Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Menteri Siti Nurbaya Luruskan Deforestasi dan Hutan Primer

Menteri Siti Nurbaya Luruskan Deforestasi dan Hutan Primer Menteri Siti Nurbaya. ©2016 Merdeka.com/Darmadi Sasongko

Merdeka.com - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan deforestasi di Indonesia menurun tajam di era pemerintahan Presiden Jokowi. Dia menyebut data itu sesuai hitungan areal dari citra satelit.

Siti mengklaim hasil itu sejalan dengan upaya-upaya yang cukup gigih dan keras yang dilakukan pemerintah dan masyarakat termasuk dorongan aktivis di tingkat lapangan. Terutama dengan penegakan hukum dan pengendalian regulasi seperti moratorium.

"Tidak tepat apabila hasil kerja keras itu kemudian direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik bidang studi kehutanan," tegas Siti, Jumat (5/6).

Alumi Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menjelaskan, dalam pengelolaan hutan di Indonesia baik primer dan sekunder merupakan bagian dari hutan alam. Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Belinda Arunarwati menambahkan berdasarkan Perdirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, hutan primer merupakan seluruh hutan yang belum menampakkan bekas tebangan atau gangguan.

Sedangkan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan atau gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan hutan sekunder.

"Sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman,” terangnya.

Belinda melanjutkan, menyamakan terminologi primary forest yang dipakai Global Forest Watch (GFW) merupakan hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30 persen dengan hutan primer sesuai definisi Indonesia, kurang tepat. Apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka primary forest sesungguhnya adalah hutan alam (mature natural forest).

Sehingga tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Perlu kami luruskan bahwa istilah primary forest dimaksud GFW tidak seharusnya diterjemahkan langsung (translate) sebagai hutan primer, karena pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia," tegasnya.

Sebagai informasi, dari pertama dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover. Dalam hal ini, tree cover akan mencakup apapun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan.

Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras ataupun perkebunan. Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi atau data tree cover loss, maka perubahan yang terdeteksi terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut.

Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, di mana yang dimaksud dengan deforestasi, khususnya gross deforestastion hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.

"Untuk inilah, maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi," kata Belinda.

Dalam perkembangannya, data GFW juga mengalami penyempurnaan, mengikuti kondisi yang dihadapi. Untuk itulah, juga dibangun data set yang menggambarkan hanya sebaran hutan alam saja.

Data set ini dinamai primary forest mask. Data inilah yang dipakai untuk membedakan keberadaan hutan alam terhadap vegetasi lainnya yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter.

Perubahan tutupan hutan yang terjadi pada primary forest mask inilah yang kemudian dirilis GFW dalam bentuk primary forest loss. Namun demikian primary forest mask, pada dasarnya terdiri atas dua kelas utama juga, yaitu primary intact forest dan primary degraded forest.

Primary intact forest mendekati apa yang di Indonesia sering dikenal sebagai hutan primer, sedangkan primary degraded forest mendekati kelas hutan sekunder yang dipakai di Indonesia.

Metodologi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia, termasuk penggunaan definisi hutan primer telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul ‘National Forest Reference Emission Level (FREL)’ yang secara resmi dikeluarkan oleh KLHK pada 18 September 2015. Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada November 2016.

"Maka definisi dan terminologi yang digunakan selain yang bersumber dari dokumen tersebut, harus diberikan keterangan dan informasi yang memadai agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah," ucapnya.

Lebih lanjut, Belinda menyampaikan KLHK juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan diakui di dunia internasional yaitu National Forest Monitoring System/NFMS SIMONTANA). Ini dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia Internasional, seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL) dan UNFF.

"Oleh karena itu, kami sebetulnya keberatan terhadap penggunaan informasi berbasis tutupan pohon (tree cover) yang sering diadopsi beberapa kalangan dan dikaitkan dengan perhitungan luas deforestasi di Indonesia. Karena itu tidak tepat," ujarnya.

"Dalam hal ini, apapun informasi yang keluar dan menggunakan terminologi yang tidak sama dengan yang official di Indonesia, perlu dilengkapi dengan penjelasan kepada publik mengenai perbedaan terminologi tersebut, agar tidak ada kesalahpahaman dalam memaknai artinya, seperti misalnya kata primary forest (hutan alam/mature natural forest) dengan terminologi hutan primer," ungkap Belinda.

(mdk/eko)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP