Kisah para pahlawan tanpa tanda jasa di pedalaman
Merdeka.com - Guru sering kali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa mereka untuk mencerdaskan bangsa layak diacungi jepol. Berkat para guru banyak orang pintar yang akhirnya membuat negara semakin maju. Namun apakah semua guru berhak mendapat julukan tersebut?
Meski berstatus sebagai guru namun terkadang nasib bisa berbeda. Contohnya saja soal penghasilan, tunjangan, fasilitas dan sebagainya. Mereka yang menjadi guru di kota besar seperti Jakarta tentu lebih baik di banding para guru di pedalaman.
Salah satu kisah guru di pedalaman adalah Ade Rahayu. Mahasiswa teknik Universitas Indonesia (UI) ini menunjukkan semangat kepahlawanannya dengan mengajar di wilayah perbatasan.
-
Dimana pengaruh guru bisa dirasakan? Seorang guru mempengaruhi keabadian; dia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya berhenti.
-
Siapa guru inspiratif di Bandung? Hendra merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Di keluarganya, Hendra jadi satu-satunya yang penyandang disabilitas. Namun Hendra justru terpacu untuk bisa memperoleh hak pendidikannya, bahkan ia menjadi satu-satunya anak di keluarganya yang menjadi sarjana.'Alhamdulillah sekarang bisa bergabung jadi guru di SMPN 4 Bandung. Saya merupakan satu-satunya anggota keluarga yang memiliki disabilitas. Namun, saya juga satu-satunya di keluarga yang bisa sekolah sampai sarjana,' katanya
-
Bagaimana guru memberikan pengaruh? Guru dapat mengubah hidup hanya dengan perpaduan kapur dan tantangan yang tepat.
-
Apa makna kata mutiara untuk guru? Pendidikan adalah kunci kesuksesan dalam hidup, dan guru membuat dampak yang langgeng dalam kehidupan siswa mereka.
-
Bagaimana guru mengatasi kesulitannya? Dalam video, guru laki-laki itu memperlihatkan nama muridnya Revaveroesy Veisaqireina Mulawarman. “Hi guys, nomor 19 bacanya gimana ya?“ katanya dalam video, diunggah akun Twitter @kegblgnunfaedh, pada Selasa (1/8). Saat sang guru kesulitan kesulitan menyebut nama muridnya. Murid-muridnya yang ada di dalam kelas sontak tertawa.
-
Siapa yang berterima kasih kepada guru? 'Terima kasih Bapak dan Ibu Guru, yang selalu sabar membimbing dan membekali berjuta ilmu pada kami, untuk kami menjadi generasi bangsa yang mampu menjaga serta membangun masa depan pribadi, keluarga, maupun untuk negara kita ini.'
Februari 2012, menjadi pembuktiannya sebagai pahlawan muda yang turun dari menara gading untuk mencerdaskan anak-anak di SDN 06 Sungai Tembaga, titik Dusun Sungai Tembaga, Desa Tinting Seligi, Kecamatan Badau, Kalimantan Barat.
"Berangkat dari keprihatinan mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, kami ingin melakukan suatu tindakan nyata sebagai bentuk tanggungjawab moral dan intelektual sebagai seorang mahasiswa. Hal sederhana yang terpikirkan pada waktu itu saya ingin menjadi guru, di daerah perbatasan. Kami menamakan kegiatan ini sebagai 'Gerakan Mahasiswa UI Peduli Perbatasan," ujar Ade bersemangat pada merdeka.com, Jakarta, Minggu (10/11) lalu.
Bersama rekannya, Fitrianti dan Nike, Ade menemukan hal yang memilukan hati. Pendidikan belum merata di Indonesia. Ade mendapati SD yang diajarnya hanya didukung oleh tiga guru, padahal muridnya membludak. Tak hanya itu ketidakoptimalan tenaga pengajar dan kelas ini membuat anak kelas 3 SD rata-rata masih belum bisa membaca.
"Di SDN 06 Sungai Tembaga yang pada jumlah siswa sekitar 45 orang dengan jumlah guru sebanyak 3 orang. Siswa tersebut ada yang kelas 1-5 SD, sedangkan kelas 6 belum ada siswanya. Sekolah tersebut hanya ada 4 buah kelas di mana kelas 2 ,3 dan kelas 5 hanya dipisahkan dengan sekat kayu. Siswa kelas 1-3 SD yang belum pandai membaca dan berhitung sehingga kami menyempatkan untuk belajar tambahan bersama," ungkapnya.
Namun jangan salah, letupan semangat justru datang dari anak-anak buruh perkebunan sawit. Meski dalam kondisi yang amat terbatas, nyatanya semangat anak-anak ini melampaui batas.
"Saya bisa melihat semangat besar mereka untuk belajar dan bermimpi tentang cita-cita mereka kelak. Anak-anak di sana hebatnya berani berpendapat bahkan kerap kali berebut untuk menjawab soal ataupun maju ke depan kelas," ceritanya senang.
