Ketika Dosen UI 'Melawan', Diajak Damai dan Dijanjikan Gelar Guru Besar
Merdeka.com - Dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati, melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail mengungkap sempat diajak berdamai oleh Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar mencabut gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sri melayangkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Gugatan dilakukan buntut dari ditolaknya karya ilmiah untuk menjadi guru besar di UI.
"Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan, sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NIDK?" kata Maqdir dalam risalah sidang MK, dikutip pada Rabu (12/1).
-
Siapa yang mengajukan gugatan ke MK? Diketahui, ada 11 pihak yang menggugat aturan batas usia capres dan cawapres ke MK. Dengan sejumlah petitum.
-
Siapa yang mengajukan gugatan praperadilan? Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung Eman Sulaeman mengabulkan permohonan gugatan sidang praperadilan oleh pihak pemohon yakni Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar.
-
Dimana gugatan diajukan? 1. Penggugat atau kuasanya mendaftar gugatan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
-
Apa yang Rektor Unika tolak? Namun permintaan itu ditolak. Rektor Unika menegaskan bahwa kampus harus menyuarakan kebenaran dan harus bersikap netral dalam politik.
Pertanyaan dari Maqdir itu ditujukan kepada Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, Kemendikbud Ristek Dikti, Muhammad Sofwan Effendi, mengenai kliennya yang diajak untuk berdamai dan status guru besar akan diberikan melalui Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK).
"Kemudian, apakah Saudara juga mengetahui bahwa pada tanggal 31 Januari, juga kepada klien kami ini ditawarkan kembali untuk menjadi guru besar, sepanjang tidak mempersoalkan persoalan ini melalui proses hukum dan harus melalui NIDK?" tanya kembali Maqdir.
Untuk diketahui, Sri adalah seorang dosen dimana diusulkan Universitas Indonesia untuk diangkat menjadi guru besar atau guru besar pada tahun 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI. Termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun, usulan tersebut ditolak oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Ditjen Dikti. Untuk beberapa alasan, seperti karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal, UI telah menyetujui dan telah mengkonfirmasi hasil validasi karya ilmiah Pemohon.
Alhasil, dirinya melayangkan judicial review ke MK. Dalil Sri selaku pemohon pada Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jabatan akademik tertentu, termasuk guru besar, harus menjadi kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor.
Namun karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan menteri, maka kewenangan pengangkatan dan pengangkatan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Jawaban Kemendikbud
Menanggapi pertanyaan dari pihak pemohon, Sofwan selaku pihak dari Kemendikbud Ristek Dikti menjelaskan, ketika sebuah usulan ditolak, maka pihaknya akan melakukan dua hal. Pertama mengajukan audiensi kepada universitasnya, lalu bila tak ada kesepakatan, telah disiapkan tim komisi banding.
"Karena itu, pada tanggal 5 Maret 2020, Dirjen Dikti melakukan audiensi. Itu kami yang mengundang. Tidak atas usul universitas, tapi atas usul direktorat sumber daya. Menawarkan solusi agar Pemohon mendapatkan jalan keluar, dapat diangkat menjadi profesor, tetapi dengan status NIDK karena sudah melewati batas usia pensiun," ujarnya.
Namun, Sofwan mengatakan, kesempatan yang diberikan disertai catatan serta klarifikasi, bukan diberi kesempatan, maupun langsung menjadi guru besar. Melainkan kesempatan mengajukan NIDK dengan perbaikan publikasi ilmiah baru. Sehingga, nanti akan dinilai lagi dan statusnya diperpanjang sampai dengan 5 tahun.
"Akan tetapi, sampai dengan diajukannya gugatan ke PTUN maupun perdata, tidak ada upaya perbaikan atau penyempurnaan usulan dan persyaratan dari Pemohon Melalui Universitas Indonesia dan Pemohon juga sudah memasuki batas usia pensiun," katanya.
"Terhitung mulai tanggal 1 November 2019. Maka, Dirjen Dikti tidak dapat meneruskan usulan penggugat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk dapat ditetapkan kenaikan jabatan akademiknya menjadi profesor atau guru besar," tambahnya.
Ada Orang Dalam Bisa Cepat
Mendengar jawaban tersebut, hakim anggota konstitusi, Aswanto menilai, seharusnya data berkaitan usulan permohonan guru besar dibuka secara transparan. Karena adanya diskresi dalam hal ini, bisa menimbulkan penafsiran lain.
"Karena Bapak tadi mengatakan ada diskresi. Nah, diskresi ini yang seringkali menimbulkan hal‑hal yang bisa membuat orang menafsir macam‑macam terhadap apa yang dilakukan oleh departemen. Kami juga punya data‑data, ada yang sampai tahunan permohonannya masuk dan tidak keluar‑keluar, gitu," bebernya.
"Nah, ini tolong kalau ada datanya disampaikan itu, sehingga kita bisa melihat, jangan‑ jangan ini ada persoalan suka dan tidak suka. Saya mohon maaf kalau saya agak ngomong terbuka, gitu. Kalau ada yang dikenal di dalam, cepat banget. Tapi kalau enggak dikenal, itu bisa bertahun‑tahun," tambahnya.
Karena, menurut Aswanto, alasan masa pensiun yang dijadikan untuk gugurkan permohonan Sri sebagai guru besar seharusnya tidak bisa menjadi alasan. Karena, hal itu seharusnya bisa menjadi syarat digugurkannya permohonan sedari awal, ketika saat diajukan permohonan.
