Mengejar pajak di tengah Pulau Emas Hitam
Merdeka.com - 'Uang pajak tidak begitu saja turun dari langit'. Mungkin ungkapan itu pantas disandang para pegawai Kantor Pajak Pratama Batu Licin di Jalan Raya Batulicin, Kecamatan Simpang Empat, Kota Batulicin, Kalimantan Selatan, terutama saat melihat bagaimana mereka bekerja.
Betapa tidak, para pegawai di bawah Kementerian Keuangan itu harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk memberikan penyuluhan kepada para Wajib Pajak.
Selasa (21/5) pagi, beberapa pekan lalu, cuaca kota yang terkenal dengan sebutan Batulicin Bersujud itu, lumayan cerah. Rela Renata Tri Santoso dan teman satu timnya, Cepi Wahyudi bergegas berangkat dari kantornya menuju Pelabuhan Speed Batulicin dengan jarak sekitar 1 kilometer. Mereka hendak menyambangi Wajib Pajak di Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Wajib pajak ini adalah sebuah perusahaan tambang Batubara yang merupakan pemasok pajak terbesar di pulau ini.
-
Siapa yang tinggal di tengah hutan? Pak Kasimin mengungkapkan jika ia tinggal di sana sejak tahun 1991. Ia tinggal di tempat itu karena rumah tersebut sudah warisan orang tua.
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Siapa yang menerapkan pajak tanah? Kerajaan Mataram menjadi salah satu kerajaan yang menerapkan pajak tanah dan tenaga kerja.
-
Dimana razia dilakukan? Petugas Satpol PP menggerebek sejumlah kamar kos yang berada di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Kepuharjo, Kabupaten Lumajang.
-
Di mana lokasi Kawasan Hutan Labanan? KHDTK untuk hutan penelitian yang terletak di wilayah Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur ini merupakan miniatur hutan hujan tropis yang berada di dataran rendah.
Rela dan Cepi sapaan akrab mereka, merupakan Account Representative dari KPP Batulicin. Keduanya berkewajiban memberi penyuluhan kepada Wajib Pajak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru. Selain itu, Rela dan Cepi juga harus bertanggung jawab memantau kegiatan usaha pertambangan Wajib Pajak di kedua kabupaten tersebut.
Semilir hembusan angin di Pelabuhan Speed, Desa Sejahtera, Kota Batulicin lumayan sejuk. Matahari menyeruak di balik bukit menyambut aktivitas warga yang hendak menuju ke pasar di sepanjang jalan menuju pelabuhan.
Kota Batulicin baru berumur 15 tahun dan hanya berjarak sekitar 6 kilometer. Rela dan Cepi memulai perjalanannya dengan menumpangi speedboat dengan ongkos per orangnya Rp 50 ribu selama satu jam. Satu speedboat, hanya bisa ditumpangi maksimal 6 penumpang.
Ombak pagi itu tidak begitu kencang. Perjalanan menaiki speedboat dirasa aman untuk menuju Pelabuhan Speed Kotabaru. Setelah dari Pelabuhan Speed Kotabaru, keduanya melanjutkan perjalanan melalui jalur darat selama sejam menuju Pelabuhan Speed Teluk Gosong.
Rela dan Cepi kembali menumpangi speedboat kembali dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Sebuku selama 1,5 jam. "Naik speedboat dan singgah di Pelabuhan Kotabaru untuk jalan darat sekitar 1 jam menuju pelabuhan berikutnya," Kata Cepi.
Total lama perjalanan menuju wilayah Wajib Pajak di Pulau Sebuku memakan waktu selama 3,5 jam. Sampai di Pelabuhan Sekapung, perjalanan masih begitu panjang. Untuk masuk ke area tambang, keduanya harus meminta bantuan Wajib Pajak tersebut untuk menjemput mereka di pelabuhan. Kalau tidak, perjalanan jauh Rela dan Cepi akan sia-sia. Mereka tidak akan bisa bertemu dengan Wajib Pajak dan harus bermalam di tengah hutan.
