MAKI Sayangkan MK Tolak Uji Materi UU KPK Terkait Alih Status Pegawai Jadi ASN
Merdeka.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materi terkait Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Termasuk, terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN)
"Kalau sudah putusan Mahkamah Konstitusi saya menghormati, Meskipun ya menyayangkan orang-orang 51 (pegawai KPK tak lolos TWK) itu yang sangat sudah teruji dalam memberantas korupsi kemudian dicopot," katanya kepada merdeka.com, Rabu (1/9).
Dia menyarankan agar 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) bisa kembali menindaklanjuti uji materi ke Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terlebih sudah adanya hasil temuan dari Komnas HAM dan Ombudsman adanya pelanggaran terhadap TWK.
-
Siapa yang diperiksa KPK? Mantan Ketua Ferrari Owners Club Indonesia (FOCI), Hanan Supangkat akhirnya terlihat batang hidungnya ke gedung Merah Putih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (25/3) kemarin.
-
Siapa yang diperiksa oleh KPK? Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej rampung menjalani pemeriksaan penyidik KPK, Senin (4/12).
-
Apa yang di periksa KPK? 'Yang jelas terkait subjek saudara B (Bobby) ini masih dikumpulkan bahan-bahannya dari direktorat gratifikasi,' kata Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung KPK, Kamis (5/9).
-
Mengapa KPK menelaah laporan tersebut? 'Bila ada laporan/pengaduan yang masuk akan dilakukan verifikasi dan bila sudah lengkap akan ditelaah dan pengumpul info,' kata Tessa dalam keterangannya, Selasa (4/9).
-
Apa sanksi untuk pegawai KPK yang terlibat pungli? Untuk 78 pegawai Komisi Antirasuah disanksi berat berupa pernyataan permintaan maaf secara terbuka. Lalu direkomendasikan untuk dikenakan sanksi disiplin ASN.
Boyamin membandingkan pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK dengan para aparatur sipil negara (ASN) yang terjerat kasus korupsi. Dimana para ASN tersangka korupsi tersebut adalah orang-orang yang lolos TWK dan dianggap Pancasilais.
"Kalau alasannya ini (tak lolos twk) kan tidak Pancasilais kan gitu. Sementara yang korupsi itu justru setahu saya dalam pengertian mereka bisa aja mengatakan dirinya pancasilais. Atau beberapa penjabat negara yang atau PNS yang setau saya mereka juga lolos screening model begini gitu," ujarnya.
"Dan rasanya kalau ini istilahnya 51 orang ini pancasilais, karena memberantas korupsi maksimal, profesional, dengan segala resiko itu kan dalam rangka membela kesejahteraan rakyat dalam rangka membela pancasila," lanjutnya.
Oleh sebab itu, Boyamin menganggap jika ke-51 pegawai KPK tak lolos TWK adalah orang-orang yang sudah Pancasilais dengan ukuran pekerjaan mereka dalam memberantas korupsi.
"Jadi menurut saya 51 orang itu pancasilais, ya ukurannya dari pekerjaan dan pengabdian mereka dalam memberantas korupsi itu. Itu menurut saya ukuran Pancasilaisnya tinggi," tegasnya.
Alasannya, dia memandang jika TWK yang dilakukan kepada para pegawai KPK, hingga akhirnya bisa menstigma dan memutuskan kalau pada akhirnya ke 51 pegawai dinyatakan tidak Pancasilais.
"Tidak bisa sekedar seperti psikotes kemudian diuji orang pengabdian Pancasilanya dianggap bagus atau buruk gitu," ucapnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan proses alih status pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 sehingga tetap konstitusional.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di gedung MK Jakarta, Selasa (31/8).
Putusan tersebut diambil oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai anggota.
Putusan tersebut menjawab gugatan Nomor 34/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Muh Yusuf Sahide selaku Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia.
Dalam petitumnya, Yusuf Sahide meminta agar MK menyatakan dua pasal di UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua pasal tersebut adalah pasal 69B ayat (1) yaitu "Pada saat UU ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Serta pasal 69C yang berbunyi "Pada saat UU ini mulai berlaku, Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Yusuf Sahide berharap agar majelis MK mengubah kedua pasal tersebut menjadi "Pada saat UU ini mulai berlaku, Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan 1. Bersedia menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), dan 2. Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan".