"Kalau perlu, jangan ada diskresi. Harus konsisten saja dengan aturan. Untuk apa Bapak menerima permohonan yang sudah jelas‑jelas tidak memenuhi persyaratan masa pensiun tadi? Lalu kemudian diproses dan kemudian juga itu kan memberikan harapan-harapan palsu saja, PHP saja," ujarnya.
Sehingga, Aswanto menyarankan, agar tidak ada lagi diskresi yang dilakukan dalam pengajuan permohonan menjadi guru besar. Supaya dapat menghindari penafsiran negatif dan semua aturan dapat berjalan secara konsisten.
"Harus ada konsistensi, tidak ada ruang yang bisa ditafsirkan macam-macam oleh orang lain. Sehingga kalau perlu, ya, sudah enggak usah ada diskresi, pokoknya aturannya begini, sudah selesai, gitu," ujarnya.
Pengalaman Hakim MK
Bahkan dalam kesempatan itu, Aswanto juga mengungkap masalah serupa perihal pengajuan sebagai guru juga sempat dialami temannya. Di kala dirinya menjabat sebagai Dekan di salah satu universitas, dimana sudah bertahun- tahun permohonan untuk menjadi guru besar temannya itu tak kunjung diterbitkan.
"Itu kurang-lebih 8 tahun yang lalu, sampai sekarang nggak pernah keluar. Nah, saya masih ingat ketika itu jamannya Pak Joko jadi Dirjen," ungkapnya.
"Bahkan saya mendampingi rektor saya menemui pak Dirjen, katanya jurnalnya ada masalah. Padahal jurnal itu sudah banyak yang dipakai dan berhasil menjadi guru besar. Nah, ini hal-hal seperti ini, Pak, yang bisa menimbulkan, kecurigaan- kecurigaan yang kemudian bisa menjadi su’udzon atau lain-lain, dan berpengaruh pada kualitas departemen," lanjutnya.
Dia pun meminta kepada Sofwan untuk dibeberkan data berapa jurnal yang bereputasi internasional terindeks Scopus yang masuk. Guna melihat kesetaraan antara jumlah sumber daya yang akan mengusulkan menjadi guru besar dengan jumlah jurnal internasional yang terindeks Scopus.
"Kita bisa bayangkan kalau misalnya 500 yang mengusulkan jadi guru besar, lalu kemudian persyaratannya ketat harus jurnal Scopus, kemudian jurnal Scopusnya hanya sekian banyak, ini orang antre Pak, terutama kami dari ilmu sosial," ujarnya.
Terlebih, Aswanto memandang jika jurnal yang masuk dalam kategori ilmu pengetahuan eksak atau ilmu pasti sangatlah banyak. Namun berbanding terbalik dengan jurnal dari jurnal non-eksak yang jumlahnya sedikit.
"Nah, apakah ini tidak sama dengan menghambat saja? Atau memang ada keinginan untuk menghambat? Nah, ini tolong, Di-clear-kan ini, pak. Supaya sekali lagi jangan ada dusta di antara kita. Saya kembalikan ke Yang Mulia," imbuhnya.
Karena masih banyak permasalahan dalam perkara ini yang harus dibuktikan, Ketua MK Anwar Usman yang memimpin persidangan kembali memberikan kesempatan bagi para pihak untuk sidang pembuktian.
"Jadi, nanti Kepaniteraan akan memberitahu kapan sidang selanjutnya, apakah pihak terkait mengajukan tetap mengajukan dua saksi dan 1 ahli," kata Anwar.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dua guru besar UNS Surakarta tak terima gelar profesor mereka dicopot Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. Keduanya mengajukan keberatan dan gugatan ke PTUN.
Baca SelengkapnyaIntimidasi yang didapat berupa kiriman pesan melalui aplikasi WhatsApp
Baca SelengkapnyaSelain kirim surat keberatan ke Mendikbud Ristek Nadiem Makariem, dua profesor ini melayangkan gugatan ke PTUN.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan kisah unik saat guru besar hukum ditilang oleh Polisi dan lanjut ke persidangan sehingga bikin hakim tepuk jidat.
Baca SelengkapnyaRektor memastikan kegaduhan pascapencopotan gelar guru besar 2 profesor tak menggangu proses belajar mengajar.
Baca SelengkapnyaAksi akan digelar di dalam kampus, tepatnya di depan patung Airlangga FK Unair.
Baca SelengkapnyaPihak Rektorat Unsri Palembang akhirnya angkat bicara terkait masih aktifnya terpidana kasus pencabulan, Reza Ghasarma sebagai dosen di kampus itu.
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar UI Sampaikan Petisi Kritik Pemerintah Jokowi, Rektor Tidak Hadir
Baca SelengkapnyaGelar guru besar dua profesor di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dicabut Mendikbud, Nadiem Makarim. Keduanya yakni Hasan Fauzi dan Tri Atmojo Kusmayadi.
Baca SelengkapnyaDia menyebut pencopotan gelar Profesor Kehormatan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman harus dilakukan secara berhati-hati.
Baca SelengkapnyaSelain itu, UMS juga memberikan sanksi yang sama pada kasus dosen lainnya yang diduga mengajak melakukan tindak asusila mahasiswanya.
Baca SelengkapnyaKendati sudah dinonaktifkan sebagai rektor, namun mahasiswa menolak ETH untuk tetap mengajar.
Baca Selengkapnya