Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Membongkar Data Kemiskinan RI yang Ambudarul, Apa Solusinya?

Membongkar Data Kemiskinan RI yang Ambudarul, Apa Solusinya? Permukiman kumuh di Kampung Muka. ©Liputan6.com/Herman Zakharia

Merdeka.com - Distribusi Bantuan Sosial (Bansos) untuk warga miskin selalu terkendala. Tak hanya di pemerintah pusat, tapi juga di desa. Biang keroknya yakni data kemiskinan yang berbeda antara pusat dan daerah. Tak jarang, pemutakhiran data di pusat dan daerah juga amburadul.

Dampaknya, saat pembagian bansos warga terdampak Covid-19 menjadi terhambat. Ada yang tidak tercatat, malah ada juga yang salah sasaran.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) punya solusi soal pemutakhiran data kemiskinan agar selaras antara pemerintah pusat, daerah sampai ke kepala desa.

Peneliti SMRC, Sirajuddin Abbas mengatakan, salah satu caranya membongkar sistem lama. Sistem baru yang dimaksud melibatkan aparatur desa.

"Betul (libatkan aparatur desa), itulah yang harusnya menjadi leading sector. Selama ini mereka belum dilibatkan secara maksimal,” kata Sirajuddin saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (1/5).

Padahal, lanjut dia, UU Desa nomor 6 tahun 2014 sangat memungkinkan untuk memaksimalkan peran aparatur desa. Saat ini, Kementerian Desa, hanya boleh mendata orang-orang yang dinilai pantas menerima bantuan BLT Desa.

Sementara Kemensos punya program lain lagi. Kemensos mendata orang-orang tidak mampu untuk Program Keluarga Harapan (PKH). Penerima BLT Desa tidak boleh tercatat sebagai penerima PKH.

"Artinya, kalau aturan Kementerian Desa dan Kementerian Sosial itu misalnya ingin mendata orang-orang yang tidak menerima program PKH atau program lainnya itu, calon penerima program BLT Desa. Maka bisa dipastikan, itu yang program PKH yang salah sasaran itu tidak bisa dikoreksi. Makanya saya menawarkan pemerintah dengan senang hati bantu atau merombak sistem pendataan sekaligus update data kemiskinan," tegas Sirajuddin.

Terlebih, saat ini hampir semua aparatur desa sudah memiliki teknologi yang canggih dengan adanya komputer yang dilengkapi dengan jaringan internet.

"Sekarang semua desa itu dari sekian desa itu puluhan sekian ribu desa itu semuanya sudah punya akses pada komputer, internet, terlatih menginput data, membuat laporan keuangan, tinggal ke situ," ujarnya.

Dalam Undang-Undang Desa, aparatur desa sudah memiliki kewajiban untuk membantu penyelenggaraan program-program kesejahteraan sosial. Dan setiap desa punya anggaran untuk operasional kantor hariannya juga termasuk membayar staf.

Menurutnya, aparatur desa itu merupakan salah satu institusi pemerintah yang langsung melayani masyarakat di tingkat bawah. Karena, institusi tersebut punya aparatur mulai dari RW, RT. Merekalah yang paling tahu siapa dan dimana orang miskin tersebut.

"Mereka tahu pasti alamatnya, namanya, kemampuan sumber pendapatannya, berapa banyak keluarganya secara langsung. Kalau unitnya adalah RT, maka RT itu dalam satu jam sudah bisa dia data dalam RT-nya itu yang mungkin hanya 40-60 rumah tangga, jadi mereka bisa cepat," sebutnya.

Dia meminta, pemerintah menggunakan pengurus RT dan RW sebagai pusat informasi pengumpulan update data kemiskinan. Itu bisa menggunakan juga dibantu dengan penggunaan teknologi, sehingga lebih efisien.

Menurutnya, pendataan kemiskinan yang kini dimiliki oleh Kementerian Sosial sudah tidak layak lagi digunakan. Oleh karena itu, ia ingin agar melibatkan aparatur desa dalam melakukan pendataan kemiskinan.

"Instrumen pendataan kemiskinan dimiliki oleh Depsos itu menurut saya udah tidak pantas lagi dipakai, harus dibuat instrumen yang lebih tajam. Sekarang lebih baik dan mungkin lebih praktis untuk digunakan di tingkat desa," ucapnya.

Kelemahan Dalam Mendata Kemiskinan

Sirajuddin menambahkan, ada kelemahan utama di dalam model pendataan kemiskinan yang ada di Indonesia. Kelemahan pertama yakni karena menggunakan Proxy Mean Test (PMT).

