Mempertanyakan Urgensi Dewan Pengawas KPK, Apa yang Jadi Persoalan Selama ini?
Merdeka.com - Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengkritisi langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah mengesahkan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang (UU). Menurutnya, DPR terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang dianggap tidak terlalu mendesak.
Enny mengatakan dari keseluruhan naskah yang ditujukan DPR juga tidak memenuhi unsur akademis. Sehingga tidak ada alasan DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK.
"Saya berkali-kali baca naskah revisi UU KPK ini yang jumlah halaman sekitar 64 halaman. Dari 64 halaman yang disampaikan oleh DPR hampir keseluruhannya, secara pertimbangan yang dilakukan adalah normatif," kata dia dalam sebuah diskusi digelar di Cikini, Jakarta, Rabu (18/9).
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Apa yang diapresiasi DPR dari Kejagung? 'Kasus kakap yang telah diungkap pun nggak main-main, luar biasa, berani tangkap sana-sini. Mulai dari Asabri, Duta Palma, hingga yang baru-baru ini soal korupsi timah. Penerapan restorative justice juga terus meningkat setiap tahunnya. Dan selain itu, penyelenggaraan Adhyaksa Awards 2024 malam ini pun merupakan wujud nyata inovasi yang hebat dari Pak Jaksa Agung, pertama dalam sejarah. Ini bisa jadi daya pacu bagi seluruh jajaran untuk berlomba-lomba meningkatkan prestasi dan melayani masyarakat,' ujar Sahroni
-
Aturan apa yang DPR dorong? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk membuat aturan yang bisa mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
Bahkan dirinya pun berani untuk melakukan uji secara materil di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melihat sejauh mana urgensi atau nilai akademis di dalam draf UU KPK tersebut.
"Langkah kita memikirkan untuk uji materil di MK. Kalau saya melihat naskah akademis ini saja tidak ada jawab urgensi mengapa UU ini harus direvisi," kata dia.
Di samping itu, dirinya juga mempertanyakan beberapa poin yang telah ditetapkan menjadi UU KPK hasil revisi. Menurut dia, dari keseluruhan poin di dalam UU KPK yang baru tersebut tidak tepat dan dianggap akan melemahkan kinerja KPK ke depan.
"Ketika muncul 7, kenapa ketika penyadapan harus ada izin dan badan pengawas itu harus ada di naskah akademis. Apa yang selama ini menjadi persoalan? Di naskah akademis dari inisiatif DPR mengubah UU KPK tidak ada yang bisa menjawab dari 7 itu kenapa KPK menjadi lembaga pemerintahan, kenapa minta izin penyadapan, kenapa KPK harus berasal dari 3 institusi," bebernya.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Selasa (17/9).
Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.
"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
"Setuju," jawab anggota dewan serentak.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga mengkritik keras langkah kilat DPR
Baca SelengkapnyaDjarot khawatir RUU tersebut bisa menyingkirkan hakim-hakim MK.
Baca SelengkapnyaMenurut Abdul, langkah DPR dan Pemerintah menimbulkan masalah serius.
Baca SelengkapnyaPercepatan waktu pelaksanaan Pilkada 2024 ini dinilai akan memicu kompleksitas masalah hukum, dan politik yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Baca SelengkapnyaRUU Pilkada menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu (21/8) oleh Badan Legislasi DPR
Baca SelengkapnyaBanyak tantangan yang bakal dihadapi bila keuangan negara tak digodok matang.
Baca SelengkapnyaRapat kali ini membahas terkait evaluasi fungsi pengawasan terhadap internal KPK.
Baca SelengkapnyaPuan menyebut, untuk membahas undang-undang harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan.
Baca SelengkapnyaHubungan antara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan Dewas KPK kian memanas.
Baca SelengkapnyaDalam rapat tersebut, Arteria Dahlan keras mengkritik KPU karena tidak bisa membuat keputusan dan bergantung pada Bawaslu
Baca SelengkapnyaSofwan Dedy Ardyanto menekankan, metode atau tata cara pembahasan sebuah undang-undang lebih penting dari pada substansinya.
Baca SelengkapnyaMahfud MD kesal dengan langkah Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ngebut bahas RUU Pilkada setelah adanya putusan MK
Baca Selengkapnya