Marak isu kebangkitan PKI untuk jegal penuntasan kasus HAM 1965
Merdeka.com - Setelah melenggangnya Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 dan Simposium Nasional membedah tragedi 1965, mulai marak penangkapan orang karena memakai atribut palu arit. Bahkan isu tersebut kian ramai, setelah Presiden Jokowi meminta Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mencari kuburan massal korban 1965 di berbagai tempat.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Feri Kusuma menganggap ada skenario untuk menciptakan suasana politik yang tidak kondusif, dalam konteks penyelesaian kasus 1965. Sebab mulai meningkat lagi ekskalasi penangkapan atau pembubaran terhadap diskusi-diskusi 1965 pasca simposium.
"Ini upaya untuk menghambat fakta atau kebenaran yang sesungguhnya atas peristiwa 65. Ini ada resistensi dari kelompok-kelompok yang kita duga kuat terlibat dalam kejahatan. Atau juga kelompok-kelompok yang dibayar untuk menciptakan suasana politik yang tidak baik. Memang ada kelompok-kelompok tidak bertanggungjawab yang tidak menginginkan usaha negara untuk menyelesaikan kasus 1965," ujar Feri saat dihubungi Merdeka.com, Senin (9/5).
-
Apa yang dialami korban? 'Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,' kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
-
Siapa yang mengalami pelanggaran HAM? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China.
-
Siapa yang menjadi korban? Renu Singh, salah satu korban yang terjebak, telah melapor ke polisi dengan klaim bahwa ia telah ditipu sebesar USD 21.000 dan mengungkapkan bahwa ratusan orang lainnya juga mengalami kerugian total mencapai USD 4,1 juta.
-
Siapa yang mengalami kekerasan? Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku KDRT menguasai aspek keuangan korban untuk mengendalikan dan merugikannya.
-
Apa yang terjadi pada korban? Korban pun akan terpanggang di dalamnya. Sebagai bagian dari desain hukuman yang kejam, saat perunggu yang panas membakar korban dan membuatnya berteriak.
Feri berujar bahwa ada berbagai kelompok intoleran yang sengaja memunculkan ketakutan akan bangkitanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu masyarakat digiring untuk memusuhi hal-hal yang berkaitan langsung atau tidak terhadap PKI.
"Jadi aparat keamanan jangan terlalu represif dalam menyikapi simbol-simbol komunisme. Seharusnya aparat netral dalam penyelesaian masalah ini. Kalau ada masyarakat main hakim sendiri, proses dong kelompok itu. Ini kan simbol sebuah ideologi, simbol ini kan sama dengan partai atau organisasi yang lain. Cuma yang jadi permasalahan selama ini diciptakan ketakutan PKI itu jahat, antiagama, atheis, segala macam kan," tuturnya.
Isu yang penuh stereotipe negatif mengenai PKI ini justru membuat TNI-Polri mudah mempidanahan seseorang tanpa alasan yang jelas. Selain itu juga dimanfaatkan oleh massa inteoleran untuk main hakim sendiri.
"Ini karena lemahnya penegakan hukum, lemahnya aparat keamanan. Sehingga kelompok-kelompok intoleran ini semakin leluasa main hakim sendiri. Mengatasnamakan negara, atas nama mayoritas lalu mengambil kesimpulan dengan menghakimi orang lain," ujarnya.
Menurut Feri, Jokowi telah berusaha menebus janji dalam Nawa Cita yaitu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Sedangkan permasalahan tersebut bagi Feri ialah permasalahan bersama Indonesia sebagai sebuah bangsa. Maka dari itu seharusnya dipikul secara bersama-sama.
"Saya sudah cek kepada korban, korban tidak pernah mencetak baju yang ada gambar palu arit itu. Korban-korban 65 itu kebanyakan bukan kader partai politik, mereka orang yang dituduh dalam partai politik PKI dulu," ungkapnya.
Dia juga menjelaskan, Senin (9/5) siang sempat ke Kantor Kemenko Polhukam untuk bertemu Luhut. Dalam pertemuan tersebut Feri sempat melontarkan ada situasi, di mana aparat keamanan dan masyarakat menunjukkan resistensinya terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal tersebut ditunjukkan dengan masaknya sweeping dan pemidanaan pemakai atribut palu arit.
"Pak Luhut bilang dia akan menjamin keamanan semua korban," ucapnya.
Feri menegaskan bahwa, permasalahan kasus '65 itu bukan masalah bangkitnya kembali PKI. Tidak ada masalah kepartaian di situ. Ini melainkan merupakan permasalahan korban yang menderita akibat konflik politik masa itu.
"Ini hanya persoalan kemanusiaan bahwa ada orang yang dulu menjadi korban kekuasaan pada saat rezim Orde Baru. Yang dimintai korban adalah pertanggungjawaban negara dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Kita ingin agar ini diselesaikan baik melalui proses hukum, pengadilan maupun penyelesaian di luar pengadilan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai HAM. Khususnya hak para korban," pungkasnya.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut Hasto, pengungkapan tragedi Kudatuli diharapkan mampu menghilangkan kekuasaan yang menindas.
Baca SelengkapnyaBuku diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98
Baca SelengkapnyaDirjen HAM menyebut tindakan merundung bisa mencederai martabat dan merugikan seseorang.
Baca SelengkapnyaSimak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.
Baca SelengkapnyaAktivis kembali menggelar Aksi Kamisan di seberang Istana untuk menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca SelengkapnyaAdik Wiji Thukul mengaku kecewa dengan masa kepemimpinan Jokowi.
Baca SelengkapnyaAksi Kamisan pada awal Februari ini diikuti Forum Alumni Universitas Indonesia, para keluarga korban pelanggaran HAM berat serta para mantan aktivis 98.
Baca SelengkapnyaBerharap para capres tidak hanya melihat isu persoalan HAM, sebagai komoditas politik lima tahunan
Baca SelengkapnyaTerpilihnya Suwarno Kanapi sebagai Bupati Banyuwangi yang diusung PKI membuat lawan-lawan politiknya tidak puas.
Baca SelengkapnyaMereka mendesak Komnas HAM menetapkan peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca SelengkapnyaAnies bertanya sikap Ganjar perihal kasus Kanjuruhan dan KM 50.
Baca SelengkapnyaSuarlin menjelaskan ada dua indikator penilaian dalam pemenuhan HAM.
Baca Selengkapnya