Dua pegawai tambang batubara ternyata sudah menunggu Rela dan Cepi. Kedatangan Rela dan Cepi sudah diketahui Wajib Pajak perusahaan tambang tersebut. Keduanya pun dijemput dengan menggunakan minibus yang setiap hari digunakan untuk antar jemput pegawai di lokasi tambang.
Untuk sampai di perusahaan tambang tersebut, minibus ini harus melewati bukit terjal tanpa aspal dan membelah hutan. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari bibir pelabuhan Desa Sekapung. Menyambangi Wajib Pajak pertambangan Batubara memang rutin dilakukan pegawai pajak, mengingat Wajib Pajak di daerah tersebut sulit untuk datang ke kantor KPP Batulicin lantaran akses dan waktu perjalanan memakan waktu 7 jam dengan menggunakan speedboat. Kebanyakan kantor Wajib Pajak berada di tengah hutan dan diawasi dengan penjagaan yang ketat.
"Kalau tidak dijemput, kita nggak tahu di mana kantornya dan juga nggak bisa masuk," ujarnya.
Bukanlah hal yang mudah menjalani pekerjaan seperti Rela dan Cepi. 4 Tahun sudah Rela menjalani pekerjaan ini. Ada suka, ada juga duka yang dia dapat selama 4 tahun bekerja sebagai Account Representatif Pajak di Batulicin.
Tugas yang tersulit adalah menyadarkan Wajib Pajak di kota tersebut. Kebanyakan penduduk pribumi yang ada di sana tidak peduli dengan pajak. Belum lagi kendala cuaca menuju pulau tersebut juga menjadi pertimbangan Rela untuk melakukan penyuluhan. Bayangkan, jika air laut sedang pasang, mau tidak mau keduanya harus menginap di mess karyawan Wajib Pajak.
Karena jika nekat untuk pulang, nyawa mereka menjadi taruhan ditelan kencangnya ombak laut Selat Makassar. "Ya kalau cuaca nggak bagus, terpaksa kita nginap," ujar Rela.
Pendekatan yang dilakukan para pegawai pajak di Kota Batulicin tidak semudah membalik telapak tangan. Salah memberi penyuluhan, nyawa menjadi taruhan.
Rela menceritakan tentang temannya yang juga sesama Account Representatif diancam dibunuh saat memberi penyuluhan ke salah satu Wajib Pajak di kota Batulicin. Tidak hanya diancam akan dibunuh, salah satu Wajib Pajak di Kota Batulicin juga pernah mengancam akan membakar kantor KPP Batu Licin.
"Mungkin yang paling berat adalah memberikan penyadaran kepada Wajib Pajak. Menumbuhkan kesadaran kepada Wajib Pajak di sini harus ekstra," tuturnya.
Meski beratnya medan yang harus ditempuh dengan jarak beratus-ratus kilometer dan kondisi budaya penduduk yang berbeda, tidak mematahkan semangat Rela dan rekan-rekannya untuk bekerja menagih dan memberikan penyuluhan pajak di Batulicin.
Kebersamaan dan kekeluargaan, yang dibangun di kantornya membuat dia tetap bersemangat dan terus berjuang agar pendapatan pajak yang masuk ke kas negara itu dapat tertagih.
"Kita harus kasih penjelasan, kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan juga masuk untuk pembangunan daerah mereka," ujarnya.
Hampir sama dengan pengalaman Rela dan Cepi, petugas pajak lainnya, Mison membenarkan betapa sulitnya untuk masuk ke area pertambangan di lokasi tersebut. Mison menceritakan bagaimana ia harus berhadapan dengan keamanan yang berlapis-lapis agar bisa menemui Wajib Pajak.
