Kronologi kasus pemecatan tiga wartawan Kompas TV versi korban
Merdeka.com - Produser Kompas TV Rian Suryalibrata, serta dua reporter, Muhammad Iqbal Syadzali dan Fadhila Ramadhona, dipecat oleh perusahaan mereka, Kompas Media Grup. Ironisnya, mereka dipecat lantaran dituduh menggelapkan uang perusahaan sebesar Rp 50 ribu.
"Alasan pemecatan, sungguh tidak jelas," kata Rian lewat rilisnya, Senin (14/12).
Rian menjelaskan, Iqbal dipaksa mengundurkan diri dari Kompas Tv oleh Manager HRO Kompas Tv Njoman Trijono pada 16 November 2015. Menurut Rian, Njoman Trijono bersama Legal HR Kompas Tv, Yossa Prawira , adalah yang menuduh Iqbal menggelapkan uang perusahaan Rp 50 ribu.
-
Siapa yang memberi klarifikasi ke Sekjen PDIP? Effendi Simbolon memberi klarifikasi ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait ucapannya mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
-
Siapa yang cabut laporan? Meskipun Rinoa Aurora Senduk mencabut laporan dugaan penganiayaan yang menimpa dirinya.
-
Siapa yang dipecat dari pekerjaannya? Pada 19 September, bank tersebut mengumumkan pemutusan hubungan kerja Shi dan pengeluaran dirinya dari Partai Komunis China setelah dilakukan penyelidikan terkait masalah tersebut, menurut laporan dari media China, Securities Times.
-
Siapa yang mengklarifikasi berita soal Pertalite? Klarifikasi Pertamina Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari menyatakan, tidak ada rencana penghentian distribusi BBM jenis Pertalite pada 1 September 2024.
-
Kenapa Kompol Syarif ditinggalkan? Sony akan menempuh pendidikan S2 di di Melbourne, Australia.
"Padahal, Iqbal sama sekali tidak melakukan melakukan perbuatan tersebut," ujar Rian.
Rian bercerita, tuduhan itu dia dan Iqbal bersama Afdinal (cameraman) dan Sudrajat (sopir), melakukan peliputan di Bandung, pada 8 hingga 21 Juni 2015. Empat orang ini melakukan peliputan program CS File, untuk Kompas Tv, sebuah televisi lokal berjaringan, milik kelompok media Kompas Gramedia, yang beralamat di Jl Palmerah Selatan 22-28 Jakarta 10270.
Di hari pertama peliputan, ujar Rian, Sudrajat mengaku kehilangan STNK mobil yang ia kendarai. "Setelah mencari selama beberapa waktu dan STNK mobil yang dicari tidak jua ditemukan, empat orang ini sepakat melapor kepada polisi tentang kehilangan ini," ujarnya.
Selang beberapa hari kemudian, lanjut Rian, di antara kesibukan melakukan kegiatan peliputan, Iqbal dan Sudrajat mendatangi kantor polisi di wilayah Cibeunying, Bandung. "Sementara saya dan Afdinal tetap melakukan peliputan," ujarnya.
Di kantor polisi, ujar dia, Sudrajat meminta uang kepada Iqbal. “Untuk membayar polisi,” begitu kata Sudrajat.
Iqbal, kata Rian, yang memegang uang operasional peliputan, memberikan uang sebesar Rp 100 ribu kepada Sudrajat. "Sudrajat pun masuk ke dalam kantor polisi, sementara Iqbal membereskan barang-barang keperluan peliputan di dalam mobil," kata dia.
Selang beberapa menit kemudian, ujar Rian, Sudrajat keluar dari kantor polisi. Sudrajat memberitahukan kepada Iqbal bahwa ia membayar polisi sebesar Rp 50 ribu. Sementara sisa uang yang Rp 50 ribu tetap ia pegang.
“Saya pinjam ya, Kang Iqbal. Buat pegangan saya selama peliputan beberapa hari ini,” begitu kata Sudrajat.
