Kisah Riyati, pengrajin cobek batu dari Gunung Arjuno
Merdeka.com - Riyati (52) sudah puluhan tahun menjadi pengrajin cobek batu di Malang, Jawa Timur. Hidupnya bergantung dari memproduksi alat dapur pembuat sambal tersebut.
Keterampilan membuat cobek batu sudah warisan turun-temurun dan menjadi mata pencarian. Bahkan tidak pernah tahu, sejak kapan orangtua dan masyarakat sekitar rumahnya menjadi pengrajin cobek.
"Sudah turun-temurun, saya sendiri tidak tahu sejak kapan warga di sini mulai membuat cobek," kata Riyati di sela menghaluskan cobek buatannya di belakang rumahnya, Dusun Bodean Putuk, Desa Toyomarto, Kabupaten Malang, Rabu (3/8).
-
Bagaimana proses pembuatan cobek di Kampung Cikanyere? Proses pembuatannya pun dengan alat tradisional menyerupai pisau pendek yang tajam.Mula-mula potongan kayu kelapa dipahat, dan dibuat setengah lingkaran.Kemudian, Solih langsung melubangi tengahnya, sampai membentuk cekungan.Ulekan setengah jadi itu lantas dihaluskan, hingga selesai sempurna.
-
Bagaimana proses memasak dengan bakar batu? Bakar batu adalah ritual memasak bersama dengan menggunakan batu-batu panas yang ditata di tanah sebagai pengganti kompor. Biasanya, warga memasak menu makanan lengkap yang terdiri dari umbi-umbian, sayuran, daging, dan ikan dengan metode ini. Makanan dibungkus dengan daun pisang atau daun kelapa, lalu diletakkan di antara batu-batu panas dan ditutup dengan tanah atau dedaunan untuk menjaga panasnya.
-
Bagaimana cara batu tersebut digunakan? Batu kuno itu rupanya adalah peninggalan zaman Romawi yang dipakai menumbuk atau menggiling buah zaitun untuk diambil minyaknya.
-
Bagaimana batu terbentuk? Batu adalah material padat yang terbentuk secara alami dari satu atau lebih mineral atau mineraloid.
-
Kenapa pengrajin di Kampung Cikanyere membuat cobek dari kayu kelapa? Menurut Solih, cobek buatannya ini dia buat dari kayu kelapa yang banyak ditemukan di sekitar tempat tinggalnya.
-
Bagaimana proses pembuatan rakik-rakik? Proses pembuatannya bangunan untuk rakik-rakik ini dilakukan secara gotong royong oleh pemuda-pemudi setempat. Mereka bekerja sama membentuk sebuah bangunan yang terbuat dari bambu.
Warga Dusun Petung Wulung dan Bodean Putuk, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang menjadi pusat perajin cobek. Ratusan warga kedua dusun tersebut hidup dari proses produksi cobek batu, mulai kuli angkut batu, pemecah batu sampai menjualnya ke sejumlah kota.
Batu-batu bahan cobek diperoleh dari para penambang di lereng Gunung Arjuno. Batu tersebut dibeli dengan kisaran harga antara Rp 380 ribu sampai Rp 400 ribu per pikap, dengan bergantung jarak tempuh ke rumah pengrajin.
Perajin cobek Gunung Arjuno ©2016 merdeka.com/darmadi sasongko"Saya paling hanya habis satu mobil pikap setiap bulan," kata Riyati yang diamini suaminya, Jernadu (61).
Proses awal pembuatan cobek batu, kata Riyati, memecah bahan menjadi lebih kecil, sehingga mudah dipotong-potong sesuai ukuran cobek yang diinginkan. Satu per satu, batu akan dibentuk dengan menggunakan tatah layaknya pengukir.
Batu dibentuk sampai mendekati bentuk cobek, yakni bundar dan cekung di bagian tengahnya. Semua sisi tidak rata, tetapi sudah terbentuk seperti yang diinginkan.
"Bentuknya sampai setengah jadi. Baru kemudian dihaluskan dengan mesin gerinda," kata Riyati.
Sehari-hari, Riyati bertugas menghaluskan permukaan cobek dengan mesin gerinda, sampai kondisi siap jual. Sekitar 15 cobek segala ukuran berhasil diselesaikan dalam sehari.
Saat bekerja, seluruh tubuhnya tertutup, kecuali mata. Karena debu hasil gesekan gerinda dan batu bahan cobek akan berterbangan. Tangan dan kakinya harus menahan beratnya batu dan tekanan mesin gerindra.
"Sudah biasa, memang begini pekerjaannya," katanya saat ditanya pengaruh debu pada kesehatannya.
Riyati dan suaminya berbagi peran dengan adiknya, yang konsentrasi 'thetek' atau membentuk cobek. Dia hanya menghaluskan saja dengan mesin gerinda sumbangan pemerintah. Sebelumnya sepenuhnya menggunakan tatah dan tangan.
"Kalau saya dan suami, menghaluskan saja. Adik saya yang membuat di rumahnya," katanya.
Cobek-cobek tersebut dibuat dengan empat ukuran yang dijual Rp 15 ribu, Rp 20 Ribu, Rp 25 Ribu dan Rp 100 ribu. Setiap minggu akan ada tengkulak yang datang mengambil. Bahan satu pikap batu akan menghasilkan antara 100 sampai 110 cobek berbagai ukuran.
"Kalau kami, masih punya sapi. Harus cari rumput, di luar membuat cobek. Beberapa orang di sini ada juga yang benar-benar bergantung dari membuat cobek batu," katanya.
Lewat keterampilan membuat cobek, keluarga Jernadu dan Riyati berhasil membesarkan ketiga anaknya. Bahkan orang-orang di desa mereka juga membesarkan anak-anaknya dengan cobek batu. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Keberadaan blender dan chopper ternyata tak menggantikan cobek batu kali.
Baca SelengkapnyaWalau terbuat dari kayu, ulekan tradisional khas Cikanyere ini kuat.
Baca SelengkapnyaDdi tangan santri ini daun jati jadi sumber cuan. Ia membuat lukisan dari daun jati bernilai seni tinggi.
Baca SelengkapnyaKeunikan dari tembikar tradisional Sungai Janiah ada pada pembentukan tembikar yang dibuat sembari dipangku di atas pelukan pengrajin yang duduk berselonjor.
Baca SelengkapnyaKapak perimbas digunakan untuk memotong kayu, membuat persembahan, dan bahkan sebagai senjata untuk berburu atau melindungi diri dari serangan binatang buas.
Baca SelengkapnyaHaji Waet berharap rumah batu miliknya bisa menjadi contoh bagi rumah-rumah lainnya.
Baca SelengkapnyaDi zaman modern ini, perlahan demi perlahan peninggalan-peninggalan zaman kuno dulu berhasil ditemukan.
Baca SelengkapnyaDi kampung Cipari ada puluhan perajin golok dengan metode pembuatannya yang masih tradisional.
Baca SelengkapnyaMomen Panglima Perang Suku Dani bentak prajurit Kopassus lantaran tak bisa angkat kayu. Begini selengkapnya.
Baca Selengkapnya