"Jadi perkiraan statistik terhadap proporsi orang miskin yang berada di masyarakat. Karena dia bersifat proxy, maka itu adalah simulasi sifatnya, perkirakan jumlah keseluruhan dari orang miskin yang terdampak dari suatu peristiwa ekonomi misalnya," ungkapnya.

Namun, penggunaan model tersebut membuat Badan Pusat Statistik (BPS) atau Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Sosial sulit menentukan siapa orang-orang miskin yang dimaksud secara real time.

"Memang statistiknya berubah terus, tapi orangnya kan tidak sebetulnya, ada orangnya semestinya. Tetapi karena menggunakan proxy yang bersifat top-down itu, metode itu tidak bisa memastikan sasaran secara tajam,” ucapnya.

Lebih jauh, dia menjelaskan, pertama namanya Exclusion Error adalah orang yang seharusnya mendapatkan program bantuan sosial, tetapi tidak mendapatkan. Kategori ini, orang yang seharusnya masuk dalam penerima, ternyata terlewat.

Kedua, tambah dia, ada namanya Inclusion Error, jadi ada sejumlah orang yang harusnya tidak masuk, malah ada didaftar penerima.

“Maka yang seharusnya tidak dapat Bantuan Sosial (Bansos) ekonomi, dia berada jauh di atas garis kemiskinan, malah dapat" sambungnya.

Manfaatkan Teknologi

Sementara itu, Pengamat Teknologi Informasi dan Komputer dari Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi menilai, permasalahan terkait data warga miskin karena faktor sumber data. Selain itu, dia melihat proses pengelolaan data juga dilakukan dengan tidak benar.

"Dalam komputer, garbage in and garbage out, kalau datanya sampah ya keluarnya sampah. Sehingga, teknologi hanya membantu mencatatkan secara presesi (perubahan pada rotasi berputar) data kemiskinan dan pembaharuan data," ujar Heru saat dihubungi merdeka.com, Jumat (1/5).

Heru menggambarkan, penentuan orang miskin, survei orang miskin serta menemukan orang miskin baru atau sudah tidak miskin. Bisa dilakukan dengan pengecekan ke lapangan, pengecekan pendapatan, termasuk melalui pembayaran pajak.

Saat ditanyakan soal pendataan yang sampai saat ini masih door to door, kata Heru, sistem itu cukup bagus dan efisien, namun dengan didukung teknologi sebagai penguat data, penyimpan data, pengumpulan data hingga menyampaikan data kepada masyarakat. Bisa dipakai untuk mendata warga miskin.

"Door to door bagus dengan memasukkan data dalam aplikasi terintegrasi. Jadi lebih jelas bisa dimasukan posisi GPS tempat tinggal, RT/RW, bahkan sekalian foto rumah dan datanya yang diisi harus sama agar tidak berbeda pengertian dan batasan miskin dan tidak miskin," katanya.

Namun kendala pengerjaan penyempurnaan data, menurutnya karena faktor minimnya koordinasi antara lembaga. Siapa yang melakukan survei, mengelola, dan hasil data tiba-tiba muncul.

"Apalagi batasan miskin dan tidak miskin kan tidak jelas garisnya. Di masa pandemi ini apalagi jadi hilang. Ada artis yang kaya raya tiba-tiba mengaku jadi miskin dengan cicilan Rp 250 juta. Kan ini membingungkan," tukas Heru.

Mungkinkah Pakai Aplikasi?

Dihubungi terpisah, ahli teknologi Natali Ardianto mengungkapkan keyakinannya terhadap pemutakhiran data berbasis digital untuk data warga miskin. Dengan kata lain, mencatat dan melihat kemiskinan hanya melalui aplikasi.

Menurutnya, hal itu cukup masuk akal dengan mengkolaborasi antara data dengan teknologi digital. Walaupun pasti biaya ongkos pengerjaannya mahal, melihat skala Indonesia yang besar.

"Sebenarnya data science solusinya, menggunakan statistik. Itu bisa banget kok. Lha kita bisa melakukan fast count pemilu dan akurat banget, kenapa untuk tabulasi orang miskin susah? Kenapa enggak memanfaatkan pilkada untuk tabulasi dan rekap juga," sebutnya.

Selain itu, Natali mengatakan, terkait data berbasis digital bisa akurat tergantung cara pengumpulan data, dan tentunya algoritma perhitungannya.

"Sebenarnya solusinya ada di depan mata, tapi masalahnya kerjasama interdepartemental di organisasi pemerintah masih belum optimal," pungkasnya.