Lelaki berusia 28 tahun, kelahiran Jawa Timur itu mempunyai Wajib Pajak di area pertambangan batu bara maupun perkebunan kelapa sawit di daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Rabu (22/5), Mison berangkat dengan menggunakan mobil Isuzu Panther warna biru tua bersama rekan kerjanya, Ilham untuk melakukan kunjungan ke area tambang batu bara dan perkebunanan kelapa sawit tersebut. Waktu perjalanan menuju daerah yang hendak didatangi berjarak 130 kilometer dengan lama perjalanan kurang lebih 2 jam.
Panas yang menyengat dengan kondisi jalan yang berdebu harus dilewati keduanya. Namun apalah daya, saat hendak masuk ke dalam area tambang, tempat pelabuhan batu bara, keduanya tertahan di pos keamanan.
Pria berbadan tegap dan berkulit hitam dengan mengenakan kaos Brigadir Mobil, menahan Mison dan Ilham untuk masuk ke area tambang. Alasannya, karena tidak ada perintah dari kantor wajib terkait kunjungan pegawai pajak tersebut.
Akhirnya, Mison dan rekannya mendatangi pos satpam lainnya. Hingga 3 pos satpam yang disambangi, hasilnya masih belum bisa masuk ke area tambang Wajib Pajak. Tiba-tiba salah seorang keamanan datang dan mau menemani Mison dan Ilham untuk mengunjungi area perkebunan kelapa sawit. Tujuan kunjungan itu umumnya dilakukan untuk mengetahui jumlah aset perusahaan yang dimiliki Wajib Pajak. "Masuk ke area sini tidak mudah, kadang dijaga aparat," kata Mison.
Saat masuk ke dalam area perkebunan sawit, jalan yang dilewati nyaris sama tanpa tanda maupun nama jalan. Jika tidak diantar keamanan perkebunan, Mison dan Ilham bisa saja salah jalan dan tidak bisa keluar lagi dari area perkebunan.
Jalan menuju area perkebunan kelapa sawit itu memang bercabang. Tepat di pinggirnya terdapat sungai kecil yang terisi air rawa-rawa di sekitarnya. Tidak jarang buaya dan ular ditemui di perkebunan ini. Jika salah jalan, paling tidak 2 jam dihabiskan mencari jalan keluar hingga menemui jalan utama menuju kantor perkebunan kelapa sawit.
Tak sesosok manusia pun terlihat di perkebunan kelapa sawit itu. Hanya sesekali terlihat warga yang mengendarai sepeda motor dan tidak diketahui dari mana datangnya. Seorang pekerja dengan menggunakan bulldozer terlihat merapikan jalan.
"Pernah berputar mencari jalan keluar hingga 1 jam lebih, salah jalan kita bisa diikuti dan ditegur mau ke mana," ujarnya.
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Fokus pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah untuk kesejahteraan, dan keadilan, kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Baca SelengkapnyaSiapapun yang nekat wisata bisa dipenjara 10 tahun dan denda hingga Rp200 juta
Baca SelengkapnyaSaat kegiatan penyisiran di Hutan Kota, Cawang pada 2022 ditemukan ada pria LGBT mengendarai mobil Lexus.
Baca SelengkapnyaKejagung menilai kasus ini terbilang mirip dengan perkara Duta Palma,
Baca SelengkapnyaPenggeledahan itu dilaksanakan dalam rangka penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit periode 2005–2024.
Baca SelengkapnyaUntuk ke sana, wisatawan harus berjalan selama 60 menit dari dermaga Pulau Nusakambangan
Baca SelengkapnyaTak hanya melindungi hutan dari perambahan, aktivitas di hutan lindung bahkan sangat dibatasi.
Baca SelengkapnyaSanksi berupa satu keping koin perak, satu botol arak atau sopi, satu ekor babi, satu ekor ayam merah, beras 40 kilogram, uang tunai Rp50.000 dan tujuh tenun.
Baca SelengkapnyaBerikut potret anakan kucing macan akar yang dilindungi oleh Undang-Undang & terancam punah.
Baca SelengkapnyaHutan Kota UKI Cawang Diduga jadi Tempat LGBT, Ini Tindakan Pemprov DKI
Baca Selengkapnya