Kisah Pasukan Baret Merah RPKAD hadang konvoi Presiden Soekarno
Merdeka.com - 12 Anggota Kopassus TNI AD menjalani persidangan perdana kasus penyerangan Lapas Cebongan hari ini. Para prajurit baret merah tersebut didakwa atas penyerangan yang menewaskan Hendrik Angel Sahetapi alias Deki (31), Yohanes Juan Mambait (38), Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33). Motif mereka menuntut balas kematian Serka Heru Santoso yang dihajar hingga tewas di Hugo's Cafe.
Ada cerita antara pasukan korps Baret Merah ini dengan Presiden Soekarno di senjakala kekuasaannya. Setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, kekuasaan Soekarno terus dipreteli. Soekarno memang masih presiden, tapi kekuasaan sudah dipegang Mayjen Soeharto .
Suasana Jakarta sangat menegangkan pada saat itu. Tentara berpatroli keliling kota dengan panser dan truk. Di setiap ruas jalan, satu regu tentara bersenjata dan kawat berduri merupakan pemandangan lazim.
-
Siapa yang terlibat dalam kontak tembak? Kontak tembak terjadi antara Satuan Tugas Batalyon Infanteri (Satgas Yonif) 133/Yudha Sakti dengan OPM wilayah Sorong Raya.
-
Siapa yang memiliki senjata? Senjata-senjata logam itu terletak di bawah dua rumah awal abad kelima yang kemungkinan besar milik seseorang yang cukup kuat untuk membentuk pasukan.
-
Bagaimana Kapolri disapa oleh anggotanya? Bapak saya kan masuk polisi tahun 83, bapak Kapolri kan tahun 91. Di belakang katanya Bapak Kapolri katanya adik-adikannya Pak,' kata komika ini yang langsung membuat para Jenderal tertawa.
-
Bagaimana momen adu panco antara Kasad dan prajurit? Pertandingan panco tersebut berlangsung seru dan menyenangkan.
-
Bagaimana kontak senjata terjadi? Saat itu, pesawat yang baru akan mendarat di Intan Jaya mengalami penembakan, hingga akhirnya mendapat bantuan dari Pos Perimeter TNI Yon 330/TD. 'Diduga tembakan berasal arah dari gereja Katolik Santo Misael, Bilogai,' kata Bayu.
-
Siapa yang terlibat dalam baku tembak tersebut? Anggota Brimob dan TNI yang dikerahkan untuk menjaga keamanan Papua dan menumpas KKB juga mengalami masalah yang cukup pelik. Anggota Brimob dan TNI pun kerap terlibat baku tembak dengan para teroris di Papua yang semakin lama mulai berani menyerang TNI dan Polri yang berjaga di sana.
Ceritanya, tanggal 18 Maret 1966, Soekarno akan berangkat ke Istana Bogor. Sesuai protap kepresidenan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) mengawal Soekarno . Mereka mengibarkan bendera kuning kepresidenan. Artinya jelas, ini rombongan resmi. Presiden bukan dalam keadaan incognito atau penyamaran.
Komandan DKP AKBP Mangil Martowidjojo menceritakan saat dramatis tersebut dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour, terbitan Kompas.
Baru berjalan puluhan meter, di depan sudah ada barikade. Mereka dicegat sepasukan RPKAD yang dipimpin seorang kapten di dekat Air Mancur, Jl Medan Merdeka Barat.
"Bapak berada di mobil nomor dua, paling depan jip DKP, nomor tiga mobil yang saya naiki dan ditutup oleh jip DKP. Begitu konvoi berhenti, sesuai prosedur, semua anak buah saya langsung berhenti melindungi mobil bapak sambil melepas kunci pengaman senjata," kata Mangil.
Saat itu DKP bersenjatakan senapan otomatis AR-15 yang lebih canggih dari AK-47 yang dibawa RPKAD. Mangil tak takut menembak jika keselamatan Soekarno terancam.
"Stop, ini rombongan siapa? teriak kapten RPKAD itu.
Mangil menjawab tegas. "Kalau Kapten melihat bendera di mobil kedua, sebagai perwira ABRI harusnya tahu. Ini konvoi resmi Presiden Republik Indonesia."
"Tetap harus diperiksa," balas kapten berbaret merah itu.
Mangil tak mau kalah. "Silakan. Tetapi, sebelum kapten bergerak maka kami harus tembak lebih dulu. Sebab tanggung jawab kami sebagai DKP jelas tidak pernah mengizinkan perjalanan Presiden RI terhalang," tegas Mangil.
Dua perwira tersebut adu urat. Anak buah mereka bersiaga dengan tegang. Menggengam senapan yang siap menyalak. RPKAD adalah pasukan elite terbaik. Mereka juga yang membebaskan RRI dari tangan PKI. RPKAD menduduki Halim dan mereka juga yang akhirnya menemukan sumur tua di Lubang Buaya berisi jenazah para jenderal. Ini pasukan pemukul andalan Soeharto saat itu.
Tapi jangan remehkan DKP, mereka polisi pilihan. Sudah mengawal Soekarno sejak proklamasi dibacakan tanggal 17 Agustus 1945.
Kesetiaan DKP pada Soekarno sudah terbukti seratus satu persen. Keberanian mereka telah menyelamatkan Soekarno dari beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini pun mereka siap bertempur habis-habisan.
RPKAD dan DKP, para prajurit yang siap tempur untuk membela apa yang mereka yakini.
Untunglah akhirnya Kapten RPKAD tersebut mengalah. Dia membiarkan rombongan Soekarno melintas tanpa perlu digeledah. Rombongan pun melaju mulus sampai Bogor.
Tapi Jenderal Soeharto tak membiarkan insiden itu berlalu begitu saja. Tanggal 23 Maret 1966, Soeharto membubarkan Tjakrabirawa. Pengawalan Istana diserahkan ke Polisi Militer Angkatan Darat. Tidak sampai di situ, tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto membubarkan DKP. Seluruh personel DKP dikembalikan ke Korps Brimob berdasarkan perintah Panglima Korps Brimob. Soeharto tahu loyalitas para pengawal Soekarno ini.
Soeharto akhirnya menahan Soekarno hingga proklamator ini meninggal dunia tanggal 21 Juni 1970.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Para petinggi TNI hingga jajaran pejabat nampak hadir di lokasi.
Baca SelengkapnyaDua jenderal TNI Polri rela terjun langsung ke medan pertempuran sambil bawa senjata demi dapat mengamankan DPO teroris di Poso.
Baca SelengkapnyaKolonel Sahirman dan sejumlah pimpinan PKI Jawa Tengah melarikan diri setelah G30S/PKI gagal.
Baca SelengkapnyaJenderal, Kolonel, Letnan kolonel tak ada yang berani mengacungkan tangan. Pilihan jatuh pada seorang kapten baret merah.
Baca SelengkapnyaSebuah peristiwa pembajakan pesawat maskapai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 206 ini menjadi momen bersejarah bagi Kopassus.
Baca SelengkapnyaPemberontakan G30S/PKI juga meletus di Semarang. Brigjen Suryo Sumpeno mengerahkan panser dan tank untuk mengusir mereka.
Baca SelengkapnyaSebuah potret lawas yang merekam aktivitas sang Proklamator beredar di media sosial.
Baca Selengkapnya