Menurut Rian, Iqbal yang sedang sibuk membereskan barang-barang keperluan peliputan dan memikirkan peliputan, mengiyakan saja pernyataan Sudrajat. Saat itu, Iqbal sempat mencatat pengeluaran uang yang ia lakukan.
“Rp 100 ribu untuk membayar polisi.” Demikian bunyi catatan keuangan Iqbal hari itu.
Rian mengatakan, Iqbal kemudian melaporkan catatan keuangan itu kepadanya. Proses peliputan pun dilanjutkan kembali hingga selesai pada 21 Juni 2015.
"Hingga kembali ke Jakarta, ke kantor Kompas Tv di kawasan Palmerah, pada 21 Juni 2015, Sudrajat sama sekali tidak mengingatkan Iqbal soal uang yang ia pinjam," ujarnya. "Iqbal pun lupa dengan uang pinjaman ini."
Saat membuat laporan keuangan, kata Rian, Iqbal hanya melihat catatan keuangannya yang menunjukkan bahwa ada pengeluaran uang sebesar Rp 100 ribu untuk membayar polisi, guna pengurusan pelaporan kehilangan STNK mobil. Iqbal pun melaporkan adanya pengeluaran sebesar Rp 100 ribu ini dalam laporan keuangannya.
Selang 5 bulan kemudian, tepatnya pada 16 November 2015, kata Rian, "Selisih uang Rp 50 ribu ini nyatanya menjadi masalah." Iqbal, kata Rian, dipaksa mengundurkan diri dengan tuduhan menggelapkan uang perusahaan.
"Njoman dan Yossa sama sekali tidak mau mendengar kejadian yang sebenarnya. Mereka berkeras ada penggelapan uang sebesar Rp 50 ribu yang dilakukan Iqbal," ujarnya.
“Seharusnya yang dilaporkan Rp 50 ribu, bukan Rp100 ribu,” kata Njoman seperti ditirukan Iqbal.
Pada hari itu, ujar Rian, Iqbal diperiksa selama 7,5 jam, mulai pukul 14.00 WIB hingga 21.30 WIB. "Pemeriksaan dilakukan dengan cara yang amat kasar. Njoman seringkali berbicara kepada Iqbal dengan nada suara yang amat keras, meninggi dan cenderung membentak," ujarnya.
"Njoman bahkan beberapa kali mengancam Iqbal bahwa ia akan mempidanakan kasus ini, jika Iqbal tidak segera menandatangani surat pengunduran dirinya," imbuh Rian.
Dalam kondisi tertekan inilah, ujar Rian, dengan amat terpaksa, Iqbal menandatangani surat pengunduran dirinya. "Ia sudah sangat lelah, baik secara fisik dan juga mental, sebab, selama pemeriksaan 7,5 jam, Iqbal tidak diperbolehkan keluar ruangan pemeriksaan sama sekali," ujarnya.
"Ia tidak diperbolehkan beristirahat, makan atau minum. Bahkan, saat Iqbal dengan santun meminta izin untuk melakukan ibadah salat ashar dan sholat magrib, Yossa, sang penyidik, juga tidak memberikan izin," ujar dia.
Fadhila Ramadhona
Selang dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 18 November 2015, Fadhila Ramadhona, reporter Kompas Tv, juga dipaksa mengundurkan diri. "Lagi-lagi Njoman dan Yossa yang menjadi aktor utama kasus pemaksaan ini," kata Rian.
Menurut Rian, Njoman dan Yossa menuduh Fadhila membuat laporan keuangan palsu, berkaitan dengan peliputan yang dilakukan Fadhila di wilayah Sumatera Barat, pada Juni 2015.
Rian mengatakan, Aada beberapa komponen laporan keuangan, yang menurut Njoman dan Yossa, telah dipalsukan oleh Fadhila. "Yang pertama adalah soal honor untuk fixer, orang yang memiliki kemampuan dan jaringan, untuk membantu kelancaran proses peliputan," ujarnya.
Saat peliputan di Sumatera Barat, ujar Rian, Fadhila menggunakan sopir mobil yang ia sewa sebagai fixer. Alasannya, sang sopir mengetahui betul dan memiliki jaringan untuk membantu kelancaran proses peliputan.
Dalam laporan keuangan, kata Rian, Fadhila mencantumkan ada honor fixer sebesar Rp 500 ribu. "Uang sebesar ini memang benar-benar ia berikan kepada sopir, sekaligus fixernya. Namun Yossa sang penyidik, menganggap Fadhila berbohong," ujarnya.
Rian mengatakan, Yossa berdalih apa yang dilakukan Fadhila melanggar peraturan perusahaan, yakni wartawan Kompas Tv dilarang memberikan uang kepada sopir, bahkan untuk tips sekali pun. "Sungguh peraturan yang sangat tidak manusiawi," kata Rian.
"Kalau memang ingin memberi tips kepada sopir, ya, pakai uang pribadi saja. Kalau begini kan Anda sama dengan Robin Hood, mencuri dari yang kaya dan memberikan kepada si miskin,” begitu kata Yossa seperti ditirukan Fadhila.
Tuduhan untuk Fadhila, ujar Rian, bukan cuma satu ini. Saat peliputan pada Juni itu, dengan alasan lokasi yang strategis untuk memudahkan proses peliputan, Fadhila menyewa rumah keluarganya.
Selama 8 hari, Fadhila, ditambah seorang presenter Kompas Tv dan 2 cameraman Kompas Tv, menginap di rumah keluarga Fadhila. Saat kegiatan peliputan selesai, Fadhila memberikan uang sebesar Rp 5 juta kepada keluarganya, guna penggantian biaya sewa penginapan.
Rian mengatakan, Yossa menyalahkan tindakan Fadhila ini. "Menurutnya sesuai peraturan perusahaan, jika ada karyawan yang menginap di rumah keluarga selama proses peliputan, karyawan hanya diperbolehkan membayar uang kepada keluarganya, sebesar 50 persen dari dana yang tersedia," kata Rian.
Fadhila, kata Rian, tentu saja tidak mengetahui aturan ini. "Aturan ini tidak pernah disosialisasikan kepada para karyawan. Sebagian sangat besar karyawan, tidak mengetahui adanya peraturan ini," kata Rian.
Perlu diketahui, katanya, selama bertahun-tahun, perusahaan tidak pernah membagikan buku peraturan perusahaan kepada sebagian besar karyawannya.
"Aturan-aturan seperti ini, baru belakangan diketahui, saat terjadi 'pelanggaran-pelanggaran' menurut versi perusahaan dan karyawan yang melakukan pelanggaran, dipaksa menerima sanksi, akibat pelanggaran peraturan yang tidak pernah disosialisasikan," ujarnya.
Berbeda dengan Iqbal yang diperiksa selama 7,5 jam dalam waktu satu hari, ujar Rian, Fadhila diperiksa secara marathon. Dimulai pada 13 Oktober 2015, Fadhila harus menjalani pemeriksaan selama 3 jam, mulai pukul 16.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB.
Menurut Rian, jadwal pemeriksaan pertama ini mundur dari waktu yang sebelumnya ditetapkan. "Sebelumnya, Yossa menetapkan jadwal pemeriksaan pada pukul 10.00 WIB, namun, tanpa alasan yang jelas, ia mengubah jadwal pemeriksaan ke pukul 16.00 WIB," ujarnya.
Rian mengatakan, Fadhila yang telah bersiap sejak pukul 10.00 WIB, dipaksa menunggu. Padahal saat itu Fadhila belum pulang ke rumah. Satu hari sebelumnya, Fadhila menemani proses editing dari hasil peliputannya, mulai sore hingga keesokan paginya.
Menurut Rian, dalam kondisi lelah fisik dan mental inilah Fadhila dipaksa menulis surat pernyataan pelanggaran perusahaan oleh Yossa. "Fadhila menulis surat dengan tulisan tangannya, dan setiap kalimat didikte oleh Yossa. Fadhila menuruti keinginan Yossa ini dengan sangat terpaksa," ujarnya.
