Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kisah heroik Letkol Slamet Riyadi pimpin serangan umum di Solo

Kisah heroik Letkol Slamet Riyadi pimpin serangan umum di Solo ilustrasi serangan umum 1 maret. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Selain serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Ada juga serangan umum 10 Agustus 1949 di Kota Solo. Seakan tenggelam oleh Serangan Umum 1 Maret, sejarah yang satu ini tidak begitu populer.

Padahal, serangan ini membuat kedudukan TNI makin kuat dan makin menyurutkan niat Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.

Hasil perundingan Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949, menyepakati Yogyakarta dikembalikan pada Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pun bisa kembali dari pengasingannya. Pemerintah Belanda sepakat menghentikan agresi militer. Sementara tentara republik menghentikan aksi gerilya.

Selain itu mereka menyepakati tanggal 11 Agustus 1949, tentara Belanda dan tentara republik harus menghentikan tembak menembak.

Namun bukan berarti suasana perdamaian langsung terasa. Pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta kini dikonsentrasikan di Kota Solo. Tembak menembak masih sering terjadi. Di Yogyakarta memang tidak ada tembak menembak. Tapi di daerah lain sebaliknya. Apalagi Kalangan militer RI tidak yakin Belanda akan benar-benar menyepakati perjanjian tertentu.

Maklum saja, dua kali TNI menelan pil pahit saat Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville serta menggelar agresi militer Belanda I dan II.

Apalagi tentara Belanda kerap melakukan apa yang disebut mereka 'aksi pembersihan'. Dalam buku 'Doorstoot Nar Djokja' Julius Pour menulis sekitar tanggal 3 Agustus 1949, pasukan Belanda menyerang pusat militer di Desa Balong.

Tempat itu merupakan pemancar radio republik dan markas Gubernur Militer Gatot Soebroto. Pasukan Belanda menghancurkan desa itu, namun tidak bisa menemukan target mereka. Untuk melampiaskan kemarahan dua pesawat Mustang menembaki desa-desa di sekitar Balong dengan roket.

Kejadian itu membuat Komandan SWK 106 Arjuna Mayor Achmadi berang. Pria yang baru berusia 21 tahun itu merancang aksi balasan pada pasukan Belanda yang berada di Kota Solo. Achmadi memerintahkan pasukannya menyerang Kota Solo tanggal 7 Agustus 1949.

Karena kesulitan komunikasi, Achmadi tidak tahu kalau komandannya, Letkol Slamet Riyadi juga merencanakan serangan umum tanggal 10 Agustus.

Jadilah tanggal 7 Agustus, Achmadi dan pasukannya yang terdiri dari batalion tentara pelajar mengepung Solo. Walau bersenjata seadanya, keberanian pasukan ini membuat repot Belanda. Sekitar 2.000 tentara pelajar harus berhadapan dengan sekitar 1.300 pasukan Belanda di Kota Solo yang dilengkapi tank dan pesawat terbang.

Tepat pukul 06.00 WIB, 10 Agustus 1949, pasukan Brigade V pimpinan Slamet Riyadi turut menyerang dari empat penjuru kota. Persenjataan dan taktik pasukan Slamet Riyadi yang lebih baik dari tentara pelajar membuat Belanda makin kewalahan. Slamet Riyadi pun bisa merebut pos-pos penting Belanda di Kota Solo.

Dia menyebut serangan ini 'Afscheidsaanval' atau serangan perpisahan, karena tanggal 11 Agustus mereka harus mematuhi gencatan senjata.

Komandan pasukan Belanda di Kota Solo, Kolonel Ohl mencoba mendatangkan pasukan baret hijau dari Semarang. Namun landasan udara Panasan terus dihujani tembakan oleh pasukan Slamet Riyadi. Pesawat Dakota yang mengangkut pasukan andalan kerajaan Belanda ini tidak bisa mendarat. Mereka pun terpaksa kembali ke Semarang dan kembali ke Solo menggunakan truk.

Kolonel Ohl kebingungan menghadapi pasukan Slamet Riyadi. Ohl bahkan sampai minta petunjuk atasannya di Batavia untuk memecahkan masalah ini.

Tepat pukul 00.00 WIB, 11 Agustus 1949. Pasukan Slamet Riyadi menghentikan tembak menembak. Mereka mematuhi perintah Soekarno untuk melakukan gencatan senjata. Pasukan Belanda pun ikut menghentikan tembakan. Beberapa bahkan menyalami para gerilyawan yang baru masuk Kota.

Namun aksi perdamaian ini dirusak oleh segerombolan pasukan Baret Hijau Belanda. pasukan yang sebelumnya gagal mendarat, datang kembali dengan truk. Tanpa belas kasihan, mereka menyembelih sejumlah pasien PMI. Aksi ini menimbulkan kemarahan tentara republik. Mereka mengejar pasukan Baret Hijau dan membunuh tujuh anggota pasukan baret hijau.

Setelah insiden itu, relatif situasi di Solo aman terkendali. Hingga pengakuan kedaulatan, Letkol Slamet Riyadi pun menerima pengakuan Kota Solo dari tangan Belanda.

