Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Korupsi Kejahatan Luar Biasa, Juliari Tak Bisa Divonis Berdasarkan Sanksi Sosial

Korupsi Kejahatan Luar Biasa, Juliari Tak Bisa Divonis Berdasarkan Sanksi Sosial Mantan Mensos Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara. ©2021 Liputan6.com/Helmi Fithriansyah

Merdeka.com - Vonis 12 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara menuai kritik dari pelbagai pihak. Kritik itu terkait pertimbangan hakim menjadikan sanksi sosial sebagai dasar meringankan hukuman Juliari atas perkara korupsi suap bansos Covid-19.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman mengatakan, pertimbangan vonis ringan Juliari merupakan otoritas majelis hakim. Namun Sunyoto menilai sanksi sosial itu tak bisa dijadikan dasar pertimbangkan hakim menjatuhkan vonis terhadap Juliari.

Sebab menurut dia, korupsi merupakan extraordinary crime atau masalah kriminal yang luar biasa. Sehingga lanjut dia, sanksi sosial berupa cacian masyarakat tidak sesuai dijadikan pertimbangan majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Juliari.

Dia menjelaskan, sanksi sosial lebih tepat diberikan kepada pelanggar norma-norma adat di masyarakat. Referensi yang bukan hukum dalam sosiologi kata Sunyoto, dikategorikan mores atau norma pengatur kelakuan bertindak di masyarakat (adat) dan folkways atau sanksi sosial bila dilakukan saat melanggar norma kebiasaan berupa teguran.

"Cacian itu sebenarnya biasa saja. Padahal korupsi ini extraordinary, seharusnya peraturan perundangan itu jadi referensi atau rujukan atau kalau kasus ini extraordinary musti yang berat adat (mores). Kalau sanksi adat kan bermacam-macam tiap daerah," kata Sunyoto saat dihubungi merdeka.com, Rabu (25/8).

Dia pun mempertanyakan pertimbangan sanksi sosial diambil hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari. Padahal perbuatan korupsi dilakukan Juliari termasuk tindakan kejahatan luar biasa.

"Karena itu harus ditanya kenapa pertimbangan kepada extraordinary crime bereferensi pada saksi ringan, kalau referensi pada mores, saksi berat, itu memang kemudian nalar ya. Kejahatan yang di Indonesia dianggap sudah tidak bisa ditoleransi, lalu dibentuk KPK dan sebagainya," kata dia.

Penjelasan Pengadilan

Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bambang Nurcahyo menjelaskan salah satu alasan majelis hakim mempertimbangkan cacian dan hinaan menjadi dasar menjatuhkan vonis terhadap Juliari. Bambang mengatakan, pertimbangan majelis hakim itu sebagai sikap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

"Itu adalah untuk menjaga asas praduga tidak bersalah. Jadi, harus dibaca poin 2 itu adalah satu kesatuan sebelum itu mempunyai hukum yang tetap, jadi untuk menjaga asas praduga tidak bersalah, before the law sebelum mempunyai kekuatan hukum yang tetap," kata Bambang kepada wartawan, Selasa (24/8).

Bambang memahami jika fikiran masyarakat menilai wajar sebagai koruptor mendapatkan cacian. Namun menurut dia, sebagai hakim hal tersebut tidaklah diperkenanka lantaran keputusan diambil harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

"Artinya emang itu wajar untuk koruptor kan gitu (fikiran masyarakar), tapi mungkin majelis di dalam pertimbangan putusan perkara a quo dasarnya kenapa itu dimasukan, ya tadi, untuk menjunjung azas praduga tak bersalah, tetap larinya ke situ," kata dia.

"Masyarakat kan punya pola anggapan saya kan juga masyarakat 'lu koruptor salah lu sendiri' tapi mungkin karena kita hakim, hakim kan tahu orang itu salah atau bagaimana. Tetapi kita harus menjunjung asas praduga tak bersalah, sebelum diberikan suatu vonis memperoleh hukum tetap," imbuh dia.

