Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

KPAI usul dibentuk kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana

KPAI usul dibentuk kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana Sekolah darurat di NTB. ©2018 Merdeka.com

Merdeka.com - Sekitar 2.736 sekolah rusak usai gempa disusul gelombang tsunami melanda sejumlah wilayah Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) lalu. Jumlah sekolah yang rusak itu tersebar di beberapa daerah seperti Palu, Donggala dan Sigi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy memperkirakan sekolah yang mengalami rusak parah hingga roboh membutuhkan setidaknya 1 hingga 2 tahun dalam perbaikannya. Namun, untuk langkah sementara, kelas darurat akan dibangun untuk memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan pascagempa.

Dia mengatakan, sesuai dengan protap yang selama ini ada dan telah dilakukan sejak gempa bumi di Pidie, Aceh hingga di NTB, pembangunan sekolah yang rusak parah merupakan domain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Koordinasi pun akan dijalin.

"Tahap pertama kita bikin kelas darurat menggunakan tenda. Kemudian melalui Kementerian PUPR akan membuat sekolah sementara yang diperkirakan butuh waktu 3 hingga 4 bulan," kata Muhadjir di Yogyakarta, Rabu (3/10).

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan Kemendikbud dan Kemenag menyiapkan kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana. Usulan itu mencuat setelah KPAI menengok beberapa sekolah darurat terdampak di Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Utara, baik sekolah di jenjang SD, SMP, maupun SMA/sederajat.

Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa secara fisik sekolah darurat berbentuk tenda/terpal dan bangunan semi permanen. Tenda atau bangunan yang terbatas di sekolah darurat membuat para siswa harus menggunakan ruang kelas daruratnya secara bergantian atau dua shift. Di sekolah darurat, rata-rata jam belajar berkisar 5 jam.

"Padahal pembangunan ruang kelas baru membutuhkan waktu lama, mengingat bangunan sekolah banyak yang mengalami kerusakan berat, seperti sekolah-sekolah di Lombok Utara dan Lombok Timur, apalagi sekolah-sekolah di Palu dan Donggala yang secara gegrafis dekat dengan pusat gempa. Sekolah-sekolah terdampak ini tidak hanya membutuhkan sekolah darurat sebelum sekolahnya di perbaiki, namun juga membutuhkan kurikulum sekolah darurat," ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/10).

Saat memantau langsung sekolah darurat di Mataram, Lombok Barat dan Lombok Utara, KPAI mendapat keluhan anak-anak dan para guru bahwa ruang kelas panas. Kemudian tidak dapat menggunakan meja dan kursi di kelas seperti di ruang kelas umumnya membuat siswa dan guru mudah kelelahan karena duduk bersila.

"Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena tenda tertiup angina dan akan dibajiri air," tambah Retno

Sementara di keterbatasan ruang kelas dialami banyak sekolah di Lombok Utara, karena mayoritas sekolah di wilayah ini mengalami kerusakan berat sehingga perlu rehab total yang memakan waktu lama. Karena keterbatasan ruang tersebut, maka peserta didik terpaksa bergantian menggunakan kelas sehingga jam belajar dibagi 2 shift.

"Jam sekolah yang pendek dan kondisi sekolah darurat yang tentu tidak senyaman kelas di sekolah-sekolah yang kondisinya normal, maka KPAI memandang perlu pemerintah dalam hal ini Kemdikbud dan Kemenag untuk tidak sekedar berkosentrasi pada kelas darurat, namun harus juga menyiapkan kurikulum khusus untuk sekolah darurat," ujar Retno.

Melihat temuan tersebut KPAI pun mengusulkan Kemendikbud dan Kemenag membuat kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana. Sebab, KPAI memandang penerapan kurikulum nasional di sekolah darurat kurang tepat di tengah sarana prasarana sangat minim. Kondisi pendidik dan kondisi psikologis anak-anak masih belum stabil. Serta rendahnya kenyaman dalam proses pembelajaran di kelas.

"Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat, baik di Lombok, Palu dan Donggala dan tempat lainnya juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat, bukan disamakan dengan peserta didik lain di Indonesia yang wilayahnya atau sekolahnya tidak terdampak bencana, seperti gempa dan tsunami," pungkas Retno.

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP