Mahfud MD: Kalau MK Putuskan UU Cipta Kerja Salah, Nanti Ada Legislative Review
Merdeka.com - Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan bicara dengan DPR terkait kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja. Menurut Mahfud, jika hanya kesalahan pengetikan, bisa diperbaiki.
"Yang sifatnya clerical itu nanti diselesaikan jalurnya kita akan bicara dengan DPR RI kenapa yang dikirim seperti itu? Mana dokumen yang benar? Lalu nanti bisa diselesaikan Mahkamah Konstitusi itu kalau yang clerical," kata Mahfud dalam siaran YouTube, Kamis (5/10).
Mengenai masalah substansi perlu gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Jika diputuskan bersalah bisa dilakukan legislative review.
-
Apa yang Mahfud MD soroti di Debat Cawapres? Dalam kesempatan Debat Capres dan Cawapres yang berlangsung pada Minggu (21/01/2024) lalu, cawapres nomor urut 03 yaitu Mahfud MD soroti deforestasi hutan di Indonesia yang mencapai 12,5 juta hektare.
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Apa yang Mahfud MD pesan kepada Pangdam dan Kepala Daerah? Untuk itu Mahfud berpesan kepada Pangdam, Bupati, Wali Kota agar tidak menjemput dan menjamunya setiap ke daerah.
-
Kapan UU MD3 akan direvisi? 'Kalau terbaru kita akan lihat urgensinya setelah penetapan pimpinan dan lain-lainnya,' ucap dia.
-
Siapa yang hadir di rapat pembahasan revisi UU Kementerian Negara? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
"Kalau MK memutuskan sesuatu ini salah, kita nanti ada legislative reviewnya, tidak menutup kemungkinan untuk legislative review, perubahan UU untuk pasal-pasal tertentu sesudah nanti MK memutuskan tentang apa yang harus diubah," kata mantan Ketua MK ini.
Sebelumnya Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan kesalahan redaksional UU Cipta Kerja bisa diperbaiki. DPR dan pemerintah perlu koordinasi.
"Kalau hanya perbaikan redaksional, saya sependapat dengan Prof Yusril. Bahwa itu sebenarnya tidak apa-apa langsung koordinasi saja antara pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pasal rujukan," ujar Supratman kepada wartawan, Rabu (4/10).
Murni Kesalahan
Supratman mengatakan, perbaikan tersebut dapat dilakukan karena tidak mengubah substansi. Menurut politikus Gerindra itu, kesalahan redaksional tersebut sepenuhnya kesalahan pengetikan.
"Itu murni hanya karena kesalahan, karena dulunya ada redundan. Itu murni kesalahan tim dapur," kata Supratman.
Berikut kesalahan redaksional yang ditemukan dalam UU Cipta Kerja.
Pertama, pada halaman 6 rumusan Pasal 6 yang salah merujuk Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Bunyi pasal 6 UU Cipta dalam UU Cipta Kerja:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi
Bunyi pasal 5 yang dirujuk:
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Tidak ada ayat 1 dalam Pasal 5 di UU Cipta Kerja.
Kedua, pasal 53 ayat (5) tertulis merujuk ayat (3). Seharusnya dalam ayat tersebut merujuk pada ayat (4).
Pasal 53
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
DPR akan mengkaji usulan tersebut bersama-sama dengan pemerintah.
Baca SelengkapnyaRevisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan.
Baca SelengkapnyaMenko Polhukam Mahfud Md mengakui Revisi UU KPK melemahkan lembaga antirasuah. Namun, dia menegaskan tidak ikut dalam proses pembuatan regulasi itu.
Baca SelengkapnyaPembahasan dan rapat pengambilan keputusan tingkat I dilakukan secara 'senyap' pada masa reses DPR
Baca SelengkapnyaMahfud MD menantang KPU untuk tidak melaksanakan putusan MA soal batas usia calon Kepala Daerah.
Baca SelengkapnyaPemerintah masih belum setuju tentang aturan usia dan tak ingin merugikan hakim yang ada.
Baca SelengkapnyaMahfud MD menekankan, usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).
Baca SelengkapnyaMahfud MD Kritik Revisi UU Penyiaran: Sangat Keblinger, Masa Media Tidak Boleh Investigasi
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi III Ini Mengaku Tak Dapat Undangan Rapat saat DPR-Pemerintah Putuskan Revisi UU MK
Baca SelengkapnyaMahfud menegaskan keberadaan lembaga antirasuah itu masih sangat dibutuhkan untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Baca SelengkapnyaMenurutnya, saat ini hukum di Indonesia sudah rusak. Karena dirusak oleh segelintir pihak.
Baca SelengkapnyaYusril mengakui pernyataan itu disampaikannya pada 2014 lalu atau sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Baca Selengkapnya