap terkait pengadaan sejumlah pesawat di Garuda Indonesia, Kamis (23/4).
Selain menjatuhkan pidana penjara, jaksa juga menuntut Emirsyah membayar uang pengganti sebesar SGD 2.117.315. Uang pengganti harus dibayar Emir selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut Emirsyah tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam sidang selanjutnya digelar dengan agenda nota pembelaan (pledoi), Kamis (30/4) lalu via video conference. Dalam pembacaan nota pembelaan, Emirsyah Satar mengaku dirinya tidak pernah bermaksud untuk melakukan pencucian uang.
-
Siapa yang pernah menjadi wartawan berprestasi dan komisaris Garuda Indonesia? Yenny Wahid memiliki cukup banyak sepak terjang dalam ranah berbeda-beda. Ia pernah menjadi wartawan berprestasi hingga komisaris Garuda Indonesia.
-
Kenapa Dewas KPK sidang etik mantan Kamtib dan Karutan? Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar sidang etik buntut dari kasus pungli di rumah tahanan (Rutan) KPK.
-
Kapan Yenny Wahid menjadi komisaris Garuda Indonesia? Ia menduduki jabatan ini sejak 2020, kemudian mengundurkan diri pada Agustus 2021.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka dalam kasus gratifikasi Rp8 miliar? Sekadar informasi, Eddy Hiariej telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi sebesar Rp8 miliar.
-
Siapa pejabat anak perusahaan PT INKA yang ditahan? Kepala departemen pengadaan PT INKA Multi Solusi (PT IMS) berinisal HW ditahan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
-
Bagaimana Dewas KPK menjatuhkan sanksi kepada Karutan? Fauzi dijatuhi sanksi berupa pernyataan permintaan maaf. Selain itu, dia direkomendasikan ke pejabat pembina kepegawaian untuk mendapatkan sanksi disiplin.
"Saya sama sekali tidak mengetahui dan tidak pernah bermaksud untuk melakukan pencucian uang," kata Emirsyah di gedung KPK Jakarta.
Majelis hakim berada di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK berada di gedung Merah Putih KPK sementara penasihat hukum dan Emirsyah ada di gedung KPK.
"Saya juga hendak mengklarifikasi bahwa saya tidak mengetahui dan tidak pernah bermaksud menyembunyikan atau menyamarkan uang yang dari Soetikno Soedarjo, semuanya sudah saya kembalikan dan tidak ada yang saya titipkan," tambah Emirsyah.
Ia mengaku tidak memegang otorisasi penggunaan rekening mertuanya, tidak pernah membuat back to back loan sebagaimana dikatakan JPU KPK.
"Rumah yang dulu saya miliki di Blok G No. 46 Permata Hijau bukan hasil tukar tanah dengan rumah milik almarhum Ibu mertua dan tidak saya beli menggunakan 'fee' dari pengadaan di Garuda. Rumah itu saya beli pada 2004 sebelum saya menjabat Direktur Utama di Garuda dengan menggunakan penghasilan sendiri sehingga penempatan rumah tersebut sebagai jaminan atas kredit yang saya ajukan bukan perbuatan pidana," ungkap Emirsyah.
Emirsyah juga mengaku bahwa pemberian-pemberian yang ia terima dari pemilik PT Mugi Rekso Abadi (MRA) dan Connaught International Pte.Ltd. Soetikno Soedarjo semata-mata karena Soetikno adalah temannya.
"Baru pada saat kasus ini muncul, saya tahu kalau hal itu dilarang menurut Undang-Undang. Saya mengakui saya hanya manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan dan saya sudah siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Namun saya juga ingin menyampaikan tidak semua hal yang disebutkan di dalam surat tuntutan adalah benar," tambah Emirsyah.
Ia juga mengaku tidak pernah mengintervensi pengadaan di PT Garuda Indonesia dan bahkan tidak ingin menjabat sebagai Direktur Utama Garuda.
"Karena kekhilafan yang saya lakukan telah mengecewakan seluruh rakyat Indonesia dan khususnya keluarga serta kerabat saya, serta harus kehilangan istri tercinta. Pada 2005 saya diminta oleh Menteri BUMN, Bapak Soegiharto untuk kembali ke Garuda dan menyelamatkannya dari ambang kebangkrutan," ungkap Emirsyah.
Padahal saat itu ia mengaku sudah nyaman dengan kedudukan saya sebagai Wakil Direktur Utama Bank Danamon. Setelah 3 kali diminta oleh Menteri BUMN, maka dengan semangat ingin berbakti kepada negara dan mengembangkan Garuda menjadi perusahaan kelas dunia, ia akhirnya menerima tawaran tersebut.
"Demi mewujudkan Garuda yang besar, sebagai Direktur Utama saya menggunakan diskresi agar Garuda bisa mendapatkan keuntungan dan harga yang terbaik, dalam hal ini melalui komunikasi dengan Soetikno Soedarjo yang adalah Commercial Adviser dan konsultan untuk pabrikan besar di dunia seperti Rolls Royce dan Airbus," jelas Emirsyah.
Garuda menurut Emirsyah sering dipandang kecil dan tidak memiliki masa depan yang jelas, sehingga mendapatkan harga yang mahal.
Beberapa keuntungan yang didapatkan Garuda yakni cashback Engine Concession dari Rolls Royce senilai 26,6 juta dolar AS per pesawat yang dibeli dan menggunakan mesin Rolls Royce serta diskon dari Airbus sebesar 54 persen dan dari Rolls Royce sebesar 72 persen untuk tiap unit pesawat Airbus A-330, sehingga harga pesawat A-330 yang didapatkan Garuda adalah 81.326.317 dolar AS jauh di bawah harga tanpa diskon senilai 173.949.317 dolar AS.
