Media online abal-abal bikin gerah pemerintah
Merdeka.com - Tumbuhnya dunia digital Indonesia tidak selamanya membawa angin segar. Banyak para pengguna mencari celah untuk meraup keuntungan menggunakan pelbagai cara. Salah satunya membuat media online dan menyebarkan informasi berbau provokasi hingga kabar bohong dan bikin gerah pemerintah.
Kondisi ini ternyata menjadi sorotan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan Jokowi meminta media online tak memiliki kredibilitas alias abal-abal, mendapat hukuman tegas. Sebab, selama ini dianggap membuat resah dengan pelbagai kabar tidak jelas.
"Karena itu saya minta penegakan hukum harus tegas, keras untuk hal ini dan kita harus evaluasi media-media online yang memproduksi berita bohong tanpa sumber yang jelas dengan judul provokatif dan mengandung fitnah," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis kemarin.
-
Bagaimana Jokowi meminta awak media untuk informasi lebih lanjut? 'Tanyakan langsung ke Kapolri. Kapolri ada. Kapolri? Kapolri ada. Tanyakan ke kapolri langsung,' ujar dia.
-
Kenapa Jokowi dikritik? Khususnya terhadap keluarga Jokowi yang ikut dalam kontestasi politik baik Pilpres maupun pilkada.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Apa gugatan yang dilayangkan ke Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang membuat Presiden Jokowi gemas? Akhirnya, pertunjukan lucu Ameena sukses membuat semua orang terkesan, termasuk Presiden Jokowi yang menyaksikannya dari kursi utama.
-
Siapa yang mengkritik Jokowi? Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Data dimiliki Jokowi, Indonesia terdapat 132 juta pengguna internet aktif. Dari jumlah itu, ada 129 juta memiliki akun media sosial aktif.
Saking khawatirnya, kata Jokowi, banyak berseliweran informasi meresahkan, mengadu domba, memecah-belah, muncul ujaran-ujaran kebencian, pernyataan-pernyataan kasar, hingga banyak pernyataan mengandung fitnah dan provokatif.
"Kita lihat bahasa-bahasa yang dipakai juga bahasa-bahasa yang misalnya bunuh, bantai, gantung, sekali lagi ini bukan budaya kita, bukan kepribadian kita, dan oleh sebab itu jangan sampai habis energi untuk hal-hal seperti ini," jelasnya.
Isu paling anyar dan bikin geram, terkait kabar 10 juta pekerja China di Indonesia. Namun, kabar itu telah dibantah Jokowi dan menyebut bahwa angkat untuk target jumlah wisatawan asal China sebesar.
Pengamat Pengamat media dan politik, Ignatius Haryanto, menilai isu masuknya 10 juta buruh China adalah dipelintir oleh media-media massa tertentu. Berita sebenarnya adalah Kementerian Pariwisata menargetkan 10 juta turis asal China datang ke Indonesia hingga 2019.
"Muncul isu soal kedatangan 10 juta pekerja asal China. Ternyata itu adalah pelintiran dari target Kementerian Pariwisata terhadap wisatawan asal China, sejumlah 10 juta orang," kata Ignatius.
Dirinya mengakui media massa memasang judul provokatif dan tidak sesuai dengan konteks pernyataan narasumber. Ignatius juga melihat banyak media massa abal-abal yang mereproduksi berita dari media lain.
"Judul yang provokatif dan menyesatkan media hanya mengejar klik terutama media abal-abal. Banyak media hanya mengkloning berita dan dari dari tempat lain media, tidak memproduksi berita-berita sendiri banyak logical fallacies yang disebarluaskan media padahal dibangun atas data atau fakta yang salah," tegas dia.
Pemerintah memang serius menindak media online abal-abal. Menkominfo Rudiantara memastikan langsung menjalankan instruksi dari Presiden Joko Widodo terkait evaluasi terhadap media online yang kerap memproduksi berita bohong dan menyebarkan kebencian. Rudiantara akan menggandeng Dewan Pers untuk menjalankan perintah Presiden tersebut.
"Kemenkominfo sudah komunikasi dengan Dewan Pers. Kominfo punya concern yang sama terkait adanya kaidah jurnalistik sesuai UU Pers di media online," kata Rudiantara.
Rudiantara menjelaskan media online abal-abal di Tanah Air sangat menjamur. Dia memperkirakan jumlahnya mencapai puluhan ribu. Sementara, media online di Indonesia yang benar-benar bekerja sesuai kaidah jurnalistik tak lebih dari 500.
Dia mengatakan, pada bulan Januari akan ada keputusan dari hasil koordinasi dengan Dewan Pers. Untuk itu, dia tak mau berandai-andai tindakan apa yang akan diambil oleh pemerintah terhadap media online penyebar kebencian.
"Minggu pertama atau kedua Januari sudah ada keputusan," terangnya.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden Jokowi menyebut masih banyak media online yang tidak memiliki dewan redaksi.
Baca SelengkapnyaJokowi meminta kode etik jurnalistik terus dipegang teguh.
Baca SelengkapnyaBudi Arie mengakui banyak warga kecil dan miskin menjadi korban judi online.
Baca SelengkapnyaMenurut Jokowi, tantangan pers sekarang semakin banyak di era kemajuan digital termasuk adanya Artificial Intelligence (AI).
Baca SelengkapnyaJokowi mengatakan bahwa judi online bersifat transnasional dan lintas negara sehingga pertahanan pribadi merupakan cara agar terhindar dari tindakan tersebut.
Baca SelengkapnyaAngga mengungkapkan, ia dipanggil untuk membahas masalah judi online (judol)
Baca SelengkapnyaLangkah hukum akan diterapkan Kominfo apabila ditemukan kasus hoaks yang memiliki intensitas berat dan berpotensi memecah belah bangsa.
Baca SelengkapnyaPadahal, penegak hukum sudah berulang kali membongkar praktik kejahatan siber ini. Lalu kenapa masih tumbuh subur?
Baca SelengkapnyaSecara pribadi, Jokowi mengaku tak masalah dihina dan diejek.
Baca SelengkapnyaJokowi menyebut pemerintah telah menutup 2,1 juta situs terkait judi online.
Baca SelengkapnyaAMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.
Baca SelengkapnyaHal ini juga membuat media konvensional memiliki redaksi menjadi terdesak, sebab semua orang dapat melaporkan dan mendapatkan informasi melalui media sosial.
Baca Selengkapnya