MK dinilai seperti Mahkamah Kalkulator
Merdeka.com - Penggunaan syarat ambang batas selisih pendapatan suara dalam mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kontra. MK dinilai lebih mengedepankan angka hasil suara ketimbang hal substantif.
Peneliti Pusat studi Konstitusi Gaktas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut kebijakan MK seperti ini justru membuka celah bagi para kandidat melakukan kecurangan. Tidak hanya itu, peran MK yang melingkupi hal hal konstitusional kini beralih menjadi lembaga yang berpatokan terhadap angka.
"Pola MK mengadili seperti ini sebenarnya menarik MK sebagai mahkamah kalkulator, bukan melihat substansinya," ujar Feri, Minggu (5/3).
-
Apa isi putusan MK terkait Pilpres? MK menolak seluruh permohonan kubu 01 dan 03. Meski begitu ada tiga hakim yang memberi pendapat berbeda.
-
Bagaimana MK memutuskan sidang sengketa Pileg? Teknisnya, perkara akan dibagi ke dalam tiga panel yang diisi oleh masing-masing hakim MK secara proporsional atau 3 hakim per panelnya.
-
Apa yang diputuskan MK terkait sengketa Pileg PSI? Posisinya digantikan sementara Hakim Guntur Hamzah.'Kenapa ini didahulukan, karena menyangkut pihak terkait PSI maka ada hakim konstitusi yang mestinya di panel tiga untuk perkara ini tidak bisa menghadiri, oleh karena itu sementara digantikan panelnya oleh Yang Mulia Prof Guntur Hamzah,' kata Hakim Arief Hidayat di Gedung MK, Senin (29/4).
-
Mengapa Bivitri menganggap MK mengkerangkeng pencari keadilan gugatan Pilpres? Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti menilai hukum acara sengketa Pilpres 2024 terkesan mengkerangkeng agar kebenaran substansif tidak terkuak.
-
Apa putusan MK tentang sengketa Pilpres 2024? 'Pasalnya Prabowo-Gibran telah memenangkan pemilu dengan selisih suara yang sangat telak dengan pasang calon capres-cawapres nomor urut 01 dan 03. Dimana Prabowo-Gibran memperoleh suara 96.214.691 suara (58,58 persen), sementara pasangan Anies-Muhaimin 40.971.906 suara (24,95 persen), sedangkan Ganjar-Mahfud hanya mendapatkan 27.040.878 suara (16,47 persen),'
-
Apa putusan MK untuk sengketa Pilpres 2024? 'Saya dengan Pak Mahfud orang yang sangat taat pada konstitusi, apapun pasti akan kita ikuti,' kata Ganjar, saat diwawancarai di Hotel Mandarin, Jakarta, Senin (22/4).
"Kandidat berupaya lakukan apa saja untuk menjauhkan ambang batas selisih suara. Jadi harus bener bener curang gagasan ini yang membuka kecurangan baru," tukasnya.
Lebih dari itu, dia menganggap MK tidak taat terhadap azas hukum karena pihak pihak yang terlibat dalam perkara sengketa tersebut tidak didengarkan usul ataupun penjelasannya.
Feri mengamini bahwa MK menjadikan alasan Pasal 158 Ayat 1 sebagai pertimbangan untuk menerima gugatan sengketa, sebagai bentuk menjalankan Undang-Undang. Namun menurutnya, MK bisa saja tidak menjalani Undang-Undang tersebut jika memang porsi hak dasar konstitusionalnya lebih sedikit.
"MK tidak perlu memperhatikan Undang-Undang tetapi perhatikan konstitusinya," tukasnya.
Masykuruddin Hafidz, koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pun mengamini jika MK tidak pasti selalu mengikuti landasan Undang-Undang.
"Undang-Undang saja bisa direvisi, jadi seharusnya lihat lebih ke konstitusinya," ucap Masykuruddin menimpali pernyataan Feri.
Seperti diketahui sesuai dengan Pasal 158 Undang-Undang Pilkada Ayat 1 menjelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar dua persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU provinsi.
Sementara provinsi yang jumlah penduduknya 2 - 6 juta orang pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat paling banyak sebesar 1.5 persn dari hasil penetapan KPU provinsi.
Undang-Undang ini sebelumnya juga diterapkan pada Pilkada serentak 2015 lalu. Tahun ini MK pun masih menggunakan dasar ini sebagai pertimbangan pengajuan gugatan sengketa Pilkada. (mdk/pan)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
MK mengeluarkan putusan mengubah syarat pencalonan dalam UU Pilkada.
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Baca SelengkapnyaPakar hukum menilai putusan MK ini baik bagi demokrasi dan bisa mencegah monopoli pencalonan kepala daerah.
Baca SelengkapnyaDemikian hal itu disampaikan Ketua Tim TDK Todung Mulya Lubis yang telah siap membeberkan bukti kecurangan
Baca SelengkapnyaMK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaTujuan gugatan dilakukan semata-mata untuk mencari perbaikan demi masa depan.
Baca SelengkapnyaBawono menduga ada upaya menggulirkan isu tersebut agar menggerus elektabilitas Prabowo-Gibran
Baca SelengkapnyaYusril mengakui pernyataan itu disampaikannya pada 2014 lalu atau sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Baca SelengkapnyaAda sejumlah laporan diterima MKMK, salah satunya putusan soal syarat Capres-Cawapres maju di Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaMK: DPR Tak Boleh Lepas Tangan soal Masalah Pemilu, Harus Jalankan Fungsi Konstitusional seperti Hak Angket
Baca SelengkapnyaMK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon
Baca SelengkapnyaHal ini tercantum dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 dari perkara yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Baca Selengkapnya