Mengapa RI diprotes laksanakan hukum mati, sedangkan AS tidak?
Merdeka.com - Drama, polemik, hingga pro kontra eksekusi mati terhadap para terpidana kasus narkoba untuk sementara berakhir. Tadi malam, sebanyak 8 terpidana mati dieksekusi di Pulau Nusakambangan. Satu terpidana asal Filipina, Mary Jane Veloso, lolos karena kasus human trafficking yang melibatkan dia sedang diusut pemerintah Filipina.
Reaksi keras datang dari Australia yang dua warganya yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dihukum mati. PM Australia Tony Abbott menyatakan akan menarik duta besar mereka di Indonesia setelah urusan pemulangan jenazah duo Bali Nine selesai.
Di balik drama eksekusi mati ini, ada sebuah pertanyaan besar. Kenapa Indonesia gagal mendapatkan dukungan dari negara-negara lain termasuk dikecam oleh Sekjen PBB perihal eksekusi mati ini. Padahal mereka tahu bahwa narkoba adalah 'pembunuh' paling berbahaya di dunia. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Di sisi lain, bukankah Amerika Serikat masih melakukan eksekusi mati dan terus melakukan perang dengan membunuh para terduga teroris meskipun belum dipastikan bersalah?
Psikolog yang juga pengamat komunikasi dari Universitas Trisakti, Rama Yanti, menilai, pemerintah Indonesia telah gagal mengkomunikasikan posisinya sebagai negara yang ingin memberantas peredaran narkoba.
"Karena Indonesia gagal melakukan komunikasi dengan negara-negara yang warganya jadi terpidana hukuman mati," kata Rama Yanti yang sedang menyelesaikan program magister manajemen komunikasi di Universitas Trisakti, dalam rilisnya yang diterima merdeka.com, Rabu (29/4).
Yanti melanjutkan, dilihat dari kasus yang dilakukan para terpidana mati tersebut, seharusnya Indonesia mendapat dukungan dalam melaksanakan eksekusi mati.
"Jika pemerintah Indonesia mampu melakukan psikologi komunikasi dengan baik, dengan mengatakan bahwa kami sedang membantu negara Anda meng-erase (memusnahkan) penjahat narkotika kelas berat yang mungkin juga telah membunuh generasi muda di negeri Anda, tentunya akan lain respons yang disampaikan para negara tersebut," ujar sarjana psikologi lulusan Universitas Atma Jaya itu.
Yanti membandingkan dengan Amerika Serikat yang bisa menyedot dukungan dunia terhadap pemberantasan terorisme. Bahkan, berapa pun jumlah teroris yang 'dilenyapkan' pasti didukung dunia.
"Karena Amerika mampu mengkomunikasikan kepada dunia bahwa aksi terorisme adalah musuh bersama. Secara psikologi, Amerika mampu menanamkan sikap anti terorisme kepada warga dunia," imbuhnya.
Menurutnya, penggabungan antara komunikasi dan psikologi adalah cara yang sangat ampuh untuk melakukan apapun yang kita kehendaki untuk didukung pihak lain, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan hajat hidup umat manusia.
"Apa kurang dahsyatnya kejahatan narkotika dibandingkan kejahatan terorisme?" pungkasnya.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ada berbagai bentuk negara di dunia, dan masing-masing memiliki cirinya tersendiri.
Baca SelengkapnyaMeski begitu, Mendag Zulkifli mengaku tak meresnpons serius ungkapan tersebut. Dia hanya mengamini kalau Indonesia kelak akan menjadi negara besar.
Baca SelengkapnyaDari penelitian yang dilakukan, melibatkan beragam keluarga dari berbagai negara, salah satunya Indonesia.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Apa arti pemilu? Berikut penjelasannya secara rinci.
Baca SelengkapnyaBeberapa kebiasaan yang dianggap sopan di Indonesia justru tak disarankan dilakukan di beberapa negara ini.
Baca SelengkapnyaSaat ini terdapat sejumlah negara yang statusnya sama seperti Indonesia.
Baca SelengkapnyaAda 26 sektor yang akan dinilai organisasi elit sehingga Pemerintah membentuk 26 komite sesuai yang ditentukan.
Baca SelengkapnyaBukan hanya bagi penduduknya saja, Indonesia punya sederet fakta yang menarik bagi masyarakat dunia.
Baca SelengkapnyaNegara-negara berikut mungkin dapat menjadi pilihan bagi Anda untuk menempuh pendidikan yang lebih berkualitas.
Baca Selengkapnya