BPS Ungkap Sederet Kendala

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap kendala pembaharuan data kemiskinan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Margo Yuwono menilai, kendala pembaharuan data dikarenakan sumber daya manusia dan anggaran.

"Pertama, kemungkinannya keterbatasan SDM dan anggaran. Kedua, (data) diupdate tapi prosesnya tidak berjalan dengan baik," kata dia kepada merdeka.com, Jumat (1/4).

Kemudian, penyebab salah data dikarenakan prosesnya tidak benar dalam menentukan kategori miskin. Lalu, ada pemerintah daerah yang kurang peduli terkait pembaharuan data.

Data yang dimaksud ialah Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS) yang disetor ke Kementerian Sosial.

"Karena updatenya ada di kabupaten atau kota dan variasi antar daerah tinggi. Ada kepala daerah yang punya kepedulian tinggi, sehingga punya kepedulian bagus terhadap update data dan terjadi sebaliknya," tuturnya.

Selain itu, Margo menuturkan, BPS melakukan pembaharuan data sesuai kebutuhan. Ada data untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya data inflasi, pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.

Sedangkan jangka panjang data Indeks pembangunan manusia, angka harapan hidup dan lainnya. Sumber datanya bisa dari survei yang relevan.

Dia menambahkan, untuk survei inflasi, misalnya perkembangan harga dilakukan tiap bulan. Untuk pengangguran atau survei angkatan kerja nasional dilakukan Februari dan Agustus. Kemudian, survei kemiskinan atau survei sosial ekonomi nasional dilakukan tiap bulan Maret dan September tiap tahun.

"Kalau data yang ada di kemensos (DTKS) itu ada mekanisme tersendiri. Kalau survei BPS door to door. Kendala yang utama terkadang sulit menemui responden, sampelnya jadi berkurang," ujar Margo.

Menteri dan Kepala Daerah Saling Tunjuk

Soal data kemiskinan, baik pemerintah pusat maupun daerah juga tak ingin disalahkan. Pemda menyalahkan Kemensos yang menggunakan data lama dalam distribusi bansos.

Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan, data yang dipakai pemerintah untuk penerima Bansos tidak mutakhir. Sementara angka kemiskinan selalu berubah-ubah.

“Kalau pemerintah pakai datanya kan data lama yang dari TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) sehingga tidak ada verifikasi ulang ya banyak yang salah, banyak ada yang sudah meninggal. Ada salah sasaran, ya pasti. Cuma di bawahnya repot juga,” jelas Ade Yasin saat dihubungi merdeka.com.

Dalam hal bantuan Covid-19 ini, Kabupaten Bogor telah menyiapkan anggaran sendiri. Per kepala keluarga akan mendapatkan 30 Kg beras.

"Bantuan beras 30 kg per KK (Kepala Keluarga)," kata dia.

Menurut dia, untuk menjalankan program tersebut, pihaknya telah menganggarkan sekitar Rp188 miliar. "Kalau kita kan menganggarkan 200.000 penerima, KK. Sekitar Rp188 miliar untuk beli beras. Masing-masing KK dapat 30 kilogram," jelas dia.

Itu hanya satu contoh keruwetan penyaluran Bansos yang dilakukan pemerintah pusat kepada warga miskin. Bahkan, Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sehan Salim Landjar, sampai ngamuk-ngamuk. Dia curhat, warganya sudah kelaparan, tapi BLT belum juga cair. Salah satu kendalanya, mereka yang tercatat penerima BLT, tak boleh terima bansos lain.

Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara menjelaskan detil proses penyaluran bansos melalui data yang dimilikinya. Dalam hal ini, Kemensos tak memakai data dari BPS.

Pria yang akrab disapa Ari ini menuturkan, awalnya data diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Statistik Nasional tahun 2015. Lalu, pusat data informasi Kemensos setiap 3 bulan melakukan pembaharuan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Dinas Sosial Kabupaten atau Kota.

"Lebih baik tau prosesnya dulu, semua kan pake proses. Kita gak akan asal tulis data lah," ucap Juliari kepada merdeka.com, Selasa (28/4).

Ari menjelaskan, Dinas Sosial daerah mengumpulkan data-data warga dari hasil musyawarah desa di kabupaten atau musyawarah kelurahan untuk kota. Dia bilang, proses itu sudah digunakan sejak lama.

Politikus PDIP pun merasa aneh apabila kepala daerah menyalahkan data Kemensos yang tak valid. Sebab, data tersebut justru diambil dari daerah.

"Nah silakan kalian pikir sekarang, kalau ada daerah yang teriak-teriak datanya tidak betul, siapa yang harus bertanggungjawab? Ini sudah berjalan tahunan seperti ini," ujar Ari.

