Menristek Akui Teknologi RI Garap Vaksin Merah Putih Ketinggalan dari Negara Lain
Merdeka.com - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menjelaskan alasan lamanya proses pengembangan produksi vaksin Merah Putih yang dilakukan di Indonesia. Karena mulai dari proses hulu sampai dengan hilir proses pengembangan vaksin yang sudah ketinggalan dibandingkan negara-negara lain.
"Jadi harus kita akui jujur yang membuat kita ketinggalan pengembangan vaksin apapun dalam hal ini vaksin Covid. Karena memang teknologi vaksin kita dari hulu R&D (Research and Development) atau hilirnya Bio Farma, itu memang ketinggalan," kata Bambang ketika rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/2).
Dia menjelaskan, jika proses vaksin apapun untuk imunisasi yang dilakukan oleh Bio Farma selama ini tetap memanfaatkan R&D atau penyedia bahan dasarnya dari luar negeri.
-
Kenapa negara termiskin kesulitan beli vaksin? Ini terlepas fakta bahwa negara termiskin juga berjuang untuk membeli dan meluncurkan vaksin COVID-19 untuk melawan pandemi.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
-
Kenapa vaksin dalam negeri penting? Hal ini disampaikannya saat meresmikan fasilitas produksi vaksin PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia di Kabupaten Bogor, pada Rabu (11/9). Menkes Budi menekankan bahwa pengalaman sukses dalam mengembangkan Vaksin Merah Putih menunjukkan betapa krusialnya memiliki berbagai jenis vaksin untuk memastikan keamanan kesehatan masyarakat.
-
Bagaimana cara meningkatkan ketahanan kesehatan melalui vaksin? Menkes Budi juga menambahkan, untuk mendukung ketahanan kesehatan, diperlukan penelitian yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan teknologi. Pemerintah melalui berbagai program terus mendorong pengembangan vaksin berbasis teknologi terkini.
-
Apa tujuan produksi vaksin dalam negeri? Kemandirian dalam produksi vaksin merupakan salah satu kebijakan utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
-
Kapan Bio Farma mulai meneliti vaksin? Pada 1902 lembaga tersebut mulai meneliti berbagai vaksin yang diperuntukkan bagi kesehatan masyarakat.
"Jujur vaksin untuk imunisasi itu dilakukan Bio Farma, tapi R&D nya dilakukan di luar. Bio Farma melakukan Skill up dari build kemudian finish. Tapi R&D nya tidak ada. Saya barusan tanya ke Prof Amin pernah enggak kita mengembangkan riset mengenai bibit vaksin, ada yang pernah jalan, tapi belum ada yang sampai ke pabrikan Bio Farma," jelasnya.
Oleh sebab itu, Bambang membeberkan bila selama ini tradisi riset vaksin di Indoensia masih jauh ketinggalan. Karena vaksin yang selama ini dikembangkan di Indonesia seperti penyakit Demam Berdarah, Hepatitis B, atau Malaria yang dimana merupakan penyakit tropis belum sampai ke ranah industri.
"Kita fokus dulu penyakit menular yang tropis, dan masih itu belum sampai ke manufacturing. Nah terus secara mendadak kita buat Vaksin Covid. Kalau boleh jujur kita memulainya dari nol dengan kemampuan terbatas," jelasnya.
"Maka dari itu saya membukanya dari nol dengan kemampuan yang terbatas. Saya undang siapapun yang bisa yang ingin mengembangkan vaksin khusunya dengan platform yang berbeda-berda karena ada beberapa platform yang lebih cepat," tambahnya.
Tantangan Lain Pengembangan Vaksin
Selain tantangan terkait budaya riset vaksin yang masih ketinggalan, Bambang mengatakan adanya juga problem minimnya invetasi dari pihak swasta terhadap pengembangan dari pengelolaan vaksin yang telah di datangkan Indonesia juga masih rendah dan terbatas pada Bio Farma.
"Kapasitas Bio Farma yang sekarang full untuk vaksin-vaksin yang didatangkan dari luar dengan target 250 juta di tahun ini, seharusnya bisa dilongarkan dengan kehadiran pabrik swasta lain. Jadi terus terang pihak pabrik swasta hanya mau inves terlibat dengan dua kondisi satu Bio Farma jadi mentornya, karena mereka belum berpengalaman untuk vaksin manusia. Karena sebagian dari vaksin hewan, dan sebagian perusahaan lagi vaksin biasa. Maka mereka butuh Bio Farma sebagai mentornya lah," jelasnya.
Oleh karena itu, kata Bambang, muncul kekhawatiran dari pihak swasta atau yang siap menaruh modalnya terkait pasar pembeli dari vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan di Indonesia.
