Kisah Laksamana Cheng Ho sebarkan Islam pada Suku Dayak di Tarakan
Merdeka.com - Penjelajah Muslim dari China, Laksamana Cheng Ho tercatat pernah mengunjungi Tarakan. Di Pulau Kalimantan itu Cheng Ho pun menyebarkan Agama Islam pada Suku Dayak.
"Suku Dayak di sini dikenalkan Islam oleh Laksamana Ceng Ho yang telah mengubah penampilan busana masyarakat sehingga dikenal sebagai Dayak Tidoeng," kata Juru Kunci Rumah Adat Suku Dayak Tidung Saparudin di Tarakan, Minggu (13/8). Demikian dikutip dari Antara.
Karena itu ada ornamen lukisan dinding berupa naga di rumah adat Dayak Tidoeng di Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
-
Siapa tokoh utama penyebar Islam di Jawa? Maulana Malik Ibrahim: Dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim juga dikenal dengan nama Kakek Bantal.
-
Kenapa Laksamana Cheng Ho mendarat di Palembang? Mengutip dari berbagai sumber, Laksamana Cheng Ho sendiri sempat tiga kali mendarat di Palembang. Lebih dari itu, ketika Palembang masih dibawah Kerajaan Sriwijaya pernah meminta tolong armada Tiongkok untuk menumpas para perampok Tiongkok Hokkian.
-
Siapa pendiri Kerajaan Mataram Islam? Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya atau Dananjaya) adalah pendiri Kerajaan Mataram Sultanate.
-
Bagaimana Islam masuk ke Perlak? Mengutip dari beberapa sumber, awal terjadinya proses penyebaran Islam di Kesultanan Perlak ini tak jauh dari para pedagang dari Arab dan Persia yang sudah beragama muslim.
-
Dimana letak Masjid Laksamana Cheng Ho? Sesuai dengan namanya, Masjid Laksamana Ceng Ho memiliki arsitektur Tionghoa yang terkenal dengan relief naga dan patung singa namun terdapat lafaz Allah dengan huruf Arab.
-
Bagaimana Teungku Muhammad Daud Beureueh memperjuangkan Islam di Aceh? Ia yang terpilih menjadi ketua umum secara aklamasi itu menghimpun ulama aktif di Aceh dalam program pengembangan sekolah-sekolah agama yang lebih modern sekaligus meningkatkan kualitas sekolah Islam di Aceh.
"Penamaan 'Tidoeng' sendiri berasal dari kata 'Gunung' karena Suku Dayak yang telah Islam itu berada di daratan tinggi dengan busana yang berbeda dengan suku dayak umumnya yaitu menggunakan gamis sehingga masyarakat setempat menyebutnya sebagai Dayak Gunung atau Dayak Tidoeng," katanya.
Saparudin menjelaskan, Suku Dayak Tidoeng menjadi satu dari 406 Suku Dayak yang tersebar di Kalimantan. Suku itu sempat mempunyai keraton yang dulunya berada di Lapangan Datu Adil di Tarakan, namun dihancurkan sampai rata dengan tanah oleh penjajah Belanda karena sikap Kesultanan Tidoeng yang menolak bekerjasama dengan penjajah.
"Nama kesultanan itu juga tenggelam oleh Kesultanan Bulungan karena setelah keraton dihancurkan Suku Tidoeng melakukan perlawanan dan menyingkir ke pedalaman" katanya.
Untuk menghadirkan kembali keraton yang sudah hilang itu, keturunan ke-14 dari Kesultanan Tidoeg, H Moehtar Basir Idris membangun replika rumah adat besar yang dulu berfungsi sebagai keraton di Jalan Aki Bambu, tempat lain yang lebih tinggi.
Moechtar Basir saat ini menjadi Kepala Adat Besar Dayak Tidoeng yang tersebar di seluruh Kalimantan dan sebagian besar mendiami Kalimantan Utara.
Di komplek itu dibangun rumah adat suku Tidung disebut dengan Baloy Adat Tidoeng dari bahan kayu ulin atau kayu besi yang banyak ditemukan di daerah Kalimantan. Lokasinya sekitar dua kilometer dari Bandar Udara Djuwata Tarakan.
Rumah Baloy Adat Tidoeng itu terdiri dari empat ruang utama yaitu Alad Kait tempat menerima masyarakat yang mempunyai masalah adat, Lamin Bantong tempat pemuka adat bersidang untuk memutuskan perkara adat, Ulad Kemagod berfungsi sebagai ruang berdamai setelah selesainya perkara adat, dan Lamin Dalom sebagai tempat singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.
Baloy Adat Tidoeng juga dinamakan Baloy Mayo Djamaloel Qiram untuk mengenang kepala suku pertama yang beragama Islam.
Komplek itu mulai dibangun tahun 2004 silam di lahan seluas 2,5 hektare dan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan Suku Tidoeng sekaligus sebagai tempat tujuan wisata rekreasi.
Menurut Saparudin, salah satu ornamen yang menghiasi dinding rumah adat yaitu gambar ikan besar yang disebut masyarakat setempat sebagai Keraton. Masyarakat dulu masih menjumpai ikan Keratong yang mempunyai panjang sampai empat meter dengan bobot satu ton.
"Ikan itu diyakini masih ada sampai sekarang dan hanya ada di hutan yang dikenal keramat," katanya.
Laksamana Ceng Ho yang juga mempunyai nama arab Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.
Beberapa tempat lain di Nusantara yang disiggahi antara lain Pulau Sabang, Pulau Batam, Pulau Bangka dan Semarang.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
KIsah pembantaian masyarakat Aceh oleh penjajah Belanda.
Baca SelengkapnyaSosoknya dikenal sebagai ulama karismatik yang memiliki rasa cinta yang begitu besar dengan agama dan negerinya.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca SelengkapnyaSeorang ulama pernah diutus untuk berdakwah pada para penganut ilmu hitam di kampung itu
Baca SelengkapnyaPanglima Perang dari Riau ini terlibat langsung dalam peperangan melawan Belanda di Sumatera Barat di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
Baca SelengkapnyaPerang Batak, perjuangan mempertahankan tanah leluhur dari pasukan Belanda.
Baca SelengkapnyaHari ini adalah 128 tahun wafatnya Teuku Nyak Makam yang patut dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Baca SelengkapnyaMenurut orang-orang tua yang menjadi saksi peristiwa itu, bom tepat jatuh di atas kubah masjid namun tidak hancur.
Baca Selengkapnya74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.
Baca SelengkapnyaRaja Champa meminta prajuritnya membunuh Syekh Ibrahim Asmoroqondi karena tak suka dengan dakwah Islam yang dilakukannya.
Baca SelengkapnyaDengan tekad yang kuat dan penuh keberanian untuk menentang dan melawan pihak kolonial, Depati Amir mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Bangka.
Baca SelengkapnyaPertempuran Tengaran terjadi pada masa Agresi Militer II, tepatnya sekitar tanggal 25 Mei 1947
Baca Selengkapnya