MK tolak gugatan presidential threshold, siap-siap ada capres tunggal
Merdeka.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT). Bagi parpol yang akan mengusung pasangan capres dan cawapres harus memenuhi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya.
Uji materi ini diajukan Partai Idaman, PBB, Perludem, pakar komunikasi politik Effendi Ghazali, dan tokoh ACTA Habiburokhman. Putusan MK atas PT ini dinilai dapat memunculkan pemerintahan yang diktator.
Demikian disampaikan penggugat, Effendi Ghazali usai menghadiri sidang putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (11/1). Ia juga menilai dengan adanya ketentuan PT ini maka dapat berpotensi memunculkan calon tunggal dalam Pilpres.
-
Mengapa MK menyetujui syarat capres dan cawapres pernah terpilih? Namun, dalam dalil penambahan, MK menyetujui syarat capres dan cawapres minimal pernah terpilih dalam Pemilu, termasuk kepala.
-
Apa isi putusan MK terkait Pilpres? MK menolak seluruh permohonan kubu 01 dan 03. Meski begitu ada tiga hakim yang memberi pendapat berbeda.
-
Apa yang diputuskan MK terkait gugatan usia capres-cawapres? Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan penarikan kembali atau pencabutan gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.
-
Apa putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia capres dan cawapres? Mahkamah Konsitutusi (MK) menolak permohonan batas usia capres dan cawapres.
-
Apa putusan MK untuk sengketa Pilpres 2024? 'Saya dengan Pak Mahfud orang yang sangat taat pada konstitusi, apapun pasti akan kita ikuti,' kata Ganjar, saat diwawancarai di Hotel Mandarin, Jakarta, Senin (22/4).
-
Mengapa MK mengabulkan pencabutan gugatan usia capres-cawapres? 'Menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon. Menyatakan Permohonan Nomor 105/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali,' tutur Anwar di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).
"Dengan ditolaknya untuk tidak ada presidential threshold ini maka kita siap-siap juga ke calon presiden tunggal. Bisa loh kalau nanti enggak cocok koalisinya," jelasnya.
Dia pun mengapresiasi pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim MK; Saldi Isra dan Suhartoyo. "Yang seperti ini bisa muncul dictatorship. Saya bahagia ada dua (hakim) yang betul-betul jernih, menemukan nalar yang jernih," jelasnya.
Dalam pemaparan dissenting opinion, Anggota Hakim MK, Suhartoyo menyampaikan mengacu pada putusan MK di mana Pilpres dilaksanakan serentak dengan Pemilu Legislatif, rezim ambang batas pencalonan presiden dan wapres menggunakan hasil Pemilu Legislatif dinilai tak relevan. "Mempertahankannya berarti bertahan memelihara sesuatu yang inkonstitusional," ujarnya.
Pencalonan presiden dan wapres dengan mengacu pada ambang batas presidensial juga disebut merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui Pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden.
"Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif," jelasnya. Jika merujuk pada Amerika yang melaksanakan sistem pemerintahan presidensial, tak diberlakukan ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Hakim Konstitusi, Saldi Isra yang juga memiliki pendapat berbeda atas putusan MK itu menyampaikan jika parpol mayoritas di legislatif sama dengan parpol presiden atau mayoritas parpol legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap ke dalam pemerintahan otoriter.
"Secara doktriner dipahami, sistem pemerintahan presidensial berayun di antara dua pendulum. Di satu sisi pemerintahan yang tidak stabil. Sementara di sisi lain mudah terperangkap ke dalam praktik pemerintahan otoriter. Kondisi dilematis ini dikenal sebagai paradox of presidential power," terang Saldi.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
MK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaMK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon
Baca SelengkapnyaFraksi PDIP akan terus memperjuangan agar keputusan MK dapat diakomodir.
Baca SelengkapnyaPutusan ini menjadi polemik karena dibacakan beberapa hari jelang pendaftaran calon kepala daereah 27 Agustus 2024.
Baca SelengkapnyaMK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon
Baca SelengkapnyaMK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon.
Baca SelengkapnyaMK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada.
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan tentang ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen.
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK.
Baca SelengkapnyaGugatan itu diajukan Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekjen Yohanna Murtika.
Baca SelengkapnyaKeempat, gugatan nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Arkaan Wahyu. Petitumnya meminta usia minimal capres-cawapres 21 tahun.
Baca Selengkapnya