Alasan pemohon adalah karena frasa "dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam pasal 69B dan 69C dimanfaatkan secara salah karena menggunakan TWK sebagai seleksi dan bagi pegawai yang tidak lolos TWK akan mengakibatkan pemberhentian pegawai KPK sehingga menimbulkan kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Namun, hakim MK menolak dalil-dalil yang diajukan pemohon bahwa pemberlakuan TWK telah mengakibatkan terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil."Menurut Mahkamah, pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin seseorang yang telah menduduki jabatan apapun tidak dapat diberhentikan dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum," ungkap hakim MK. Dikutip Antara.
Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dalam arti setiap pegawai yang mengalami alih status mempunyai kesempatan yang sama menjadi ASN dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Artinya, ketentuan yang terdapat dalam pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bukan hanya berlaku bagi pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK.
"Oleh karena itu menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi. Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma," tutur hakim.
Selanjutnya terkait dalil pemohon yang menyatakan bahwa mekanisme TWK juga telah melanggar Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, menurut hakim MK juga tidak tepat karena hak untuk bekerja sangat berkaitan langsung dengan hak untuk mencari nafkah, hak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk hidup sejahtera lahir batin.
"Hak-hak tersebut tidak hanya dimiliki oleh segolongan orang saja, yang karena hal-hal tertentu diuntungkan dalam mendapatkan pekerjaan tetapi hak-hak tersebut juga dimiliki oleh setiap orang tanpa dibedakan-bedakan," ungkap hakim MK.
Adanya fakta bahwa untuk pekerjaan tertentu diberikan syarat khusus yang tertentu pula, tidaklah ditafsirkan sebagai upaya untuk menghilangkan hak seseorang untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
"Menurut Mahkamah, adanya kekhususan syarat dalam sebuah pekerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) sepanjang dilakukan berdasarkan alasan dan melalui prosedur yang adil, rasional dan sah. Hal yang dilarang oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah apabila ketentuan undang-undang telah menghilangkan secara mutlak hak seseorang untuk bekerja," papar hakim MK.
Mahkamah berpendapat bahwa pemenuhan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidaklah meniadakan kewenangan negara untuk mengatur dan menentukan syarat- syaratnya, terlebih jika kesempatan yang sama dalam pemerintahan tersebut menyangkut pengisian jabatan publik yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat.
MK menegaskan bahwa desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN telah ditentukan UU 5/2014 tentang ASN dan peraturan pelaksananya dan salah satu ukuran umum yang telah diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut adalah Wawasan Kebangsaan yang juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier PNS sebagaimana diatur dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, persyaratan demikian tidaklah tepat apabila dinilai sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan juga tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang mengandung perlakuan diskriminasi," ungkap hakim MK.
Namun dalam putusan itu, empat Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih memiliki alisan berbeda (concurring opinion). (mdk/fik)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
MAKI sebelumnya mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang telah diubah menjadi 5 tahun.
Baca SelengkapnyaNovel Baswedan membongkar pelemahan di KPK saat ini dilakukan lewat pegawainya yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca SelengkapnyaEmpat mantan pegawai KPK itu mendaftar capim KPK berkaca dari banyak masalah di internal lembaga antirasuah dari segi pimpinan hingga pegawai.
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Syarat Usia Capim KPK yang diajukan Novel Baswedan
Baca SelengkapnyaYudi berharap salah satu dari mereka bisa terpilih menjadi pimpinan KPK untuk setidaknya memperbaiki KPK dari dalam.
Baca SelengkapnyaPara pelapor menduga adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Anwar Usman saat menggelar konferensi pers pada 8 November 2023 lalu, pascaputusan MKMK.
Baca SelengkapnyaMK telah menggelar sidang pleno putusan MKMK terkait dugaan pelanggaran etik hakim
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Baca SelengkapnyaKedua pasal itu dapat mengeliminir keharusan para terpidana melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana penjara untuk bisa nyaleg.
Baca SelengkapnyaPutusan MKMK terhadap dugaan pelanggaran sembilan hakim MK tersebut akan menjaga kehormatan mahkamah.
Baca SelengkapnyaBawono menduga ada upaya menggulirkan isu tersebut agar menggerus elektabilitas Prabowo-Gibran
Baca SelengkapnyaHakim Konstitusi Anwar Usman menuding putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk memperbaiki citra MK.
Baca Selengkapnya