Kisah pak tua jujur si penjual amplop
Merdeka.com - Cuaca hari itu sedang terik. Darta (78), bapak tua dengan gembolan keresek besar mencoba mencari tempat untuk menjajakan jualannya. Mengenakan baju putih dan penutup kepala merah kusam, Darta membuka lapak tepat di seberang pintu utama kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Darta adalah penjual amplop. Jika kebetulan melintas di sekitar Masjid Salman ITB, ada sosok kakek renta yang sangat setia dengan 'profesinya'. 12 Tahun sudah bapak tiga anak ini menjual lembaran demi lembaran kertas segi empat, yang kini sebenarnya sudah tergerus zaman.
Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu. Kini serba praktis. Amplop pun kini bukan jadi pilihan utama bagi kebanyakan orang.
-
Siapa pahlawan di uang kertas Rp 100.000? Uang kertas Rp 100.000 yang didominasi warna merah ini menampilkan dua tokoh proklamator Indonesia, yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
-
Siapa yang mendapatkan uang jajan Rp 10 juta? Devano menerima tunjangan bulanan sampai dengan Rp 10.000.000 dari orang tuanya.
-
Bagaimana uang Rp2.000 diubah menjadi Rp20.000? “Ya Tuhan duit Rp 2.000 dibuat jadi Rp 20.000 ditambahnya nol, Astagfirullah.. Astagfirullah,“ ujar pedagang wanita yang diduga jadi korban penipuan.
-
Bagaimana ciri khas uang koin Rp100? Uang koin Rp100 menjadi salah satu artefak berharga bagi para kolektor dengan desainnya yang menampilkan rumah gadang, disertai dengan tulisan 'Bank Indonesia' dan 'Seratus Rupiah'.
-
Siapa yang diminta membayar pungutan Rp10 juta? Miris, seorang warga yang hidup di bawah garis kemiskinan di Desa Kendayakan, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, batal menerima bantuan bedah rumah dari pemda setempat.Bukan tanpa alasan warga bernama Ahmad Turmudzi (49) itu tidak jadi mendapatkan bantuan renovasi. Sebab, agar perbaikan bisa dilaksanakan dirinya diduga harus membayar uang pungutan sebesar Rp10 juta.
-
Apa yang dijual dengan harga Rp1.000? Dengan bahan sederhana dan murah, Anda bisa menjual berbagai olahan es lilin ini dengan terjangkau, yaitu Rp1.000.
Cukup ternganga memang, ketika di sekitaran Jalan Ganeca, Bandung orang menjajakan dengan barang serba bernilai, Darta hanyalah menjual kertas amplop.
Merdeka.com, saat itu mencoba menghampiri bapak tua tersebut. Tak kuasa melihat kondisinya. Tangannya gemetar, kakinya kusam, pendengaran pun sudah tak sempurna.
"Ini amplop cep (panggilan buat orang yang lebih muda)," kepada merdeka.com, saat menanyakan barang apa saja yang dijual.
Dia menjual amplop ukuran kecil 5x3 cm dan besar 10x9 cm. Kertas amplop berisi 10 itu dibungkus ke dalam plastik. "Yang besar Rp 1.000 isinya 10, kalau yang kecil Rp 2.000 isinya 20," terangnya.
Sungguh terkaget mendengar harga yang ditawarkan. Mengapa kakek menjual semurah itu? "Saya masih dapat untung kok," jawab kakek.
Kata dia, dalam satu bungkus plastik yang berisikan 10 amplop, bisa meraup untung Rp 200. begitu juga dengan yang amplop kecil berisi 20.
Berarti kakek hanya ambil untung Rp 200 saja? "Iya bapak beli Rp 800, jual Rp 1.000 Itu juga patut disyukuri. Bapak masih bisa makan, dan yang pasti bapak sehat," ucap kakek yang enggan menaikkan harga amplopnya lantaran takut tidak laku.
Mengharukan memang mendengar jawaban jujur Darta. Keuntungan yang tidak seberapa, tapi dirinya berjuang untuk hidup. Istrinya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Sedangkan anak-anaknya, terlalu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
"Dari pada saya mengemis, lebih baik saya berjualan, bapak masih kuat kok," jawab Darta dengan senyum.
Kebetulan hari itu Darta cukup laris jualan amplopnya. "Sudah 20 plastik habis," ungkapnya sembari mengucapkan Alhamdulilah. 20 Bungkus dikalikan Rp 1.000 berarti, sudah mendapatkan Rp 20 ribu.
Paling banyak kakek ini pernah mendapatkan Rp 50 ribu. "Alhamdulilah itu juga, suka ada yang ngasih lebih," ujarnya.
Tapi, jika belum rezekinya, Darta tidak pernah mendapatkan uang sama sekali. "Pernah muter-muter tidak laku dijual, atau ya kadang dapat Rp 10 ribu atau Rp 15 ribu," ujarnya dengan suara lirih.
Tak selalu rezekinya di dapat di sekitaran kampus ITB, Darta pun mencoba peruntungannya di tempat lain. Biasanya dia membuka lapak di Simpang Lima, Dago, Bandung.
Atau di sekitaran Jalan Sukajadi, tepatnya di depan Rumah Sakit Sukajadi. Besar perjuangan Darta. Semua dia lakukan dengan berjalan kaki. Jarak ketiga tempat itu berjauhan. Diperkirakan Jalan Ganeca-Simpang Lima 2 kilometer, Jalan Ganeca-Sukajadi sekitar 5 kilometer.
"Bapak kuat kok, kalau pakai angkot uangnya nanti gak bisa buat makan," imbuhnya.
Tak ada raut pesimis dalam wajah Darta. Meski hari demi hari dilaluinya dengan sulit, tapi dirinya yakin bahwa Tuhan telah memberikan jalan terbaik.
"Dulu bapak pernah jadi tukang sapu di SMA 3 dan 5 Bandung, tapi Bapak memutuskan untuk jualan saja, yang penting bapak tidak minta-minta," ujarnya.
Tampak raut wajah sumringah di sela-sela obrolan. Sebab beberapa pembeli ada yang memborong amplopnya. Dia mengaku ingin pulang bisa lebih sore.
"Pengen pulang cepat," singkatnya, yang sudah mengantungi Rp 30 ribu hari itu. Darta bertempat tinggal di Desa Cipicung, RT 6/RW1, Kabupaten Bandung. Jarak desa ini ke tempat kakek berjualan diperkirakan mencapai 20 kilometer.
"Bapak berangkat jam setengah 5 subuh. Di jalan bisa sampai dua jam. Ongkosnya bisa mencapai Rp 12 ribu, bolak-balik," katanya.
Sungguh perjuangan luar biasa. 12 tahun lebih menjual amplop, Darta tak pernah mengeluh. "Tuhan punya jalan bagi orang yang mau berusaha," ujarnya menutup pembicaraan.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebuah video memperlihatkan seorang kakek yang menolak diberi uang karena alasan akhirat.
Baca SelengkapnyaMasuk tahun ajaran baru sekolah, buku tulis mulai banyak diburu orang tua murid.
Baca SelengkapnyaDudung memuji sikap semangat dari prajurit Babinsa tersebut.
Baca Selengkapnya