"Kedua, pertanyaannya basic lagi, salah satu Dirut dari swasta nanya ke saya, bapak yakin engga kalau kita ikut Vaksin Merah Putih bakal dibeli Kemenkes itu ada pertanyaan ada keraguan seperti itu. Saya jawab waktu itu pokoknya pak Presiden mengatakan kalau vaksin merah putih siap itu dia satu-satunya vaksin dan tidak ada lagi yang impor," bebernya.
"Terus terang investasi di vaksin itu mahal dan beresiko, jadi memang dibutuhkan investasi berskala besar dan kepastian siapa yang beli vaksin tersebut," tambahnya.
Perkembangan Vaksin Merah Putih
Sebelumnya pada rapat yang sama, Bambang mengatakan perkembangan Vaksin Merah Putih saat ini terdata sebanyak enam institusi yang telah ikut terlibat dalam pengembangan vaksin merah putih.
"Vaksin merah putih di mana saat ini ada enam institusi yang mengembangkan vaksin merah putih. Dengan kalau kita sebut enam platform ada Eijkman dengan protein rekombinan, Lipi juga sama protein rekombinan namun caranya berbeda UI dengan DNA MrNa, kemudian Erlangga dengan adenovirus, kemudian ITB dengan adenovirus protein rekombinan, dan UGM dengan protein rekombinan," paparnya.
Menurutnya, seiring berjalannya waktu banyak platform yang dipakai untuk perkembangan vaksin merah putih saag ini, seperti MrNa yang sebagaimana dikembangkan oleh vaksin Moderna dan vaksin Pfizer.
"Sementara definisi vaksin merah putih tentunya adalah pengembangan vaksin yang berbasis virus yang bersirkulasi di Indonesia dan dilakukan oleh para peneliti Indonesia dan nantinya diproduksi oleh pabrik di Indonesia," jelasnya.
Oleh karena itu atas perkembangan riset vaksin yang ada, kata Bambang, maka pemerintah mengajak beberapa institusi lain untuk ikut dalam pengembangan vaksin yang sedang diuji, tidak hanya PT Bio Farma.
"Dalam riset pengembangan vaksin itu sendiri dan untuk hilirisasi dari bibit vaksin yang dihasilkan oleh masing-masing tim peneliti tentunya kita tidak bisa bergantung hanya kepada PT Bio Farma. Karena Bio Farma sampai hari ini baru bisa menangani untuk vaksin dari rekombinan dan adenovirus virus," katanya.
"Padahal, misalkan Univ Airlangga mengerjakan adinovairus atau UI dengan DNA MrNa maka mereka akan kesulitan mencari partner apabila Bio Farma baru bisa dengan dua platform (rekombinan dan Adenovirus)," jelasnya.
Atas hal itu, Bambang menyebutkan bila beberapa perusahaan swasta yang telah diajak kerjasama diantaranya Biotis, PT Tempo Scan Pasicific, Kalbe Farma dan PT Daewong Infinion yang telah siap untuk bekerjasama mengembangkan vaksin merah putih.
"Kita harapkan nantinya pabrik-pabrik tersebut selain bisa meningkatkan kapasitas produksi vaksin juga bisa menambah variasi plafon gunakan dalam perkembangannya," jelasnya.
Dengan beragam persiapan tersebut, Bambang menjelaskan jika target berdasarkan pengembangan vaksin merah putih yang dilakukan oleh enam institusi kemungkinan akan baru mendapatkan izin di Tahun 2022.
"Progres pengembangannya ya. Dimana memang kebanyakan dari vaksin Merah putih kemungkinan baru bisa digunakan atau mendapatkan izin di Tahun 2022 ya. Yang kita upayakan tentunya percepatan," jelasnya.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Produksi vaksin dalam negeri dianggap akan mampu mendorong ketahanan kesehatan nasional.
Baca SelengkapnyaMenkes angkat bicara mengenai efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca
Baca SelengkapnyaNamun kalau untuk yang komorbid, kata Menkes, risiko tetap ada karena virusnya tidak hilang.
Baca SelengkapnyaSepanjang 2023, Etana berhasil kembangkan produk bioteknologi dan vaksin.
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaPemanfaatan BMN ini digunakan untuk usaha yang lebih produktif.
Baca SelengkapnyaBerikut adalah tiga hal yang menjadi penghambat meluasnya jaringan 5G.
Baca SelengkapnyaTerdapat sekitar 700 merek franchise asing yang beroperasi di tanah air, jauh mengungguli jumlah franchise lokal yang hanya sekitar 130 merek.
Baca SelengkapnyaDukungan yang diberikan pemerintah kepada franchise lokal hanya pada tahap akhir, seperti pameran.
Baca SelengkapnyaHal tersebut sesuai dengan arahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengunjungi fasilitas produksi PT Etana Biotechnologies Indonesia.
Baca SelengkapnyaIndonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam penerapan ekonomi hijau.
Baca SelengkapnyaEkonomi hijau dinilai sebagai solusi dari sistem ekonomi eksploitatif yang selama ini cenderung merusak lingkungan.
Baca Selengkapnya