Memahami Etika Aparat Negara dalam Keseharian
Merdeka.com - Telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi) panas. Setelah membaca 'obrolan miring' di grup pesan singkat alias WhatsApp Group yang berisi prajurit. Pembahasan dalam grup, mengomentari program pemindahan Ibu Kota Negara pemerintah.
'IKN apa.' Begitu kira-kira narasi yang dibahas dalam grup.
"Kalau di dalam disiplin TNI dan Polri sudah tidak bisa diperdebatkan. Kalau di sipil, silakan. Apalagi di WA Group dibaca gampang, saya baca itu," ungkap Jokowi kesal saat menjadi pembicara dalam Rapim TNI-Polri, Selasa (1/3).
-
Apa yang dibicarakan Jokowi dengan PKB? Menurut dia, Jokowi memuji raihan suara PKB dalam Pileg 2024.
-
Bagaimana Jokowi memimpin rapat? Hal itu dinilai karena Jokowi mampu memimpin rapat secara efektif, pekerja keras tanpa lelah serta melakukan safari ke berbagai wilayah Indonesia.
-
Bagaimana cara Jokowi memastikan kesiapan IKN? Presiden Jokowi menyampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga diagendakan pindah kantor pada waktu serupa, yakni berkisar Juni hinga Juli.'Pak Basuki Juni, Juli,' kata Presiden Jokowi di kawasan IKN, Kalimantan Timur, Kamis (29/2).
-
Apa yang dibahas Prabowo dan Jokowi? 'Koordinasi seperti biasa terkait pemerintahan,' kata Dahnil saat dikonfirmasi, Senin (8/7). Dia menjelaskan, koordinasi tugas tersebut mencakup Prabowo sebagai Menteri Pertahanan maupun sebagai Presiden terpilih 2024-2029. 'Baik tugas-tugas saat ini, beliau sebagai Menhan maupun tugas-tugas kepresidenan Pak Prabowo nanti,' jelas dia.
-
Apa yang dibahas Jokowi dengan Parmusi? Dalam pertemuan itu, Jokowi membahas mengenai pemilu 2024 dan masalah Rempang.
Lantas, bagaimanakah etika prajurit yang seharusnya. Apakah berbeda 180 derajat dengan etika yang dijunjung seorang warga sipil?
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin yang merupakan mantan purnawirawan Mayor Jenderal TNI, menegaskan setiap prajurit TNI telah terikat sumpah yang harus dijalankan dalam berkehidupan sehari-hari.
"Jadi gini, bukan hanya etika. Tapi siapapun yang sudah menjadi prajurit TNI, sudah diikat sumpah prajurit. Jadi ketika dia masuk, dia sudah disumpah," kata Hasanuddin saat berbincang merdeka.com, Rabu (2/ 3).
"Jadi namanya apa sumpah prajurit, bahkan, bukan hanya ketika dia masuk dari sipil menjadi prajurit. Tetapi tiap hari, sumpah itu selalu diucapkan setiap apel. supaya terus terngiang-ngiang dan dipahami dengan betul," katanya.
Soroti 2 Poin Sumpah Prajurit
"Maknanya (poin satu), hanya NKRI yang berdasarkan Pancasila. Tidak ada ideologi lain, jadi kalau ada radikal, kemudian juga ideologi non Pancasila dia harus menolak karena sudah disumpah," tuturnya.
"Yang kedua, sumpah, nomor tiga. Taat kepada atasan tidak dengan membantah perintah atau keputusan. Nah atasan prajurit itu, yang paling tinggi presiden kepala negara," lanjutnya.
Menurutnya, apa yang diputuskan oleh presiden selaku kepala pemerintahan dan juga panglima tertinggi, bagi seorang prajurit TNI tidak boleh dipermasalahkan maupun diperdebatkan.
