Kisah Solehuddin: Hidup Bersama 2 Anak di Poskamling & Tak Pernah Tersentuh Bansos
Merdeka.com - Nestapa dialami oleh kakak-beradik, Zahra Fitriani (9 tahun) dan Salsabilla Putri (8 tahun). Dua gadis cilik ini, selama setahun terakhir tinggal di pos kamling bersama sang ayah, Solehuddin.
Pos kamling yang mereka huni amat tidak layak. Lokasinya di Kelurahan Baratan, Kecamatan Patrang, tidak jauh dari kantor Pemkab Jember, Jawa Timur. Mereka biasa hidup berpindah-pindah. Menjajaki emperan rumah-rumah warga.
“Sebelumnya, kadang tinggal di emperan rumah warga. Dulu pernah kita numpang di rumah kosong, kita bantu bersih-bersih. Tetapi setelah pemiliknya datang, kita tahu diri sehingga pergi,” ujar Solehuddin (32) saat diwawancarai awak media pada Selasa (05/10/2021).
-
Bagaimana cara warga memindahkan rumah? Secara kompak, warga memindahkan rumah dari Kampung Wates ke kampung lain dan akan berkumpul untuk memakan makanan tradisional secara bersama-sama di lokasi pemindahan.
-
Siapa yang menghuni pemukiman? Analisis genetik pada tulang manusia yang digali menunjukkan hubungan erat antara penduduk pemukiman ini dengan kelompok lain di China selatan dan Asia Tenggara.
-
Bagaimana cara mereka hidup? Pada dasarnya, mereka hanya mengurung diri sepanjang hari di kamar tanpa pergi ke mana pun, kecuali sesekali ke perpustakaan atau berbelanja di toko sekitar rumah.
-
Bagaimana kehidupan warga di pemukiman padat? Saat memasuki area perkampungan lebih dalam, kehidupan warganya pun masih begitu terasa.
-
Dari mana saja orang cari rumah di Jakarta? Dari segi asal, lanjutnya, sebagian besar pencari properti di Jakarta berasal dari dalam wilayah itu sendiri. Namun, kota-kota satelit di sekitarnya juga mencatatkan proporsi pencarian yang signifikan.
-
Dimana lokasi rumah transmigrasi? Orang-orang yang mengikuti program transmigrasi akan disebarkan ke beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki angka penduduknya yang masih lebih sedikit. Salah satunya di Sulawesi Tenggara tepatnya di Konawe Watutinawu.
Sebenarnya, Solehuddin masih memiliki keluarga, yakni mertua yang rumahnya ada di Jember. Namun, sejak sang istri meninggal setahun silam, Solehuddin merasa segan untuk tinggal di sana.
“Ada saudara ipar yang mendiami rumah mertua. Kalau mertua sudah meninggal juga,” ujar Solehuddin.
Karena hidup nomaden, pendidikan dua bocah ini juga terganggu. Sejak setahun terakhir, kakak beradik Zahra dan Salsabilla tidak bersekolah. Sebelumnya, mereka sekolah di salah satu SD tempat mereka menumpang tinggal.
“Ada kendala ekonomi, jadi tidak bisa bersekolah. Mereka sering ikut saya kerja,” paparnya.
Solehuddin bekerja serabutan. Terkadang dia membantu bekerja di bengkel. Di musim kemarau, Solehuddin menjual layangan untuk anak-anak. Keluarga ini juga tidak pernah menikmati bantuan sosial dari pemerintah. Sebab, nama mereka tidak masuk dalam daftar resmi pemerintah.
Untuk keperluan mandi dan buang air, keluarga kecil ini biasanya menuju ke sungai terdekat. “Kalau makan, kadang ada warga yang kasih sumbangan. Kadang juga beli di warung,” tutur Solehuddin.
Kisah Solahuddin ini kemudian viral karena diposting salah satu warga. Selang beberapa jam setelah kabar ini tersiar, Pemkab Jember pada Selasa (05/10) siang langsung mendatangi pos kamling tersebut.
