Kisah Abah Emang Selamat usai Terkena 8 Tembakan dan Tusukan Bayonet Belanda
Merdeka.com - Badannya masih tegap serta senyum ramahnya terpancar dari Emang bin Mali (97) pejuang kemerdekaan, warga Desa Benteng RT 03 RW 01, Kecamatan Campaka, Purwakarta.
Namun siapa sangka di balik badannya yang masih kekar meski sudah termakan usia, di sekujur tubuh pria lima anak ini ada delapan luka bekas tembakan peluru yang berasal dari para tentara Belanda.
Sambil duduk di kursi kayu, Emang kembali mengingat dirinya saat berjuang ketika agresi militer Belanda II. Dia bercerita menjadi tentara Republik Indonesia (TRI). Saat itu, pangkat Emang masih Pratu. Emang bertugas di Batalyon 1 Resimen 7 Purwakarta, atau masuk dalam pertahanan TRI wilayah Bandung.
-
Bagaimana kakek belajar bahasa? Thanh mulai belajar bahasa asing sejak kecil, dia belajar bahasa Inggris yang kemudian dilanjutkan dengan bahasa Prancis, sebelum akhirnya belajar bahasa Mandarin saat dewasa.
-
Siapa kakek yang jago bahasa? Thanh mulai belajar bahasa asing sejak kecil, dia belajar bahasa Inggris yang kemudian dilanjutkan dengan bahasa Prancis, sebelum akhirnya belajar bahasa Mandarin saat dewasa.
-
Siapa yang merawat kakek tersebut? Tan berjanji untuk memberikan flatnya kepada mereka sebagai imbalan atas perawatan dan persahabatan mereka. Permintaannya termasuk agar Gu dan keluarganya sering meneleponnya, mengunjunginya seminggu sekali, membelikannya pakaian dan bahan makanan, dan menjaganya saat dia sakit.
-
Bagaimana kakek-kakek ini tetap aktif? Penuaan tampaknya tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap aktif.
-
Kenapa orang tua sering memaksa anak makan? Salah satu kesalahan umum yang sering terjadi adalah memaksa anak untuk makan saat mereka belum merasa lapar.
-
Mengapa anak mengemut makanan? Anak mungkin tidak merasa lapar sehingga tidak tertarik untuk makan. Ketika anak dipaksa makan dalam kondisi tidak lapar, mereka cenderung mengemut makanan sebagai bentuk penolakan.
Tepatnya pada tahun 1948 atau 3 tahun usai kemerdekaan, agresi militer kedua pecah, Emang bersama puluhan tentara lain terlibat baku tembak dengan pasukan Belanda di perkebunan karet yang ada di Kalijati, Subang.
"Saat itu lagi memantau pos Belanda, bersama tiga orang lainnya terkena berondongan senapan Belanda, Bahkan tiga teman saya ini gugur. Hanya abah saja yang hidup," ujar Emang, Jumat (16/8).
Ternyata, yang gugur dalam pertempuran itu tidak hanya tiga kawan Emang, tetapi satu kompi tertembus timah panas Belanda. Bahkan Emang sendiri tertembus 8 tembakan di punggung, tangan, kaki termasuk kepala. Beruntung peluru mengenai kepalanya tidak separah yang didapatkan pada kaki kirinya.
Dengan delapan peluru yang bersarang di tubuh, Emang pasrah kepada Tuhan. Darah segar terus menutupi wajahnya. Bahkan dengan menahan sakit, dirinya hanya bisa tergeletak di perkebunan karet di Kalijati Subang.
Doanya terkabul, ketika itu ada dua perempuan melintas, dengan suara paraunya dia berteriak meminta tolong. Bahkan meminta kedua perempuan tersebut untuk membawakan air minum dan menutup wajahnya dengan dedaunan.
"Doa abah terkabul. Saat tak berdaya itu, ada dua orang perempuan melintas. Abah minta tolong kepada dua perempuan itu," ujarnya.