"Saya kaget ketika Soetikno Soedarjo mengirimkan uang ke rekening perusahaan Woodlake International milik saya dan almarhum mertua di Singapura yang dahulu dibuka untuk berinvestasi," tambah Emirsyah.
Uang yang dikirimkannya yaitu 500 ribu dolar AS, 180 ribu dolar AS dan 1.020.975 euro.
"Ketika saya tanya kepada Soetikno Soedarjo apa maksud pemberian itu, dia bilang uang itu adalah ucapan terima kasih. Saya tidak paham maksudnya, yang saya sesali saya tidak bertanya lebih lanjut, tetapi menerima uang tersebut karena saya tidak enak menolak pemberian dari teman dan hanya sampaikan kalau uang itu saya anggap pinjaman," ungkap Emirsyah.
Uang itu lalu ia gunakan membeli bonds sesuai saran Bank Account Officer di Singapura agar mendapatkan "yield" yang lebih baik dan hasilnya ketika dijual pun masuk ke rekening Woodlake, diberikan ke almarhum ibu mertuanya Mia Suhodo dan dipergunakan sendiri.
Namun saat uang itu menjadi perhatian dari Tim AML Bank UBS Singapura, Emirsyah mengaku sudah mengembalikan uang itu kepada Soetikno Soedarjo dan selanjutnya tidak pernah menanyakan lagi mengenai uang tersebut.
"Perlu saya tegaskan meskipun ada hubungan komunikasi dan kemudian pemberian uang dari Soetikno Soedarjo, seluruh proses pengadaan di Garuda tetap berjalan sesuai prosedur dan saya tidak pernah sama sekali mengintervensi atau mengarahkan pengadaan untuk keuntungan pihak manapun selain Garuda," tegas Emirsyah.
Keputusan pengadaan selalu diambil Dewan Direksi berdasarkan usulan tim dalam forum rapat resmi, serta juga diminta persetujuan Dewan Komisaris.
"Saya sama sekali tidak pernah mengintervensi maupun mengarahkan pengadaan, tidak benar bahwa pengadaan sudah merugikan Garuda karena inefisien sebab seluruh proses pengadaan yang dilakukan, justru membuat Garuda selalu mendapatkan harga yang lebih murah dan keuntungan sehingga dapat dipastikan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini," tambah Emirsyah.
"JPU telah menuntut saya dengan hukuman pidana penjara selama 12 tahun tahun dikurangi selama dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp10 milyar dan uang pengganti 2.117.315 dolar Singapura juga perampasan rumah warisan milik almarhumah istri saya dan adik ipar di Jalan Pinang Merah II Blok SK No 7-8. Tuntutan tersebut sangat memberatkan bagi saya, karena selama menjabat sebagai Direktur Utama Garuda saya tidak pernah mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok," tegas Emirsyah.
Ia kembali menegaskan bahwa semua pemberian yang ia terima sudah saya kembalikan kepada Soetikno Soedarjo dan tidak ada yang diitipkan ke Soetikno Soedarjo.
"Juga tidak benar jika jual-beli apartemen Silversea adalah modus pencucian uang karena jual beli itu adalah transaksi riil, kepemilikan apartemen sudah beralih ke Soetikno Soedarjo sejak saya jual. Perkara menyangkut Rolls Royce telah di investigasi oleh Serious Fraud Office di Inggris (SFO) dan telah ditutup karena tidak terdapat cukup bukti dan tidak sesuai kepentingan publik," ungkap Emirsyah.
Ia pun berjanji kasus tersebut merupakan "yang pertama dan terakhir".
"Pengalaman selama 4 tahun terakhir menyandang status tersangka dan kini sebagai terdakwa benar-benar merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sepanjang perjalanan saya kehilangan orang-orang yang saya cintai mulai dari istri saya Sandrina Abubakar yang meninggal pada 1 Agustus 2018 karena kanker pankreas dan kemudian ibu saya Rosdinar Satar pada 1 Maret 2020 setelah berbulan-bulan sakit dan harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU)" ungkap Emirsyah.
Ia pun hanya berkesempatan menjenguknya sekali dan setelah itu harus melepas kepergiannya ketika melayat karena ia sedang ditahan.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan.
Baca SelengkapnyaJaksa juga mengenakan biaya pengganti kepada Emirsyah sebesar USD 86.367.019.
Baca SelengkapnyaPengadilan Tipikor menjatuhkan vonis lima tahun penjara terhadap mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar.
Baca SelengkapnyaPengadilan Tipikor menjatuhkan vonis bebas kepada Soetikno Soedarjo di kasus korupsi pengadaan pesawat Garuda.
Baca SelengkapnyaTidak hanya itu, terdakwa dugaan tindak pidana gratifikasi dan pencucian uang (TPPU) dalam jabatannya ini juga didenda sebesar Rp500 juta.
Baca SelengkapnyaAgus Purwoto juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan penjara
Baca SelengkapnyaPenanganan khusus tersebut berkaca dari kasus Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah yang sempat diteror oleh anggota Densus 88 Polri.
Baca SelengkapnyaSYL terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Baca SelengkapnyaAndhi juga diputus untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar dan dapat digantikan dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Baca SelengkapnyaJaksa juga turut menyita barang bukti dari tangan para tersangka
Baca SelengkapnyaMantan Direktur PT Sriwijaya Mandiri Sumsel (SMS) Sarimuda dituntut 4 tahun 6 bulan penjara karena diduga melakukan tindak pindana korupsi senilai Rp18 miliar.
Baca SelengkapnyaAmar putusan terhadap terdakwa Eko ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Tongani.
Baca Selengkapnya