Pasalnya, Bambang menjelaskan sampai dengan saat ini putusan terhadap Juliari belum memperoleh hukum tetap. Karena sejak sidang vonis, Senin (23/8) lalu, Juliari memutuskan pikir-pikir dahulu selama tujuh hari kedepan untuk menerima atau menolak vonis dari Hakim Ketua Muhammad Damis.

"Kan bisa aja nanti ditingkat banding berubah atau di MA berubah kita kan gak ngerti, apa bisa dinaikan. Artinya Pak Damis atau majelisnya ingin menerapkan bahwa seorang itu sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap azas praduganya harus kita lindungi," jelasnya.

"Walaupun dalam tanda kutip tahu salah tapi kan pengadilan pintu gerbang untuk membuktikan itu bersalah atau tidak, pengadilan bukan hanya PN aja MA kan juga pengadilan cuma beda di tingkatannya," tambahnya.

Sebelumnya, Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Batubara, terdakwa kasus korupsi bansos Covid-19. Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan kondisi yang meringankan dan memberatkan atas pelanggaran pidana mantan Menteri Sosial (Mensos) tersebut.

Dalam poin yang meringankan, hakim menyebut Juliari sudah cukup mendapatkan sanksi sosial dalam bentuk penghinaan dari masyarakat Indonesia, meskipun pengadilan belum memutuskan bahwa dirinya bersalah.

"Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," tutur hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (23/8).

Selain itu, hakim melanjutkan, Juliari selama persidangan yang berjalan empat bulan ini selalu hadir dan tertib. Dia dinilai kooperatif tanpa bertingkah dengan membuat berbagai alasan yang menghambat jalannya persidangan.

"Padahal, selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," jelas hakim.

Adapun hal yang memberatkan adalah tindak pidana korupsi Juliari dilakukan dalam kondisi bencana darurat non alam yakni pandemi Covid-19. Sementara mantan kader PDIP itu malah terus menyangkal segala perbuatannya.

"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria. Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," katanya.

Putusan tersebut, dijatuhkan karena Juliari dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatannya itu melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.

Minta Dibebaskan

Awal Agustus lalu, Juliari menyinggung nasib istri dan juga anak-anaknya yang masih di bawah umur hingga memohon kepada majelis hakim untuk divonis bebas.

"Oleh karena itu permohonan saya, permohonan istri saya, permohonan kedua anak saya yang masih kecil-kecil serta permohonan keluarga besar saya kepada majelis hakim yang mulia, akhirilah penderitaan kami ini dengan membebaskan saya dari segala dakwaan," kata Juliari saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di gedung KPK Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (9/8).

Komika Marshel Widianto menyentil pernyataan Juliari Batubara yang meminta bebas dari kasus korupsi bansos (bantuan sosial) melalui video yang diunggah di akun media sosial instagramnya.

Marshel menuturkan bahwa yang menderita bukan hanya Juliari, namun juga rakyat Indonesia yang menjadi korban korupsi dana bansos tersebut.

"Bedanya bapak menderita karena di dalam, kami menderita karena dipotong ceban (Rp 10.000)," dikutip dari akun instagram @marshel_widianto.

Terkait siapa yang lebih menderita dalam kejadian ini, Sunyoto menilai kasus individu tidak bisa dibandingkan dengan kasus masyarakat.

“Tidak bisa dibandingkan penderitaan seseorang dengan penderitaan masyarakat, karena indikatornya sudah beda.” ujarnya.

Reporter Magang: Leony Darmawan

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Jadi Perantara Uang Korupsi BTS Kominfo ke BPK, Sadikin Rusli Dituntut 4 Tahun Penjara
Jadi Perantara Uang Korupsi BTS Kominfo ke BPK, Sadikin Rusli Dituntut 4 Tahun Penjara

Jaksa menilai terdakwa Sadikin Rusli terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Baca Selengkapnya
Sahroni: Perlu Optimalkan Pengembalian Kerugian Negara dalam Penanganan Korupsi
Sahroni: Perlu Optimalkan Pengembalian Kerugian Negara dalam Penanganan Korupsi

Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni menyebut, dibutuhkannya pendekatan berbeda dalam menyelesaikan perkara korupsi.

Baca Selengkapnya