Mengenali Gejala TBC yang Sebabkan 93.000 Kematian per Tahun di Indonesia
Merdeka.com - Penyakit tuberkulosis (TBC) masih mengintai masyarakat Indonesia. Kasus TBC yang ditemukan di negeri ini tercatat sebesar 824.000 dan kematian 93.000 per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
TBC terbagi menjadi dua jenis, yaitu TBC laten dan TBC aktif. TBC aktif dapat dilihat gejalanya. Sedangkan TBC laten perlu diwaspadai karena tidak terlihat gejalanya dan bisa muncul kapan pun.
Ketua Yayasan Stop TB Partnership Nurul HW Luntungan mengatakan, penyakit TBC laten disebabkan bakteri yang bersembunyi di dalam tubuh seseorang, sehingga orang tersebut nampak tidak memiliki penyakit TBC.
-
Kenapa kasus TB di Indonesia masih tinggi? Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya kasus TB di Indonesia antara lain kepadatan penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta, yang memudahkan penyebaran bakteri.
-
Mengapa TBC bisa menjadi penyakit mematikan? Tuberkulosis (TBC) saat ini menjadi penyakit menular yang paling mematikan di seluruh dunia, menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
-
Siapa yang terkena dampak terbesar TB di Indonesia? Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan melaporkan lebih dari satu juta kasus TB setiap tahunnya, dengan mayoritas kasus terjadi pada kelompok usia produktif.
-
Apa bahaya penyakit TBC? TBC dianggap penyakit serius karena dapat menular serta berbahaya. Bahkan satu penderita TBC mampu menulari hingga 15 orang di sekitarnya yang harus diwaspadai.
-
Kenapa penderita TBC di Cianjur meningkat? Berdasarkan catatannya, kasus TBC di Kabupaten Cianjur pada 2021 sebanyak 4.643, lalu di 2022 menjadi 7.107 dan di 2023 per Januari sampai Juli terdapat 3.403 kasus.
-
Kenapa angka DBD di Indonesia terus meningkat? Demam berdarah dengue terus menjadi beban serius di Indonesia. Setiap tahun, ribuan kasus dilaporkan di seluruh negeri, menyebabkan beban yang signifikan pada sistem kesehatan.
"Penyakit TBC ini disebabkan oleh bakteri, dan bakteri TBC ini beda dengan bakteri lain. Bakteri TBC ini bisa sembunyi di dalam tubuh dan orang yang kena bakterinya belum tentu terlihat sakit TBC," katanya dikutip dari siaran pers Kemenkes, Rabu (23/3).
Kuman Bisa Aktif Sewaktu-waktu
Koordinator Substansi TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakti Menular Kemenkes Tiffany Tiara Pakasi mengatakan, infeksi TBC laten terjadi saat seseorang terpapar kuman TBC namun memiliki imunitas yang bagus sehingga menyebabkan dia tidak bergejala. Tapi sebenarnya kuman tersebut tidak hilang melainkan dalam posisi tertidur.
"Sehingga sewaktu-waktu kalau daya tahan tubuhnya turun dan lain-lain, dia bisa memicu kuman tersebut sehingga terjadi tuberkulosis aktif," katanya.
Pemerintah kini menjadikan pengendalian TBC laten sebagai salah satu program eliminasi untuk mengakhiri TBC tahun 2030. Salah satu bentuk pengendalian ini dengan melakukan skrining besar-besaran terhadap kontak erat TBC semua usia.
Skrining kontak erat dilakukan melalui pertanyaan dan pemeriksaan dengan tes tuberkulin di kulitnya, atau pemeriksaan melalui darah. Kalau diketahui ada TBC laten maka orang tersebut akan diberikan obat pencegahan TBC.
Dalam tes tuberkulin, sejumlah kecil protein yang mengandung bakteri TBC akan disuntikkan ke kulit di bawah lengan. Bagian kulit yang disuntikkan lalu diperiksa setelah 48 sampai 72 jam. Jika hasilnya positif, berarti orang tersebut telah terinfeksi TBC.
Namun, lanjut Tiara, karena TBC laten tidak bergejala, kebanyakan masyarakat tidak mau melakukan skrining. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam menemukan dan mengobati orang dengan TBC.
"Di sini memang diperlukan juga edukasi. Bagi orang yang diketahui positif TBC minum obatnya tidak sekali minum, minum obat paling cepat itu 3 bulan seminggu sekali, ada juga yang 6 bulan tiap hari, sehingga memang perlu diyakinkan masyarakatnya yang sudah kita tes berisiko TBC laten untuk mau minum obat," ucap Tiara.
Banyak Ditemukan di Daerah Padat Penduduk
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Didik Budijanto mengungkapkan sebanyak 91 persen kasus TBC di Indonesia adalah TBC paru yang berpotensi menularkan kepada orang yang sehat di sekitarnya. Saat ini, penemuan kasus dan pengobatan TBC yang tinggi telah dilakukan di beberapa daerah di antaranya Banten, Gorontalo, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sementara daerah dengan kasus TBC paling banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
"Sebenarnya TBC itu biasanya ada di daerah yang padat, daerah kumuh, dan daerah yang PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)-nya kurang, di situ potensi penularan TBC nya tinggi," jelas Didik.
Dia kemudian mengungkapkan gejala-gejala awal muncul TBC yang perlu dikenali masyarakat. Misalnya seseorang mengalami batuk karena TBC menyerang saluran pernapasan dan juga organ pernapasan.
Batuk yang terjadi berdahak terus-menerus selama 2 sampai 3 minggu atau lebih. Kemudian sesak napas, nyeri pada dada, badan lemas dan rasa kurang enak badan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan biasanya yang muncul adalah berkeringat pada waktu malam hari meskipun tidak melakukan kegiatan apa pun.
(mdk/yan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
"Tiap tahun di dunia sekitar 1,3 juta orang meninggal atau dua setengah orang per menit meninggal di dunia," kata Budi
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi memberikan arahan agar disiapkan karantina khusus berdekatan dengan lokasi di mana tuberkulosis itu terjadi.
Baca SelengkapnyaTuberkulosis merupakan tantangan yang masih dihadapi oleh Indonesia hingga saat ini.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan skrining juga dilakukan kepada masyarakat yang mengalami batuk- batuk lebih dari tiga bulan.
Baca SelengkapnyaPenyiapan tempat karantina ini untuk mencegah penularan TBC di Indonesia.
Baca SelengkapnyaKemenkes mengajak masyarakat mencegah DBD dengan membersihkan lingkungan.
Baca SelengkapnyaJasa Raharja mengakui angka kecelakaan lalu lintas memang mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 15 hingga 17 persen.
Baca SelengkapnyaSejumlah pasien demam berdarah dengue sampai saat ini masih menjalani rawat inap.
Baca SelengkapnyaVirus rabies kembali merebak dan menelan korban jiwa.
Baca SelengkapnyaLebih dari 350 juta orang di seluruh dunia menderita hepatitis
Baca SelengkapnyaMetode PCR sebelumnya juga digunakan untuk mendeteksi virus corona.
Baca SelengkapnyaJumlah korban meninggal dunia itu berasal dari 62.001 kasus DBD yang teridentifikasi.
Baca Selengkapnya