Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Keputusan Endemi Tidak Pernah 100 Persen Karena Kesehatan, Ada Ekonomi hingga Politik

Keputusan Endemi Tidak Pernah 100 Persen Karena Kesehatan, Ada Ekonomi hingga Politik Menkes Budi Gunadi Sadikin. ©2021 Merdeka.com/Istimewa

Merdeka.com - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan keputusan mengubah pandemi Covid-19 menjadi endemi tidak pernah 100 persen berdasarkan faktor kesehatan. Pernyataan ini merujuk pada sejarah penetapan status endemi.

"Itu hasil keputusannya tidak pernah 100 persen faktor kesehatan. Ada faktor kesehatan, ekonomi, politik, budaya," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kementerian Kesehatan RI, Jumat (18/3).

Dia juga menekankan, keputusan mengubah status pandemi ditetapkan pemimpin. Bisa ditetapkan pemimpin negara atau pemimpin dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

"Jadi bukan keputusan dari media atau dari Menteri Kesehatan atau Menteri Dalam Negeri saja," imbuhnya.

Budi mengatakan, pandemi tidak akan selamanya berstatus pandemi. Melainkan secara bertahap memasuki endemi. Hanya saja, ada kriteria yang harus dipenuhi untuk memasuki fase endemi.

Misalnya, dari sektor kesehatan, indikator endemi ialah transmisi Covid-19 berada pada level 1 sesuai standar WHO selama 3 hingga 6 bulan. Level transmisi ini merujuk pada laju penularan, keterisian tempat tidur rumah sakit, dan kematian.

Selain itu, laju transmisi (Rt) Covid-19 harus di bawah 1 selama 3 hingga 6 bulan. Kemudian cakupan vaksinasi dosis lengkap minimal 70 persen dari total populasi.

Sebelumnya, Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan ada tiga kriteria dari akhir pandemi Covid-19.

Pertama, kasus Covid-19 muncul dalam waktu empat atau enam bulan sekali. Kemunculan kasus Covid-19 juga hanya terjadi pada daerah dengan cakupan vaksinasi rendah.

Kedua, Covid-19 tidak mendominasi penyakit infeksi dan tak menimbulkan kondisi darurat. Ketiga, cakupan vaksinasi dunia sudah mencapai sekitar 70 persen atau sedikitnya 60 persen dari total populasi.

"Harus ada modal imunitas yang dominan, yang jelas tidak bisa kalau 50 persen. Harus di atas dari 50 persen, lebih dari setengah populasi sudah punya imunitas atau dua dosis," jelasnya kepada merdeka.com, Senin (21/2).

Menurut Dicky, kriteria ini merujuk pada situasi wabah SARS pada 2002 silam. Dicky berpendapat, pandemi Covid-19 bisa berakhir pada akhir 2022. Meskipun kewenangan mencabut status pandemi dilakukan oleh WHO. Dengan catatan, negara-negara di dunia tidak gegabah melonggarkan aktivitas sosial.

"Kalau kita grasa grusu, kepengen cepat-cepat, padahal kemampuan belum ada, kondisi belum memungkinkan. Apapun kalau buru-buru, yang ada celaka," ujarnya.

Dicky mengatakan, sejumlah negara yang sudah melonggarkan aktivitas sosial karena dorongan politik dan ekonomi, bukan berdasarkan indikator kesehatan. Jika melihat indikator kesehatan saat ini, dunia masih menghadapi pandemi Covid-19.

"Jadi saya khawatir itu delusi. Jadi itu kalau tidak kuat, tidak memahami kondisi sesungguhnya berbahaya," ucapnya.

Terlalu gegabah keluar dari pandemi Covid-19 bisa menimbulkan bahaya baru. Misalnya, memicu munculnya varian baru Covid-19. Varian tersebut berisiko menurunkan efektivitas vaksin dan mempercepat proses penularan.

"Ini bisa menurunkan target yang sedianya akhir tahun ini kita bisa keluar, secara indikator kesehatan bisa keluar dari situasi pandemi, dia bisa mundur. Ini berbahaya, berbahaya sekali," kata dia.

Menurut Dicky, posisi Indonesia saat ini sudah benar. Indonesia belum melonggarkan aktivitas sosial secara total dan terus mempercepat vaksinasi. Meskipun, vaksinasi di Tanah Air masih rendah dibandingkan negara lain.

"Nah kalau juga kita ikut-ikutan, itu selain berbahaya untuk kita, karena masih jauh, juga berbahaya untuk dunia. Kita ini kan ketua Presidensi G20, harus memberi imbauan, harus mengingatkan sebagaimana WHO juga sudah mengingatkan," tuturnya.

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama menambahkan ada empat hal yang membuat sejumlah negara melonggarkan restriksi. Pertama, sudah melewati puncak gelombang Omicrom, kini kasus di negaranya menurun.

Kedua, cakupan vaksinasi dosis lengkap sudah lebih dari 80 persen dari total populasi. Ketiga, cakupan vaksinasi booster kemungkinan sudah lebih dari 70 persen dari total penduduk.

Keempat, memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat siap untuk menghadapi gejolak peningkatan kasus Covid-19. Menurut Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini, tidak ada aturan baku untuk menentukan pelonggaran aktivitas sosial. Setiap negara dapat memutuskan masing-masing, termasuk Indonesia.

"Dalam hal ini tentu tetap perlu diwaspadai kemungkinan adanya varian atau jenis baru di masa datang, yang bukan tidak mungkin akan mengubah kebijakan yang sudah dibuat," katanya.

(mdk/fik)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Teken Perpres, Jokowi Akhiri Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia
Teken Perpres, Jokowi Akhiri Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia

Presiden Jokowi meneken Perpres ini 4 Agustus 2023.

Baca Selengkapnya
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes

Bahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.

Baca Selengkapnya
Menkes Jawab Kabar Jadi Menkeu di Kabinet Prabowo: Aku Mau Menteri Penerangan
Menkes Jawab Kabar Jadi Menkeu di Kabinet Prabowo: Aku Mau Menteri Penerangan

Menkes Budi memberikan saran kepada pemerintahan terpilih untuk tidak sembarang memilih Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan.

Baca Selengkapnya
Cerita Ridwan Kamil Punya 17 Penasihat saat jadi Gubernur Jabar
Cerita Ridwan Kamil Punya 17 Penasihat saat jadi Gubernur Jabar

Ridwan Kamil mengatakan pemimpin adalah pengambil keputusan sehingga penting memiliki penasihat.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Anies Kritik Demokrasi Indonesia saat Ini: Lebih Baik Berdebat Sebelum Capai Keputusan
VIDEO: Anies Kritik Demokrasi Indonesia saat Ini: Lebih Baik Berdebat Sebelum Capai Keputusan

Namun menurut Anies, akan sulit melakukan perubahan karena banyaknya kolaborasi.

Baca Selengkapnya