Pada 10 November 2015, sekitar pukul 17.00 WIB, Fadhila kembali diperiksa oleh Yossa. Saat itu, kata Rian, Yossa memberitahu Fadhila bahwa Fadhila mendapat SP3 dan Fadhila dipaksa menandatangani SP3 saat itu juga. Fadhila menolak menandatangani. Ia ingin ada atasannya yang mendampingi, saat ia menandatangani SP3.
Pada 18 November 2015 pukul 16.00 WIB, Yossa kembali melakukan pemeriksaan kepada Fadhila. Saat itu, tutur Rian, Yossa mengabarkan bahwa perusahaan telah mengubah keputusan SP3 menjadi pemecatan. Alasan Yossa kepada Fadhila, ringan saja.
“Karena kamu tidak kooperatif, dengan tidak menandatangani SP3 di pertemuan sebelumnya,” begitu kata Yossa seperti ditirukan Fadhila, yang tetap tidak menerima keputusan ini.
Pukul 17.00 WIB, Yossa membawa Fadhila ke dalam ruangan Njoman. Saat itu, Njoman langsung mengancam Fadhila dengan 4 pilihan, jika Fadhila tidak segera menandatangani surat pengunduran dirinya. Pertama, skorsing tanpa digaji sampai masalah ini diputuskan. Kedua, dipindahtugaskan.
"Bisa saja kamu saya pindahkan ke Sorong, Papua, karena di sana sedang butuh reporter. Ketiga, bisa PHK. Keempat, yang paling parah, masalah ini bisa kita perpanjang ke pihak yang berwajib,” begitu kata Njoman seperti diturukan Fadhila.
Meski Fadhila menolak keputusan ini, kata Rian, Njoman dan Yossa tetap memaksa. "Akhirnya, pada pukul 22.20 WIB, setelah diperiksa selama sekitar 4,5 jam, Fadhila menyerah. Ia menandatangani dua surat: Perjanjian Bersama dan Risalah Perundingan Bipartit," ujar Rian.
Rian Suryalibrata
Selang dua hari dari pemanggilan terakhir kepada Fadhila, tepatnya pada Jumat, 20 November 2015, kata Rian, giliran dirinya diperiksa oleh Njoman dan Yossa. "Dua penyidik ini menanyakan 'penyelewengan' uang Rp 50 ribu yang dilakukan oleh Iqbal," ujarnya.
Rian menegaskan, Iqbal sama sekali tidak melakukan penyelewengan. Menurutnya, laporan keuangan yang dibuat oleh Iqbal adalah benar, begitu pula soal pengeluaran uang sebesar Rp 100 ribu untuk membayar polisi.
“Semua uang yang keluar dari Iqbal adalah seizin saya, karena saya adalah pimpinan rombongan,” begitu kata Rian.
Pertemuan pun berakhir. Rian mengatakan, Njoman dan Yossa mencatat dengan cermat ucapannya ini.
Selang beberapa hari kemudian, pada Senin, 7 Desember 2015, Rian megatakan, dia kembali dipanggil oleh Njoman. Njoman, kata dia, ingin dirinya sebagai pimpinan rombongan juga bertanggungjawab atas 'kesalahan' yang dilakukan oleh Iqbal.
"Karena Iqbal telah mendapat sanksi, Rian juga harus mendapat sanksi serupa. Begitulah, dalam tempo yang amat singkat dan dengan alasan yang amat sederhana, saya dipecat," ujar Rian.
"Mulai 7 Desember 2015, perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan Rian.” begitu kata Njoman sambil tersenyum seperti ditirukan Rian.
Menurut Rian, senyum Njoman adalah senyum yang kejam. "Dia, atas nama perusahaan, dengan semena-mena telah memaksakan kehendaknya kepada tiga karyawannya. Karyawannya diperiksa berjam-jam, tanpa diperbolehkan beristirahat, makan minum, dan juga beribadah, untuk selanjutnya, sang karyawan dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan," ujarnya.