Bukan hal mudah bagi Ade dan kawan-kawan menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan, Ade justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mentalnya.
"Akses transportasi yang sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi potret kehidupan saudara kita di sana," lanjut mahasiswa angkatan 2008 ini.
Beda di Kalimantan, beda lagi dengan nasib guru para anak TKI di Sabah Malaysia. Sejak tahun 2006, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengirim guru-guru ke tengah hutan sawit di Sabah, Malaysia untuk mendidik para anak pekerja sawit asal Indonesia. Kini tidak kurang 150 guru mengajar di estat atau perkebunan di tengah belantara hutan sawit.
"Saya sudah hampir dua tahun tinggal di sini. Saya mengajar di Pintasan 7, Lahad Datu," ujar Doddi Wibowo Irsan, salah seorang guru anak pekerja perkebunan kelapa sawit di Lahad Datu kepada merdeka.com, beberapa waktu lalu di Lahad Datu.
Lokasi Doddi mengajar dan tinggal berjarak lebih dari 130 Km dari kota Lahad Datu atau hampir tiga jam perjalanan menggunakan mobil. Satu setengah jam lewat jalan raya, sisanya masuk kawasan hutan sawit yang terjal.
"Kalau hujan kami sulit keluar masuk, karena di jalan di ladang sering banjir. Tak ada kendaraan umum masuk, yang ada hanya lori (truk pengangkut sawit) kami menumpang itu untuk keluar ladang," terangnya.
Untuk mendapatkan tumpangan lori, Doddi biasa harus menunggu berjam-jam. Jarak sekitar 50 Km dari jalan raya menuju estatnya dengan medan yang berbatu dan tanah tak mungkin dia tempuh dengan berjalan kaki.
"Air untuk keperluan mandi, cuci, kakus dan keperluan lainnya, kami mengandalkan air tadah hujan. Kalau hujan datang kami tampung di penampungan dari tong, lalu dialirkan dengan pipa. Tak jarang kami tak mandi selama dua hari karena tak ada air," terangnya.
Hal senada juga diungkapkan Suwandi, pria asal Surabaya yang mengajar di kawasan perkebunan sawit di Kinabatangan, Sabah. Lokasi estat atau pemukimannya juga sulit dijangkau dan juga harus mengandalkan lori untuk keluar masuk ladang.
"Di sini satu estat, satu guru. Satu sekolah satu guru dari Indonesia. Jadi kami terpaksa mengajar satu kelas di mana di situ ada siswa kelas 1 hingga kelas enam SD, ada siswa SMP nya juga," terang Wandi.
Pola mengajar seperti itu memang terjadi di semua sekolah anak para TKI. Para cikgu hanya memberi garis di papan tulis untuk membedakan pelajaran untuk jenjang pendidikan.
"Jadi kalau hari ini matematika, maka sekelas belajar itu semua. Kelas satu belajar perkalian dua, kelas dua perkalian tiga dan seterusnya," terang Wandi.
Kisah guru-guru di perbatasan atau pedalaman memang sangat memperihatinkan. Dengan kondisi seadanya mereka tetap berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa demi masa depan mereka yang lebih baik. Selamat berjuang para Guru, sang pendidik bangsa. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bahkan, para guru ini harus menggunakan perahu untuk menuju ke tempat sekolah tersebut.
Baca SelengkapnyaGuru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memberikan cahaya kepada para siswa, membimbing mereka melewati lorong ilmu pengetahuan.
Baca SelengkapnyaGuru yang dulunya penuh wibawa di ruang kelas kini harus berjuang mengais rezeki di tengah keramaian terminal.
Baca SelengkapnyaPerjuangan guru yang mengajar di sekolah terpencil ini viral di tiktok, berangkat lewati jalan berlumpur hingga muara.
Baca SelengkapnyaNasib para tenaga pendidik di sebuah SMK di Ende berikut ini pun menuai rasa keprihatinan.
Baca SelengkapnyaViral guru honorer ungkap gajinya selama dua bulan, bikin warganet ikut sedih.
Baca SelengkapnyaGuru memiliki andil besar dalam mencetak anak-anak yang berkualitas dan memiliki daya saing.
Baca SelengkapnyaAwalnya, ia merasa tugas ini berat karena perjalanan yang melelahkan dan fasilitas yang terbatas, namun kenyataannya berbeda dari yang dibayangkannya.
Baca SelengkapnyaBerangkat dari keluarga sederhana, sang dosen hingga kini tak menyangka dirinya mampu mencapai titik puncak.
Baca SelengkapnyaPerjalanan ke tempat bertugasnya itu harus ditempuh dengan penuh perjuangan.
Baca SelengkapnyaKendati demikian, ia tetap bersyukur dengan apa yang didapatkannya itu.
Baca SelengkapnyaBerjibaku memenuhi kebutuhan hidup, sang guru lantas rela menjadi pemulung usai mengajar.
Baca Selengkapnya