Kisah pilu satu keluarga di desa lereng Gunung Agung mengalami buta
Merdeka.com - Miris melihat kehidupan suami istri I Ketut Subrata (26) dan Ni Wayan Astini (25). Tidak hanya mereka berdua yang alami kebutaan, bahkan bayi yang baru dilahirkan dan kini berumur 10 hari juga mengalami kebutaan.
Keluarga ini sangat dikenal di lingkungan tempatnya tinggal, sebuah desa penuh debu di lereng Gunung Agung bagian timur. Tepatnya di Dusun Tunas Sari, Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Karangasem Bali.
Di rumah semi permanen ini, mereka tidaklah hidup bertiga. Masih ada tiga saudara Subrata masing-masing I Nyoman Sukarya (29) yang merupakan kakak kandungnya, serta dua saudara tirinya, Ni Ketut Murniati (31) dan Ni Made Merta (27) yang bernasib sama, alami kebutaan sejak lahir.
-
Bagaimana cara menghadapi kesulitan hidup? “Jangan pernah merasa sepi tau bahkan sendiri, karena sejatinya kita tidak benar-benar sendiri. Masih ada Tuhan yang menemani kita.”
-
Bagaimana manusia bertahan? Salah satu peneliti di School of Medicine, New York, mengatakan bahwa diperkirakan populasi manusia modern pada saat itu berjumlah 1.280 selama 117.000 tahun lamanya.
-
Bagaimana warga Desa Cipelem bertahan hidup? Selain mengandalkan penghasilan sehari-hari, warga Desa Cipelem juga bergantung pada bantuan pemerintah. Selain itu mereka juga mencukupi kebutuhan dengan berhutang sana-sini.
-
Mengapa sulit untuk bertahan hidup di bawah reruntuhan? Sebagian besar operasi penyelamatan dilakukan dalam 24 jam pertama pasca-bencana. Setelah itu, peluang bertahan hidup semakin menurun.
-
Bagaimana korban gempa bisa bertahan hidup? Menurut ahli, seseorang dapat bertahan selama satu minggu atau lebih di bawah reruntuhan bangunan setelah gempa. Akan tetapi, hal ini tergantung pada sejauh mana cidera yang dialami, kondisi tempat terperangkap, faktor akses terhadap air, udara, dan cuaca.
-
Bagaimana cara mereka hidup? Pada dasarnya, mereka hanya mengurung diri sepanjang hari di kamar tanpa pergi ke mana pun, kecuali sesekali ke perpustakaan atau berbelanja di toko sekitar rumah.
"Kami berempat sudah buta sejak lahir termasuk istri saya juga buta, namun istri saya mengalami buta sejak sekolah SMA," aku Subrata, Rabu (27/7).
Dia menceritakan awal pertemuan dengan sang istri yang telah memberikannya seorang bayi mungil. Semua bermula saat dirinya menjadi penghuni panti sosial Bina Netra Natwa Mahatnia di Kabupaten Tabanan beberapa tahun silam.
Di tempat itu, selain mendapat pelajaran cara memijat yang kini menjadi sumber penghasilan, Subrata muda berkenalan dengan Ni Wayan Astini hingga akhirnya tahun 2014 lalu keduanya memutuskan menikah.
"Saya lahir di Pulau Sumbawa ikut orang tua yang merantau ke sana, setelah besar baru ke Bali dan menetap di panti sosial selama beberapa waktu. Di panti itulah ketemu dengan istri," ujarnya.
Keputusannya untuk menikah dengan harapan memiliki anak normal agar ada yang bisa menuntun kehidupan mereka pun belum bisa terwujud. Keduanya kini hanya bisa pasrah.
Kondisi kehidupan keluarga Subrata terbilang sangat jauh dari layak, beruntung dirinya mendapatkan bantuan bedah rumah dari paguyuban galian C dan dari ADD desa, sehingga bisa berdiri rumah mungil untuk tempat berteduh.
"Rumah ini bantuan dari desa dan paguyuban, sebelumnya hanya sebuah gubuk saja," ujar Subrata lagi.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia dan istrinya menjalankan profesi sebagai tukang pijat. Sebagai tambahan, dia memanfaatkan pelatihan menggunakan telepon genggam dengan panduan suara yang didapat di panti sosial untuk berjualan pulsa HP dan pulsa listrik.
Namun dari kedua pekerjaan yang digelutinya itu, Subrata mengaku mengalami keterbatasan fasilitas pijat seperti ruangan tempat pijat, tempat tidur khusus pijat dan kelengkapannya, minyak oles pijat, serta kekurangan modal berjualan.
"Saya bercita-cita ingin buka tempat pijat khusus, bukan sekadar sambilan seperti saat ini. Tapi saya tekendala permodalan untuk membuat tempat dan kelengkapannya, termasuk modal untuk jualan pulsa juga sangat minim. Kalau bisa saya dibantu kredit lunak dari perbankan untuk modal untuk membangun usaha," cetus Subrata.
Dia pun berkeluh kesah tentang terhambatnya pengurusan akta perkawinan, karena belum memenuhi aturan yakni datang langsung ke Didukcapil. Aturan itu diharapkan dapat dipermudah, mengingat identitas kependudukan yang sangat penting untuk segala urusan termasuk untuk menerima bantuan-bantuan fasilitas dari pemerintah.
Keprihatinan ini yang membuat istri Gubernur Bali Ayu Pastika mengunjungi langsung keluarga ini, Rabu (27/7). Pastika memberikan santunan berupa paket sembako dan modal usaha sekaligus dua set tempat tidur khusus memijat beserta kelengkapannya.
"Kebetulan mereka kan sudah punya keahlian memijat yang sudah didapat di panti sosial, kami tinggal membantu fasilitas untuk mendukung keahliannya, sehingga keahlian itu pun bisa menjadi lapangan pekerjaan yang memberikan penghidupan bagi mereka sekeluarga," ujar Ayu Pastika. (mdk/cob)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Warga harus berjuang keras untuk mendapatkan air di tengah bencana kekeringan.
Baca SelengkapnyaSatu keluarga di Lebak, Banten mengalami kebutaan total dan penyebabnya masih belum diketahui
Baca SelengkapnyaSebuah kampung terpencil tengah hutan dihuni para lansia. Bagaimana kehidupan mereka di sana?
Baca SelengkapnyaSaat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Baca SelengkapnyaDisaat semua warga pindah, keluarga ini memilih bertahan di kampung mati.
Baca SelengkapnyaSebuah keluarga yang memiliki dua bocah perempuan terpaksa harus tinggal di kampung mati tengah hutan dan setiap hari makan nasi pakai garam.
Baca SelengkapnyaSetiap hari, sang istri mengasuh anaknya sambil bersabar menunggu suami pulang berburu ke hutan untuk makan sore ini.
Baca SelengkapnyaSaat musim tanam tiba, para perantau itu pulang sebentar untuk menanam jagung dan selanjutnya pergi merantau lagi
Baca SelengkapnyaAda seorang warga kampung yang hilang dan keberadaannya belum diketahui hingga kini.
Baca SelengkapnyaAkses menuju kampung itu cukup sulit. Pengunjung harus berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang terjal dan berbatu.
Baca SelengkapnyaSeorang ibu-ibu warga di sana menyebutkan bahwa kampung ini sudah ada sejak zaman peperangan.
Baca SelengkapnyaWarga di berbagai daerah terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.
Baca Selengkapnya