Menurut Rian, tindakan ini jelas melanggar segala peraturan yang ada di republik ini. Karena itulah, Rian dan dua rekannya menuntut haknya untuk dipekerjakan kembali serta pemulihan nama baik di lingkungan perusahaan.
"Sebab, saat ini telah beredar kabar di lingkungan Kompas Tv bahwa tiga orang ini adalah para koruptor, para pelahap uang kantor sebesar Rp 50 ribu,"ujarnya.
"Sebuah kabar yang tentunya sama sekali tidak benar," tegas Rian.
Untuk memulihkan nama baik yang telah tercemar, menurut Rian, dia dan dua rekannya siap menempuh jalur hukum dan siap menghadapi segala risiko apapun nantinya.
Saat dikonfirmasi, Njoman mengatakan pihaknya akan berkoordinasi lebih dulu dengan pihak humas dan legal sebelum memberikan klarifikasi soal pemecatan Rian, Iqbal dan Fadhila.
"Saya belum bisa klarifikasi, saya lagi di Ambon. Kita kan punya PR, punya legal, kita mau koordinasi itu," kata Njoman saat dihubungi merdeka.com, Senin (14/12).
Ditanya soal keterangan Rian dkk bahwa Njoman telah melakukan berbagai cara untuk memaksakan pemecatan, termasuk tudingan penggelapan uang Rp 50 ribu, petinggi televisi berslogan 'Inspirasi Indonesia' itu mengelak menjawab.
"Intinya tidak ada yang bisa saya klarifikasi hari ini. Nanti kalau sudah koordinasi dengan pihak PR dan legal, apa yang saya harus jawab, pasti saya akan jawab," ujar dia.
Sementara Yossa sampai saat ini belum bisa dikonfirmasi.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Terkait dugaan keterlibatan anggota TNI, KSP juga belum bisa berkomentar lebih jauh.
Baca SelengkapnyaPolda Sumut telah menetapkan tiga tersangka pembakaran rumah Rico Sempurna Pasaribu. Mereka adalah RAS, YT, dan B.
Baca SelengkapnyaKabar terakhir, Koptu HB sudah diperiksa. Tetapi hingga kini status hukum terhadapnya masih mengambang.
Baca SelengkapnyaKomisi Yudisial mengulas persoalan etik yang bersinggungan dengan dugaan tindak pidana dengan Kejagung,
Baca SelengkapnyaKY menemukan bahwa ketiga hakim itu telah membacakan pertimbangan hukum terkait unsur pasal dakwaan yang berbeda.
Baca SelengkapnyaUli menyebut ada tiga tujuan menyurati Polda Jawa Barat, salah satunya meminta keterangan mengenai perkembangan pencarian tiga DPO.
Baca SelengkapnyaKY juga memberikan rekomendasi terkait penjatuhan sanksi itu dengan mengirimkan surat ke Mahkamah Agung.
Baca SelengkapnyaKeluarga Rico mendatangi Komnas HAM, LPSK hingga KPAI agar kasus ini menjadi atensi dan pihak-pihak terkait bisa diperiksa.
Baca SelengkapnyaKompolnas masih mempelajari lebih lanjut mengenai keputusan penghentian penyidikan di kasus kebakaran Gedung Cyber 1.
Baca SelengkapnyaDewan Pers meminta pembentukan tim investigasi bersama untuk mengusut kebakaran rumah jurnalis Tribrata TV Sempurna Pasaribu di kawasan Nabung Surbakti
Baca SelengkapnyaKeluarga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolrestabes Semarang agar kasus penembakan siswa SMK 4 Semarang diungkap jelas.
Baca SelengkapnyaIndikasi itu karena diduga kematian Sempurna terkait berita praktik judi diduga dibeking anggota TNI tapi yang bersangkutan belum pernah dipanggil.
Baca Selengkapnya