Menurut Ari, kesalahan data di Kemensos tidak mungkin terjadi karena salah input atau sistem. Sebab, sistem akan menolak jika nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dimasukkan tidak sesuai.

"Kan otomatis kalau nama & NIK yang diinput tidak sesuai, sistem akan tolak. Tanyakan ke mereka (Dinsos Kabupaten/kota) jangan tanya kemensos terus. Kemensos sekarang ini sudah enggak ada benarnya," ujar Ari lagi.

Pakai Data Kemiskinan 2015

Direktur Smeru Research Institute, Widjajanti Isdijoso, menduga salah satu hambatan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) yang tepat sasar berkaitan dengan data. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK) yang saat ini digunakan, kata dia, tidak diperbaharui sejak 2015.

"Kita tahu bahwa data itu di-update secara memadai di tahun 2015 kemudian tidak ada updating secara besar-besaran," kata dia, dalam diskusi virtual 'Ngobrol Tempo', Kamis (30/4).

Dampaknya tentu saja pada keakuratan data. Lima tahun tidak diperbaharui membuat keakuratan data pasti turun. Padahal sementara objek data yang dihimpun yakni kemiskinan, perkembangannya fluktuatif.

"Kalau dibuat 2015, kita hitung keakuratannya sekitar 85 persen. Karena kemiskinan itu fluktuatif. Tentunya kalau ini tidak diupdate secara memadai tentu keakuratannya akan turun. Sekarang ini kalau dengan ketepatan sasaran saat ini, ini lebih rumit lagi. Karena ada kemungkinan orang-orang bahkan yang di atas 40 persen. DTKS ini kan isinya 40 persen orang termiskin. Ada orang yang tidak termasuk 40 persen ini yang tiba-tiba jatuh miskin. Ini yang memang menjadi rumit," terang dia.

"Misalnya orang kerja di Cafe dulu mereka mungkin tidak sampai masuk 40 persen itu. Bahkan mungkin sekarang sama sekali tidak punya penghasilan. Jadi ini yang tentunya, kami menyatakan dalam kondisi krisis seperti ini membutuhkan treatment yang istimewa," imbuh dia.

Tanggung jawab untuk melakukan pembaharuan data kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah (Pemda). Di saat yang sama, pemda juga mengalami hambatan dalam melakukan pembaruan data.

"Nah membangun satu sistem yang baru ini cukup rumit juga. Karena tidak semua daerah melakukan update secara memadai. Mungkin untuk beberapa daerah, khususnya di kota itu sumber daya orang di Dinas Sosialnya cukup bagus. Tapi di beberapa kabupaten yang masih kurang begitu maju, mereka kesulitan sebetulnya melakukan pendataan," ungkapnya.

"Kita tahu bahwa dari tahun 2015-2019 tentunya keakuratan data ini semakin berkurang. Misalnya di tahun 2019 kami mendapatkan data ada sekitar 60 kabupaten yang tidak melakukan updating. Dari kabupaten kota yang updating juga, ternyata mereka juga tidak melakukan updating-nya tidak terlalu akurat. Karena sumber daya keuangan maupun orang memang sangat terbatas," lanjut dia.

Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial (Kemensos), Hartono Laras, mengakui sudah hampir 5 tahun tidak terjadi pemutakhiran basis data terpadu secara besar di tahun 2015. "Memang ini sudah 5 tahun ya. Kita sudah mengusulkan juga untuk dilakukan suatu pemutakhiran data secara menyeluruh," ungkapnya.

"Tapi sambil menunggu itu, ya sejak tahun 2015 kita telah membangun satu sistem informasi kesejahteraan sosial, tetap kita gunakan itu. ada yang digunakan untuk program PKH, ada yang BPNT dan sebagainya," katanya.

Pihaknya juga terus mendorong pemda untuk melakukan pemutakhiran data tersebut. Sebab basis data yang akurat amat dibutuhkan dalam penyaluran bansos. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang.

"Kita terus mendorong pada daerah untuk terus melakukan update data ini. Data ini sangat penting. Ketika kita menghadapi situasi seperti ini. Ini kita juga sangat beruntung masih ada data yang kemudian ada dalam DTKS dan untuk implementasi programnya silakan daerah yang lebih tahu tentu saya yakin akan hati-hati untuk menentukan siapa yang layak untuk mendapatkan bantuan," tandasnya.

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Said Abdullah Sebut Masih Banyak Desa Yang Belum Tersentuh Pemprov Jatim
Said Abdullah Sebut Masih Banyak Desa Yang Belum Tersentuh Pemprov Jatim

Said juga sudah punya peta persoalan di Jatim untuk kemudian dikolaborasikan dengan Risma.