"Pak, saya bicara tidak ada. Ya memang kalau masuk prajurit seperti itu. Karena sudah siap, sebelum masuk ditawari dulu. Anda mau nggak terikat dengan aturan-aturan mulai rambut harus pendek, seragam harus ini, lalu tidak boleh gondrong, berjambang, dan lain-lain, bahkan kuku juga diatur tidak boleh begitu. Lalu disumpah," tegasnya.
Etika Prajurit yang Melekat
Hasanuddin menjelaskan bahwa keterikatan etika dan perilaku yang melekat kepada setiap prajurit sudah menjadi konsekuensi ketika seorang bergabung dalam kesatuan TNI.
"Taat kepada atasan, tidak membantahputusan Kalau gitu enak sipil, ya silahkan di sipil saja tempatnya kalau anda mau berdemokrasi model sipil," ujarnya.
Hasanuddin mencontohkan agar para prajurit memahami apa yang diperbolehkan dan tidak. Termasuk bagaimana memahami perintah dari atasan.
"Supaya apa, karena kalau tentara itu ikut berdemokrasi nanti komandanya memerintahkan serbu dari kiri. Nanti dia bilang, pak sebentar ke kanan saja dan sebagainya. Jadi diskusi terus nggak perang-perang kan," tuturnya.
Meski aturan hukum tersebut mengikat secara kepada prajurit, lanjut Hasanuddin, secara etika apa yang harus ditaati prajurit TNI juga berlaku kepada keluarga mereka.
"Begini, kalau itu (keluarga) tidak berlaku hukumnya. Tidak berlaku Undang- undang, tapi kalau prajurit tidak setia ada hukum pidana militer, disiplin militer ya. Itu bisa dikenai sanksi. Tidak taat kepada atasan, ada hukumnya, ada pasalnya, hukum disiplin militer dan pidana militer," tuturnya.
"Kalau istri-istrinya, itu ya etika yang berlaku. Ya menyesuaikan dengan suaminya, wong makan minum dari suaminya kok, tinggal di asrama suaminya," lanjutnya.
Prajurit TNI Pengayom Rakyat, Dilarang Nyinyir
Terpisah, seorang prajurit TNI menegaskan seorang prajurit TNI harus menjadi pengayom rakyat. Rakyat di sini berarti warga sipil.
"Enggak boleh arogan. Selalu dukung program pemerintah dan siap menjalankannya," ungkapnya saat berbincang dengan merdeka.com.
Ia mencontohkan konflik Rusia-Ukraina yang kini sedang memanas. Bilamana turun perintah 'harus ikut' maka seluruh prajurit wajib patuh.
"Tapi turun di sini bukan yang langsung ikutan perang. Bisa jaga perbatasan. Prinsipnya kita prajurit selalu siap perintah," ungkapnya.
Meski demikian, ia tak menutup mata banyaknya prajurit yang kerap tertangkap kamera tengah berbuat semena-mena. Ia memastikan itu adalah oknum. Tidak memahami fungsi diri sebagai prajurit.
"Kita enggak dididik begitu di sini (institusi). Seperti bermedsos saja, kita (prajurit) diatur kan. Enggak boleh nyinyir, julid karena balik lagi kita ini aparat negara," tuturnya.
"Sudah pasti ada batasan-batasan, enggak sebebas sipil dong. Harga mati itu," lanjutnya.
Maka dia menegaskan bahwa aturan etika yang tertuang dalam Sapta Prajurit maupun Sapta Marga TNI telah mengikat dan melekat kepada seluruh prajurit dan harus ditaati hal itulah yang membedakan dengan masyarakat sipil.
"Kita (prajurit) juga tiap pagi jam 7 apel, terus seminggu sekali pasti ada nanti kita di tes Sapta Marga, Sapta Prajurit. Pasti itu. Supaya ya kita selalu ingat kalau kita ini aparat, ada etikanya. Bukan sipil," ujarnya.
Harus Ada Perbaikan
Senada dengan hal tersebut, Peneliti Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai terkait etika setiap prajurit sudah sepatutnya melekat sisi kepatuhan, keteraturan dan keseragaman.