Untuk menghormati jasa Mayor Achmadi, masyarakat Solo membuat patung komandan tentara pelajar ini. Sementara patung Letkol Slamet Riyadi selain di Solo, juga ada di Ambon.

Slamet Riyadi gugur ketika mencoba merebut Kota Ambon dari tangan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS), tanggal 3 November 1950. Saat gugur usia Slamet Riyadi baru 23 tahun.

(mdk/ian)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Letnan Komarudin, Si Kebal Peluru dan Salah Tanggal
Letnan Komarudin, Si Kebal Peluru dan Salah Tanggal

Letnan Komarudin atau yang memiliki nama asli Eli Yakim Teniwut, adalah salah satu prajurit yang dikenal dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Baca Selengkapnya
Mengenang Peristiwa Serangan Umum Surakarta, Bersatunya Rakyat dalam Pertempuran 4 Hari
Mengenang Peristiwa Serangan Umum Surakarta, Bersatunya Rakyat dalam Pertempuran 4 Hari

Serangan yang berlangsung selama 4 hari berturut-turut di Solo ini berhasil menyatukan seluruh elemen masyarakat melawan gempuran pasukan penjajah.

Baca Selengkapnya
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Ini Sejarah dan Para Tokoh Penggagasnya
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Ini Sejarah dan Para Tokoh Penggagasnya

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah upaya besar dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Baca Selengkapnya
Panser & Tank Kavaleri TNI AD Bikin Pasukan G30S/PKI di Semarang Kocar-Kacir
Panser & Tank Kavaleri TNI AD Bikin Pasukan G30S/PKI di Semarang Kocar-Kacir

Pemberontakan G30S/PKI juga meletus di Semarang. Brigjen Suryo Sumpeno mengerahkan panser dan tank untuk mengusir mereka.

Baca Selengkapnya
Sosok Karel Sadsuitubun, Pahlawan Revolusi Pertama dari Polri Asal Maluku
Sosok Karel Sadsuitubun, Pahlawan Revolusi Pertama dari Polri Asal Maluku

Berkat jasa-jasanya semasa hidup, nama KS Tubun diabadikan sebagai nama kapal perang hingga jalan.

Baca Selengkapnya
Sosok Panglima TNI Termuda, Dilantik saat Usianya Baru 29 Tahun
Sosok Panglima TNI Termuda, Dilantik saat Usianya Baru 29 Tahun

Indonesia pernah memiliki seorang Panglima TNI termuda yang menjabat saat masih berusia 19 tahun, ia adalah Jenderal besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman.

Baca Selengkapnya
Daftar Tiga Operasi Militer yang Membuat Soeharto Diangkat Jadi Jenderal Besar Bintang Lima
Daftar Tiga Operasi Militer yang Membuat Soeharto Diangkat Jadi Jenderal Besar Bintang Lima

Hanya ada tiga jenderal besar dalam sejarah Indonesia. Apa yang membuat Soeharto menjadi salah satu penerimanya?

Baca Selengkapnya
15 Januari 1949: Mengenang Peristiwa Situjuah Berdarah, Tewaskan Banyak Pejuang PDRI
15 Januari 1949: Mengenang Peristiwa Situjuah Berdarah, Tewaskan Banyak Pejuang PDRI

74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.

Baca Selengkapnya
Soeharto Disebut Kebal Peluru, Benda Ini Diduga Jadi Jimatnya
Soeharto Disebut Kebal Peluru, Benda Ini Diduga Jadi Jimatnya

Benda itu melingkar di pinggang Soeharto. Tak pernah lepas selama peperangan.

Baca Selengkapnya
Jenderal TNI Lolos Dari Maut, Tipu Kapten PKI yang Mau Menangkapnya
Jenderal TNI Lolos Dari Maut, Tipu Kapten PKI yang Mau Menangkapnya

Kapten yang terpengaruh G30S/PKI itu menodongkan senjata pada Brigjen Suryo Sumpeno. Bagaimana cara untuk lolos?

Baca Selengkapnya
Pasukan Elite Baret Merah Buru & Tumpas Gerombolan PKI Kolonel Sahirman di Gunung Merapi-Merbabu
Pasukan Elite Baret Merah Buru & Tumpas Gerombolan PKI Kolonel Sahirman di Gunung Merapi-Merbabu

Kolonel Sahirman dan sejumlah pimpinan PKI Jawa Tengah melarikan diri setelah G30S/PKI gagal.

Baca Selengkapnya
Pasukan Pembawa Maut dari Lubang Buaya di Pagi Buta 1 Oktober 1965
Pasukan Pembawa Maut dari Lubang Buaya di Pagi Buta 1 Oktober 1965

1 Oktober 1965, pukul 03.00 WIB, belasan truk dan bus meninggalkan Lubang Buaya. Mereka meluncur ke Pusat Kota Jakarta untuk menculik tujuh Jenderal TNI.

Baca Selengkapnya