Ketua GP Ansor nilai masyarakat masih banyak diam & tak respons gerakan radikal

Merdeka.com - Gerakan kelompok teroris di Indonesia sudah sangat membahayakan. Bahkan, gagasan mengenai gerakan teror mulai merasuk di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di kalangan aparatur sipil negara (ASN), BUMN, dan lainnya.
Ketua Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Saiful Rahmat Dasuki menilai, kondisi ini seharusnya jadi peringatan bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan ikut serta untuk mengatasinya. Namun, saat ini masih banyak masyarakat yang diam dan tidak tergerak untuk merespons gerakan-gerakan radikal yang ada dan nyata di lingkungan sekitar masing-masing. Akibatnya, paham radikal ini mendapat ruang untuk tumbuh dan membesar.
Merujuk hasil survei lembaga Alvara, Saiful mengatakan ada 23 persen kalangan generasi muda Indonesia yang menyatakan setuju dengan ide negara Khilafah, dan 5 persen di antaranya menyatakan sangat setuju. Hal ini diungkapkannya dalam diskusi yang digelar DPN Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) di kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (29/5).
"Ini seperti fenomena gunung es di lautan. Yang 5 persen itu yang terlihat dan dipastikan teroris. Sisanya adalah yang terendam dan tak terlihat yang sangat berpotensi menjadi teroris," kata Saiful, yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PPP Jakarta Selatan.
Menurutnya, pemahaman mengenai agama yang semata-mata tekstual merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya gerakan radikal berbasis agama saat ini. Pemahaman tekstual ini kemudian dibenturkan secara kontekstual tanpa panduan ilmu dalam mencari lebih jauh tentang kebenaran teks tersebut.
Padahal, menurutnya, setiap teks pasti ada asal-usulnya mengapa diturunkan, sehingga teks itu dapat dipahami secara mendalam, tidak semata-mata secara harfiah.
"Di Nahdlatul Ulama khususnya, kita belajar memahami Alquran dan Hadits dengan bimbingan para kiai yang belajar dari kiai sebelumnya dan seterusnya. Bukan melalui perangkat gadget dan internet seperti yang selama ini banyak terjadi," katanya.
"Contohnya Dita Milenia, anak remaja yang ditangkap sekitar Mako Brimob yang terindikasi akan melakukan penusukan dengan gunting yang dibawanya, diketahui belajar agama lewat sosial media," katanya.
Peneliti senior LP3ES, Rahadi T Wiratama mengatakan terorisme di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor dinamika politik internasional, khususnya yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Menurutnya, gejolak politik di sejumlah negara Islam seperti Afghanistan di masa Perang Dingin, Mesir, Libya, serta Suriah akhir-akhir ini, relatif berhasil menarik keterlibatan sebagian umat Islam dari berbagai negara termasuk Indonesia untuk menjadi kombatan.
"Pergolakan yang berlangsung sejumlah negara di kawasan itu sebetulnya bukan persoalan agama, melainkan politik. Bahkan, yang terjadi di Afghanistan dan Palestina misalnya, sejatinya adalah gerakan nasionalis atau gerakan kemerdekaan negara itu. Namun, bingkai yang kemudian muncul adalah bias bahwa yang terjadi adalah perang agama atau antara umat Islam dan non Islam. Bias ini tentu sangat berbahaya," katanya.
Dia mengatakan, Amerika Serikat juga turut berperan dalam situasi tersebut. Negara adikuasa itu, menurutnya, tidak punya desain politik global terutama setelah berakhirnya Perang Dingin.
"Maka terlihat bahwa Amerika juga pada akhirnya harus mengerahkan sumber daya yang sangat besar untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok yang mereka ciptakan sebelumnya, termasuk Al Qaeda dan ISIS," katanya.
Menurutnya, ketentuan hukum di Indonesia sebelum disahkannya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak memungkinkan aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan antisipatif dan preemtif.
"Disahkannya undang-undang mengenai pemberantasan terorisme yang baru, tentu diharapkan dapat lebih memudahkan aparat untuk mencegah dan menindak pihak yang berindikasi menganut paham radikal. Namun, undang-undang itu juga tidak boleh eksesif dalam pelaksanaannya," katanya.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya