Keterkaitan Hukuman Mati dan Efek Jera Belum Terbuktikan
Merdeka.com - Wacana penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin dianggap belum bisa menjadi solusi pemberantasan tindak pidana korupsi. Wacana tersebut mendapat kritikan dari pakar dan pengamat hukum di Indonesia.
Salah satunya Pengamat Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar. Dia menyebut hukuman mati selama ini belum terbukti memberikan efek jera bagi para koruptor. Menurutnya, dalam penegakan hukum kasus korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian keuangan negara dan hukuman seumur hidup.
"Keterkaitan hukuman mati dan efek jera memang belum bisa dibuktikan. Seharusnya memang dalam korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian daripada hukuman mati. Hukuman seumur hidup atau 20 tahun juga cukup," ujar Akbar dalam keterangannya dikutip Kamis (4/11/2021).
-
Siapa yang berpendapat hukuman mati melanggar hak asasi manusia? Amnesty International berpendapat bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
-
Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam kasus korupsi? Lebih lanjut, menurut Sahroni, hal tersebut penting karena nantinya akan menjadi pertimbangan pengadilan yang berdampak pada masa hukuman para pelaku korupsi.
-
Kenapa Kejaksaan Agung tahan tersangka? Setelah ditetapkan sebagai tersangka, RD dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.'Terhitung dari tanggal 29 Maret sampai dengan 17 April,' tutup Ketut.
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus ini? “Iya (dua penyidikan), itu tapi masih penyidikan umum, sehingga memang nanti kalau clear semuanya kita akan sampaikan ya,“ tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (15/5/2023). Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi mengatakan, dua kasus tersebut berada di penyidikan yang berbeda. Meski begitu, pihaknya berupaya mendalami temuan fakta yang ada.
-
Kenapa Soebandrio dijatuhi hukuman mati? Soebandrio dianggap subversif dan dijatuhi hukuman mati. Pengadilan militer itu juga mencabut seluruh tanda jasanya.Soebandrio membantah semua tudingan, termasuk terlibat Gerakan 30 September.
-
Bagaimana Kejaksaan Agung teliti kasus? 'Tim Penyidik mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan RD selaku Direktur PT SMIP sebagai tersangka,' ujarnya seperti dilansir dari Antara.
Kritik juga datang dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurutnya apa yang disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin hanyalah sebuah jargon politik untuk mempertahankan eksistensinya.
"Entah itu presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung), pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik," ujar Kurnia.
Pernyataan Kurnia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung belum optimal dan berkualitas. Kurnia berpandangan penegakan hukum yang dilakukan Kejagung masih memperlihatkan ketidakberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi.
"Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," lanjutnya.
Kurnia mencontohkan penanganan kasus korupsi yang dilakukan Kejagung terhadap Jaksa Pinangki Sirnamalasari. Menurut Kurnia, dari penanganan perkara korupsi yang melibatkan Pinangki, terlihat bahwa kualitas penegakan hukum Kejagung masih buruk.
Apalagi, Kejagung diketahui menuntut rendah Pinangki.
"Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhayksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari," kata dia.
Hukuman Mati Bergantung Kajian Tim Kejaksaan
Kurnia mengatakan, dalam catatan ICW, hukuman penjara masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.
"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun," lanjut Kurnia.
Persoalan wacana hukuman mati ini turut dikritisi Pakar Hukum Universitas Pelita Harapan Rizky Karo Karo. Ia mengatakan jika pidana mati dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih berlaku (asas legalitas) dengan syarat tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
"Jika melihat dari Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku," kata Rizky.
Rizky menyebut hukuman mati bisa dilakukan pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Menurutnya, tidak semua tindak pidana kasus korupsi dapat didakwakan dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Adapun syarat keadaan tertentu dalam pasal tersebut harus diteliti hubungan sebab akibatnya sehingga dapat dituangkan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum.
"Jadi, kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan penuntutan harus dilakukan sesuai prosedur hukum disertai bukti yang cukup (due process of law)," kata dia.
Rizky mengatakan Jaksa Agung memiliki komitmen dalam penegakan hukum kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri. Menurutnya, Jaksa Agung ingin melindungi korban, menuntut terdakwa, dan berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara.
Namun, terkait dengan hukuman mati terhadap dua kasus tersebut, menurutnya sangat bergantung dengan kajian oleh tim Kejaksaan.
"Walaupun pidana mati masuk ke dalam dakwaan dengan model dakwaan tertentu (tunggal, alternatif, kumulatif, subsider, kombinasi) suatu perkara, namun Majelis Hakim pemeriksa perkara yang akan menjatuhkan vonis, apakah memang pantas divonis dengan pidana mati atau tidak," kata dia.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mahfud menjelaskan dalam Undang-Undang yang saat ini bisa saja menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Baca SelengkapnyaBasuki Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok tak setuju jika koruptor dihukum mati. Alasannya, hukuman mati para koruptor tidak akan menyelesaikan masalah.
Baca SelengkapnyaAhok lebih memilih koruptor dimiskinkan dan dihukum penjara seumur hidup
Baca SelengkapnyaSofiah Balfas sebelumnya mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka korupsi proyek Tol MBZ oleh Kejagung.
Baca SelengkapnyaMenurut Andi, pemerintah tengah mendiskusikan untuk melanjutkan pengajuan RUU Perampasan Aset ke DPR RI dalam program legislasi nasional.
Baca SelengkapnyaHabiburokhman menyentil Mahfud. Dia mengungkit kinerja Mahfud saat menjabat Menko Polhukam selama hampir lima tahun.
Baca SelengkapnyaTerkait dengan putusan bebas terhadap Ronald, dia mengatakan bahwa kejaksaan secara tegas mengajukan upaya kasasi.
Baca SelengkapnyaKrisna menegaskan kalau Saka Tatal tidak terlibat dalam kasus tersebut, karena pada peristiwa itu kliennya tidak berada di lokasi kejadian.
Baca SelengkapnyaPerlu upaya lain yakni mampu mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan.
Baca SelengkapnyaSelama ini, kata dia, penanganan kasus korupsi terlalu mengedepankan hukum pidana sebagai alat penyelesaiannya.
Baca SelengkapnyaJaksa Agung mengaku sering mengalami kendala dalam penanganan kasus tindak pidana pemilu.
Baca Selengkapnya