Baca Selengkapnya
Politisi PDIP Sebut Pembagian Bansos Dimanfaatkan untuk Kepentingan Elektoral
Politisi PDIP Sebut Pembagian Bansos Dimanfaatkan untuk Kepentingan Elektoral

Pemerintah disebut tidak lagi menggunakan data Kemensos, melainkan data Kemenko PMK.

Baca Selengkapnya
Di Markas PBB, Mensos Risma Tegaskan Soal Pentingnya Pemanfaatan Teknologi dalam Pengentasan Kemiskinan
Di Markas PBB, Mensos Risma Tegaskan Soal Pentingnya Pemanfaatan Teknologi dalam Pengentasan Kemiskinan

Kemensos mendirikan lebih dari 648 lumbung sosial di seluruh Indonesia.

Baca Selengkapnya
Said Abdullah: Orang Miskin Bukan Kendaraan Politik
Said Abdullah: Orang Miskin Bukan Kendaraan Politik

Said Abdullah, menginginkan fenomena bansos di ajang Pemilu ini tidak lagi terjadi.

Baca Selengkapnya
Perkuat Pondasi Perencanaan Pembangunan, Kaltim Terus Dorong Data Desa Presisi
Perkuat Pondasi Perencanaan Pembangunan, Kaltim Terus Dorong Data Desa Presisi

Data yang valid, akurat dan terkini amat dibutuhkan sebagai pondasi perencanaan pembangunan.

Baca Selengkapnya
Menko PMK Klaim Kemiskinan Ekstrem Turun Drastis dalam 1 Dekade Pemerintahan Jokowi
Menko PMK Klaim Kemiskinan Ekstrem Turun Drastis dalam 1 Dekade Pemerintahan Jokowi

Menko PMK Muhadjir Effendy mengklaim angka kemiskinan ekstrem di Indonesia turun drastis dari 4 persen menjadi 0,8 persen dalam satu dekade

Baca Selengkapnya
Disinggung Belum Mampu Atasi Kemiskinan di Jateng, Ganjar Ngeles Presiden Punya Kekuatan Jauh Lebih Besar
Disinggung Belum Mampu Atasi Kemiskinan di Jateng, Ganjar Ngeles Presiden Punya Kekuatan Jauh Lebih Besar

Ganjar pun menantang untuk membuka data soal angka kemiskinan dan dia pun menilai acara dialog publik akan menjadi menarik.

Baca Selengkapnya
Penurunan Tingkat Kemiskinan 10 Tahun Terakhir Lambat, Ini Pesan Said Abdullah untuk Prabowo
Penurunan Tingkat Kemiskinan 10 Tahun Terakhir Lambat, Ini Pesan Said Abdullah untuk Prabowo

Said menyebut saat ini Indonesia juga menghadapi penurunan jumlah kelas menengah yang mencapai 9 juta jiwa.

Baca Selengkapnya
Kejar Target Penurunan Kemiskinan, Wapres Ma'ruf Amin Minta Anggaran Subsidi Dikaji Ulang
Kejar Target Penurunan Kemiskinan, Wapres Ma'ruf Amin Minta Anggaran Subsidi Dikaji Ulang

Angka kemiskinan nasional berdasar data BPS masih 9,36 persen, jauh di atas target pada RPJMN 2020-2024 sebesar 6,5 – 7,5 persen.

Baca Selengkapnya
Miris! Kemiskinan di Daerah Tambang dan Kaya Sumber Daya Alam
Miris! Kemiskinan di Daerah Tambang dan Kaya Sumber Daya Alam

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila Agus Surono mengatakan, tantangan terbesar dalam pengelolaan SDA adalah masalah deforestasi.

Baca Selengkapnya
Upaya Pemkab Bantul untuk Mengatasi Kemiskinan, Siapkan Aplikasi Berbasis Data
Upaya Pemkab Bantul untuk Mengatasi Kemiskinan, Siapkan Aplikasi Berbasis Data

Data merupakan komponen utama dalam program penanggulangan kemiskinan.

Baca Selengkapnya
Gandeng BPK, Anggota Komisi XI Ingin Pengelolaan Dana Desa Lebih Akuntabel
Gandeng BPK, Anggota Komisi XI Ingin Pengelolaan Dana Desa Lebih Akuntabel

Anggaran Dana Desa terus meningkat. Tahun ini, APBN telah menganggarkan Rp70 triliun untuk Dana Desa.

Baca Selengkapnya