KPK belum terima surat permintaan datangkan Miryam dari Pansus DPR
Merdeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menerima surat permintaan dari Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang berniat mendatangkan mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.
"Sampai saat ini kami belum terima surat permintaan tersebut. Nanti kami lihat dulu surat itu dasarnya apa, kami akan pelajari lebih lanjut kebutuhannya apa. Sebagai lembaga penegak hukum, kami ingin memastikan dulu apa pun yang dilakukan harus sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, seperti dilansir Antara, Jumat (16/6).
Soal kemungkinan KPK terkena Pasal Penyanderaan dalam KUHP jika tidak mengizinkan Miryam datang dalam rapat Pansus, Febri menyatakan KPK tetap akan membaca terlebih dahulu surat permintaan itu.
-
Mengapa KPK menelaah laporan tersebut? 'Bila ada laporan/pengaduan yang masuk akan dilakukan verifikasi dan bila sudah lengkap akan ditelaah dan pengumpul info,' kata Tessa dalam keterangannya, Selasa (4/9).
-
Apa yang di periksa KPK? 'Yang jelas terkait subjek saudara B (Bobby) ini masih dikumpulkan bahan-bahannya dari direktorat gratifikasi,' kata Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung KPK, Kamis (5/9).
-
Apa yang diminta DPR untuk KPK dan Polri? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi 'Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,' tambah Sahroni.
-
Apa yang sedang diselidiki KPK? Didalami pula, dugaan adanya penggunaan kendali perusahaan tertentu oleh saksi untuk mengikuti proyek pengadaan di Kementan RI melalui akses dari Tersangka SYL,' ungkap Ali.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Apa yang dituntut oleh jaksa? 'Menghukum terdakwa Bayu Firlen dengan pidana penjara selama selama 4 (empat) Tahun dan Denda Sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsider 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan,' lanjutan dari keterangan yang dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kami belum terima suratnya, tentu kami harus baca dulu isi suratnya seperti apa dan baru kami pertimbangkan lebih lanjut," ucap Febri.
Sementara terkait tindakan hukum yang akan diambil menyikapi hak angket itu, Febri mengatakan KPK akan memutuskannya setelah mengambil kesimpulan dari semua masukan dari para ahli hukum yang mengkaji keabsahan hak angket itu.
"Dengan satu catatan penting KPK harus mematuhi peraturan Undang-Undang yang berlaku dan yang terpenting aspek independensi KPK tidak terganggu. Tindakan hukumnya apa nanti akan kami tentukan lebih lanjut," jelas Febri.
Menurut Febri, KPK tetap menghormati seluruh kewenangan yang dimiliki oleh DPR, namun KPK sebagai lembaga hukum harus bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
Sebelumnya, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menilai pembentukan Panitia Khusus Hak Angket di DPR RI merupakan cacat hukum.
"Cacat hukum karena tiga hal pertama karena subjeknya yang keliru, kedua karena objeknya yang keliru, dan ketiga prosedurnya yang salah," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6).
Soal subjeknya yang keliru, Mahfud mengatakan secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah.
"Dulu kan pertama kali di Inggris itu untuk pemerintah. Lalu di Indonesia diadopsi pada 1950 ketika sistem parlementer untuk keperluan mosi tidak percaya kepada pemerintah lalu diadopsi di dalam UUD yang sekarang hak angket itu tetapi tetap konteksnya pemerintah karena tidak mungkin DPR itu mengawasi yang bukan pemerintah," tuturnya.
Selanjutnya terkait objeknya yang keliru, ia menilai bahwa di dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MD3 menyebutkan hak angket itu untuk menyelidiki pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.
"Di situ disebut dipenjelasannya bahwa siapa itu pemerintah mulai presiden, wakil presiden, para menteri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah nonkementerian. Basarnas, LIPI, Wantimpres itu lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi di luar itu bukan lembaga pemerintah seperti KPK itu bukan lembaga pemerintah," kata Mahfud.
Terakhir menyangkut masalah prosedur, Mahfud menyatakan prosedur pembuatan Pansus Hak Angket itu diduga kuat melanggar undang-undang.
"Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tibak diketok. Seharusnya di dalam keadaan belum bulat suaranya mestinya kan divoting ditanya dulu, nah itu dianggap sebagai manipulasi persidangan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Menurut dia, Pansus Hak Angket itu juga terkesan dipaksakan karena baru ada tujuh fraksi di DPR RI yang mengirimkan wakilnya. "Padahal menurut Pasal 201 Ayat 3 Undang-Undang MD3 harus semua fraksi ada di dalam panitia itu, kalau itu dipaksakan berari melanggar juga prosedur yang ada," ucap Mahfud.
KPK juga telah mengundang ahli hukum pidana Indriyanto Seno Adji untuk membahas keabsahan Hak Angket KPK itu.
Indriyanto menyatakan yang menjadi salah satu pembicaraan dengan KPK tadi adalah mengenai keabsahan hak angket karena belum terwakilinya semua fraksi tersebut.
"Pembicaraan ini masih kami tunggu dari ahli lainnya. Jadi soal keabsahannya masih kami bicarakan. Persoalan ini masih kami dalami," ucap mantan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK tersebut.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.
KPK telah menetapkan Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-e) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
(mdk/msh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Supervisi, jelas Ade, upaya Polda Metro menggandeng KPK dalam pengusutan kasus dugaan pemerasan dilaporkan Syahrul Yasin Limpo.
Baca SelengkapnyaKasus dugaan pemerasan Syahrul Yasin Limpo menyeret nama Ketua KPK Firli Bahuri.
Baca SelengkapnyaDasco mengatakan, pimpinan DPR nantinya akan merapatkan terlebih dahulu terkait calon pimpinan dan calon dewan pengawas KPK tersebut.
Baca SelengkapnyaNawawi berencana mengadakan rapat antar pimpinan membahas soal bantuan hukum terhadap Firli.
Baca SelengkapnyaPolda Metro mengatakan, belum ada tanggapan dari KPK terkait permintaan supervisi.
Baca SelengkapnyaPenyidik Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya belum juga menetapkan satu orang pun menjadi tersangka.
Baca SelengkapnyaAnggota Dewas KPK, Albertina Ho menyatakan kewenangan menetapkan supervisi adalah pimpinan KPK.
Baca SelengkapnyaDiselisik soal penemuan dokumen saat penggeledahan kasus korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Baca SelengkapnyaKPK menolak permintaan Polda Metro Jaya untuk melakukan supervisi kasus dugaan pemerasaan Firli terhadap SYL.
Baca SelengkapnyaKapolri percaya atas semua proses penyidikan yang dilakukan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto
Baca Selengkapnya