Itu dibutuhkan setiap prajurit termasuk TNI untuk menghadapi perang dan menjalankan tugasnya sebagai penegak kedaulatan dan keutuhan negara. Oleh karena itu, sikap dan perilakunya diatur secara ketat, baik dalam kedinasan maupun di luar kedinasan.
"Ada sekian banyak aturan yang bisa digunakan Ada peraturan disiplin, ada peraturan urusan dinas dalam, tata upacara militer, hingga baris-berbaris. Artinya, tidak ada ruang untuk ketidakteraturan, ketidakseragaman, apalagi ketidakpatuhan," terangnya.
Kendati demikian, Fahmi melihat persoalan etika prajurit kini tengah berhadapan dengan kemajuan teknologi, salah satunya media sosial yang memudahkan seseorang untuk meluapkan ekspresinya.
Masalah itu juga berpotensi menjadi ancaman bagi keteraturan, keseragaman dan kepatuhan dalam kehidupan tentara. Para prajurit dari level terendah hingga tertinggi dapat berada di ruang yang sama dan level yang setara di dunia maya.
"Sayangnya perangkat-perangkat itu termasuk tentara belum cukup responsif dan mampu mengatasi potensi akses teknologi digital sehingga cenderung memilih cara yang dianggap lebih mudah yaitu melakukan pengaturan dan pengawasan ketat," tuturnya.
Menurutnya, Hal yang diatur untuk urusan media sosial dan dunia maya itu sebenarnya kurang lebih mengadopsi pengaturan bagi perilaku prajurit di dunia nyata.
"Misalnya dengan melarang para prajurit melibatkan diri dalam dialektika dan diskursus politik maupun mengekspresikan pandangan yang berbeda terhadap kebijakan dan agenda politik negara," jelasnya.
Padahal, Fahmi melihat jika perkembangan dan pemanfaatan teknologi selalu berpotensi memunculkan beragam masalah kebangsaan dan kenegaraan, termasuk di dalam tubuh setiap prajurit TNI.
"Tanpa bekal literasi, sadar atau tidak, secara jangka panjang pelanggaran aturan tetap saja akan sangat mungkin dilakukan oleh para prajurit. Ini disrupsi. Tentara tak berada di ruang hampa sendirian. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendampingi para prajurit beradaptasi," imbuhnya.
Berikut Isi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga yang harus melekat dalam diri aparat negara.
Sumpah Prajurit:
1.Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan.4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia.5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.
Sapta Marga:
1.Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.2.Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.3.Kami Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.4.Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.5.Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.6.Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.7.Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bukan hanya di lembaga peradilan, lembaga lain yang berkaitan dengan hukum juga masih terjadi pelanggaran etika.
Baca SelengkapnyaDiskusi ini dilakukan untuk yang ketiga kalinya dengan tema yang serupa di berbagai kota.
Baca SelengkapnyaDia mengatakan seorang pemimpin harus mampu menjadi leader yang dihormati
Baca SelengkapnyaProf Dr Andi Pangerang mengaku membaca soal polemik posisi ketua umum di Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Baca SelengkapnyaDalam pemikirannya, filsuf asal Yunani, Aristoteles menekankan etika sebagai esensi politik.
Baca SelengkapnyaNorma-norma merupakan pedoman yang menentukan bagaimana seharusnya seseorang bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan budaya yang berlaku.
Baca Selengkapnya"Tampak jelas betapa nilai pancasila dan etika di dalam berpolitik dan mentaati hukum itu terjadi degradasi yang amat sangat,"
Baca SelengkapnyaDewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Darmansjah Djumala, mengaku prihatin dengan kondisi Indonesia akhir-akhir ini.
Baca SelengkapnyaBanyak perilaku kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga etika di ruang digital.
Baca SelengkapnyaDia bahkan mengatakan, Indonesia mengalami kemunduran, bukan sekadar kerapuhan dalam etika pejabat negara.
Baca SelengkapnyaDewan atau Mahkamah Etik Nasional ini diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas dan mandiri untuk mengawasi para penyelenggara negara
Baca Selengkapnya