“Setelah kita cek, memang benar ada warga yang tinggal di pos kamling. Ini memang tidak layak untuk dihuni, tidak sehat. Kita langsung cari solusi hari ini juga,” ujar M. Haidori, Camat Patrang yang datang bersama jajaran Polsek dan Koramil.
©2021 Merdeka.comDinas Sosial Pemkab Jember juga langsung memberikan bantuan. “Lewat musyawarah, tadi kita sempat ajak untuk pindah di sebuah rumah milik Gus Syaif karena lebih layak,” ujar Plt Kepala Dinsos Jember, Widi Prasetyo.
Gus Syaif atau KH Saiful Ridjal Chalim Shiddiq adalah pengasuh Pondok Pesantren Islam (PPI) Asshiddiq Putri (Ashri). Kebetulan, kiai yang juga aktivis sosial ini memiliki rumah kosong tidak jauh dari pos kamling tersebut.
“Tapi dua anaknya ternyata tidak mau tinggal di sana. Karena tidak punya teman main, sepi,” papar Widi.
Akhirnya diputuskan, Solehuddin dan kedua putrinya ditampung di rumah warga yang memiliki kamar kosong. Rumah tersebut tidak jauh dari lokasi pos kamling di Kelurahan Baratan.
“Yang terutama, kita memastikan bahwa dua anak ini bisa kembali melanjutkan sekolah. Ini penting sekali,” tegas Widi.
Dinsos Jember memberikan bantuan berupa jaminan pangan selama 20 hingga 30 hari ke depan untuk keluarga ini. Dinsos juga akan mengupayakan mereka mendapatkan rumah melalui program bantuan rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).
Widi mengakui, keluarga Solehuddin tidak pernah tersentuh program bantuan sosial apapun dari pemerintah. Seperti PKH ataupun BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai).
“Karena memang mereka tidak masuk di dalam data pokok sosial. Sehingga sampai kapanpun, tidak akan bisa terima bantuan. Jadi tadi kita upayakan untuk masuk data. Juga kita berikan jaminan kesehatan,” pungkas Widi.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tak ada pilihan lain bagi Pak Kasimin selain tinggal di tengah hutan. Rumah yang ia tempati merupakan warisan orang tuanya.
Baca SelengkapnyaDitinggal orangtua, dua bocah ini harus tinggal sebatang kara. Aksi kakak rawat adik seadanya begitu menyayat hati.
Baca SelengkapnyaDua kakak beradik itu pun bertahan hidup dengan memprihatinkan.
Baca SelengkapnyaSaat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Baca SelengkapnyaSebuah keluarga yang memiliki dua bocah perempuan terpaksa harus tinggal di kampung mati tengah hutan dan setiap hari makan nasi pakai garam.
Baca SelengkapnyaPotret rumah seorang pensiunan TNI AL yang ada di tengah hutan di Sumedang, Jawa Barat.
Baca SelengkapnyaBM sempat tidur di teras rumah orang dan emperan toko, di halaman masjid.
Baca SelengkapnyaAda banyak cara bagi seseorang untuk hidup tenang dan bahagia. Misalnya saja seperti yang dilakukan oleh pasangan lansia di Kampung Curug.
Baca SelengkapnyaPemuda Telanjang Dada Keturunan Rohingya Bertahan Hidup di Hutan, Usai Orangtua Angkat Meninggal Dunia
Baca SelengkapnyaWalaupun keluarganya sudah membujuknya untuk tinggal bersama mereka, namun Mbah Subeno tetap memilih tinggal menyendiri di sana.
Baca SelengkapnyaBocah Papua harus rela tinggal berdua dengan adiknya selama berbulan-bulan karena orang tua mereka bekerja mencari kayu gaharu di tengah hutan.
Baca SelengkapnyaTerlihat rumah-rumah di Kampung Popok cukup sederhana dengan nuansa Jawa.
Baca Selengkapnya