Awalnya kedua perempuan itu ketakutan apalagi dengan kondisi Emang yang bersimbah darah, kedua perempuan tersebut memberi air yang dibawa dengan daun pisang. Setelah meminum air itu, Emang minta wajahnya ditutupi daun. Dengan alasan supaya dingin.
Bukannya dingin, ternyata Emang semakin kepanasan ketika wajahnya tertutup daun pisang tersebut. Tak berapa lama, jantung Emang berdetak kencang. Pasalnya, pasukan Belanda melakukan patroli, untuk memastikan bahwa para tentara Indoensia ini telah gugur.
"Saat patroli itu, sejumlah pasukan Belanda menusuk-nusukan bayonet ke perut abah. Beruntung abah tidak memberikan reaksi, termasuk saat sepatu Belanda itu menginjak wajah abah. Jadi abah bisa selamat karena dikira sudah tewas," ujarnya.
Menjelang maghrib, Emang baru mendapatkan pertolongan. Salah seorang warga, yakni Main, yang merupakan mantan pegawai kakeknya, lantas membawanya untuk dievakuasi ke tempat aman.
Setelah itu, kakek lima anak ini tak sadarkan diri selama 40 hari. Dalam ketidaksadarannya, Emang sering meracau dengan menggunakan bahasa Belanda. Bahkan, ketika sadar, makannya juga inginnya roti, bukan nasi ataupun singkong.
Seiring dengan berjalannya waktu, Emang mulai sembuh. Namun karena luka tembak itu, dia akhirnya pensiun dini jadi tentara. Bahkan di usia 25 tahun dia pensiun, hanya 5 tahun sebagai TRI.
Atas perhatian dari Presiden Soekarno, dia mendapatkan kenaikan tiga tingkat terutama untuk prajurit yang cacat.
"Prajurit yang cacat seumur hidup, pensiun dini dan mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat. Jadi abah pensiun dengan pangkat sersan mayor (Serma), waktu itu diberikan oleh Presiden Soekarno," ujarnya.
Setelah pensiun, Emang beraktivitas menjadi petani. Kemudian menikah dan memiliki lima anak. Kini Emang hidup berdua dengan istri barunya, sebab istri pertama sudah meninggal dunia.
Akan tetapi selama menjadi pensiunan tentara hingga saat ini, Emang belum sekalipun dilibatkan dalam kegiatan HUT RI. Termasuk mengikuti upacara yang diadakan Pemkab Purwakarta.
"Belum pernah, abah malu dan enggak usah ah," katanya diikuti senyumnya.
Bagi Emang, keinginannya tidak muluk-muluk, apalagi bagi dia pensiunannya sebagai TRI, tiap bulan mendapatkan Rp 2,4 juta.
"Abah mah biasa aja, yang penting diakui bahkan kemarin pak selain Dedi Mulyadi. Ini jadi kebanggaan bagi abah," jelasnya.
Harapan dan pesan Emang pun sempat terucap dari mulutnya, menurutnya memperjuangkan kemerdekaan itu tidak mudah, apalagi harus mengorbankan jiwa dan raga.
"Dulu kalau cinta negara ini suka ditanya mau jadi Belanda atau Indonesia, semua anak muda kompak kita Indonesia siap berjuang," tegasnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hari ini adalah 128 tahun wafatnya Teuku Nyak Makam yang patut dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Baca SelengkapnyaKisah lansia 80 tahun rela berjualan kerupuk demi hidupi anak ODGJ ramai disorot warganet. Begini informasinya.
Baca SelengkapnyaPada 1947, umat islam Tanah Air berperang melawan Belanda pada hari ketiga puasa.
Baca SelengkapnyaSaat masa penjajahan Belanda, lokasi kampung itu digunakan sebagai tempat para tentara Belanda melakukan kekerasan terhadap warga pribumi.
Baca SelengkapnyaWalau hidup serba kekurangan, ia tampak selalu tersenyum
Baca Selengkapnya