Kisah Pak Harto tolak perintah Bung Karno tangkap atasan
Merdeka.com - Meski proklamasi kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Belanda tetap tak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Tak hanya tekanan, Belanda juga melakukan teror terhadap para pejuang di Jakarta.
Bahkan, teror dalam bentuk penembakan terhadap pejabat-pejabat tinggi Indonesia kala itu, seperti terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir, semakin meresahkan. Akhirnya, Presiden Soekarno pada 4 Januari 1946 memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta.
Pindahnya ibu kota negara ke Yogyakarta semakin menambah berat tugas Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen III dengan pangkat Letkol. Selain bertugas menjaga keamanan Yogyakarta, Pak Harto juga harus menjaga keselamatan negara dan pemerintahan.
-
Kapan Soeharto dipanggil 'monyet'? Saat Perang kemerdekaan, Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan Mayor Soeharto untuk bertahan di puncak sebuah bukit yang strategis.
-
Siapa yang memanggil Soeharto 'monyet'? Adalah Kolonel Gatot Soebroto yang memanggil Soeharto, monyet.
-
Kenapa Soeharto diangkat jadi Jenderal Besar? Mabes ABRI tahun 1997 menyebutkan setidaknya ada tiga prestasi Soeharto yang membuatnya dinilai layak untuk mendapatkan gelar Jenderal Besar.
-
Siapa yang Soekarno ingin goncangkan dengan kata-kata bijaknya? “Berikan aku sepuluh pemuda, akan ku goncangkan dunia.“
-
Siapa yang Soeharto katakan sebagai patriot Indonesia? “Saya ini tentara. Tentara itu pedoman hidupnya Sapta Marga. Kami patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.“
-
Apa nama asli Soekarno? Soekarno dahulu terlahir dengan nama Kusno.
Apalagi kondisi perpolitikan Tanah Air saat itu sedang bergolak. Saat itu, sikap politik Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang cenderung mengutamakan diplomasi dan perundingan dengan Belanda mendapat tentangan hebat dari kubu oposisi yang dipimpin Tan Malaka.
Bahkan, pergolakan politik saat itu sampai-sampai berakibat pada diculiknya Sjahrir pada 27 Juni 1946 di Solo. Presiden Soekarno saat itu langsung menyatakan negara dalam keadaan perang dan menyerukan agar Sjahrir segera dibebaskan.
Walau seruan Bung Karno itu dipenuhi oleh pihak penculik, keadaan tetap saja menegangkan. Letkol Soeharto yang saat itu memiliki jabatan strategis tentu saja menjadi rebutan mereka yang bertentangan.
"Dalam pada itu, saya berusaha bersikap tenang, teguh dengan pendirian bahwa saya tidak boleh terlibat dalam percaturan yang saling berlawanan," kata Soeharto dalam autobiografi Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya yang diterbitkan Cipta Lamtoro Gung Persada.
Saat itu, Pak Harto menolak perintah Bung Karno yang memerintahkannya untuk menangkap atasannya Panglima Divisi Mayjen Sudarsono. Pak Harto yang tengah berada di Markas Resimen Wijoyo tiba-tiba kedatangan seorang utusan Istana bernama Sundjojo yang membawa pesan dari Bung Karno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Panglima APRI.
Dari Sundjojo, Pak Harto mendapat penjelasan soal kondisi negara. Saat itu negara tengah terancam dalam perebutan kekuasaan dan Mayjen Sudarsono terlibat di dalamnya, karenanya Pak Harto diperintahkan Bung Karno untuk menangkapnya.
"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," kata Pak Harto.
Tak lama kemudian, seorang utusan dari Istana juga datang menemui Pak Harto dengan membawa surat perintah dari Bung Karno yang isinya sama dengan yang diuraikan oleh Sundjojo. Pak Harto dihadapkan pada posisi yang sulit. Dia mendapat perintah langsung oleh Bung Karno tanpa melewati hirarki kepemimpinan di tentara dan harus menangkap atasannya secara langsung.
"Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut, dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jenderal Soedirman," katanya.
Dengan penuh perasaan kesal, Sundjojo pun akhirnya kembali ke Istana dengan membawa kembali surat perintah dari Bung Karno. Selang satu jam kemudian, Sundjojo menelepon Pak Harto dan mengatakan telah melaporkan hal itu kepada Bung Karno. Sundjojo mengatakan, Bung Karno memberinya sebutan sebagai 'Opsir Koppig' (opsir keras kepala).
Pak Harto kemudian menemui Mayjen Sudarsono. Meski tak memberi info soal rencana penangkapan, Pak Harto saat itu mengimbau agar Mayjen Sudarsono segera pindah ke Resimen III Wiyoro bersamanya. Soeharto saat itu beralasan ada informasi soal rencana penculikan terhadap Sudarsono oleh kelompok pejuang.
Pendek cerita, Mayjen Sudarsono pun setuju dan segera berangkat. Mayjen Sudarsono kemudian mengaku akan menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namun, Jenderal Sudirman justru menelepon Pak Harto dan memerintahkan agar Mayjen Sudarsono tetap berada di markas.
"Dari pembicaraan lewat telepon itu saya menarik kesimpulan bahwa Pak Dirman tidak terlibat dalam konflik politik itu," kata Pak Harto.
Saat tengah malam, Mayjen Sudarsono kembali ke Markas Resimen dengan membawa rombongan yang terdiri atas pimpinan politik yang dikeluarkan dari Rutan Wirogunan.
Kepada Soeharto, Mayjen Sudarsono mengaku telah memperoleh kuasa dari Jenderal Sudirman untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana, esok paginya. "Batin saya bicara 'Wah keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya.' Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia," kata Pak Harto.
Malam itu juga Pak Harto langsung memberi informasi ke Istana soal apa yang terjadi di Wiyoro dan apa yang akan terjadi esok hari di Istana. Sambil menjamin di luar Istana tak akan terjadi apa-apa, Pak Harto lantas mempersilakan pihak Istana untuk menangkap sendiri Mayjen Sudarsono setibanya di Istana.
Singkat cerita, Mayjen Sudarsono dan rombongannya ditangkap Pasukan Pengawal Presiden setibanya di Istana pada 3 Juli 1946, pagi. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan 'Peristiwa 3 Juli.'
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan.
Baca SelengkapnyaOrba tidak merasa puas memakamkan Bung Karno di Blitar untuk menjauhkan rakyat.
Baca Selengkapnya“Di negara ini hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng,” kata Gus Dur.
Baca SelengkapnyaSoeharto murka ketika mobil-mobil yang akan diselundupkannya ke Jawa dicegah naik kapal.
Baca SelengkapnyaMeski tidak pernah mengungkapkannya ke publik, Soeharto menyimpan nama orang-orang yang dianggap pernah mengkhianatinya.
Baca SelengkapnyaPelaku yang belakangan diketahui punya kekerabatan dengan Ibu Tien membuat Soeharto tidak nyaman.
Baca SelengkapnyaBrigjen Soepardjo adalah tentara paling tinggi yang terlibat langsung penculikan para jenderal saat G30S/PKi.
Baca SelengkapnyaSosok panglima perang termuda yang pernah dibenci karena kemampuannya.
Baca SelengkapnyaDiketahui, Hoegeng tidak memiliki rumah pribadi. Hanya ada rumah dinas di Jalan Muhammad Yamin, Jakarta. Bahkan, ia juga tak memiliki mobil pribadi.
Baca SelengkapnyaBanyak kisah menarik Soeharto dan para pengawalnya. Hal ini dikisahkan Jenderal (Purn) Kunarto.
Baca SelengkapnyaKomarudin Watubun sempat memerintahkan Satgas PDIP agar mengawal pemeriksaan Hasto di Polda Metro Jaya, Rabu (5/6).
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto bercerita ditertawai Megawati karena dipanggil polisi.
Baca Selengkapnya