Pakar: Temuan Ombudsman Soal TWK Harus Dihormati Meski KPK Jalankan Putusan MK
Merdeka.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah suatu hal yang berbeda dengan rekomendasi maladministrasi dari Ombudsman RI. Atau temuan dugaan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.
Pernyataan itu terkait dengan dasar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap ngotot memecat 57 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan/TWK pada 30 September 2021. Salah satunya merujuk pada putusan MA dab MK.
"Jadi dua hal yang berbeda putusan MA dan MK tidak akan bertabrakan dengan rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman RI," kata Feri kepada merdeka.com, Jumat (17/9).
-
Siapa hakim MK yang berbeda pendapat? Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra berbeda pendatan (dissenting opinion) terhadap putusan batas usia capres-cawapres 40 tahun atau pernah menjabat kepala daerah untuk maju di Pemilu 2024.
-
Siapa yang mengomentari putusan MK? Kuasa Hukum Pasangan AMIN Bambang Widjojanto (BW) mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2024.
-
Siapa yang menilai MK tidak bisa jadi objek hak angket? 'Tentu saja hak angket merupakan hak anggota DPR untuk mengajukannya. Hanya saya lihat, perlu ketepatan objek hak angket. Kalau objeknya putusan MK atau lembaga MK, tentu tidak bisa,' ungkap pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari kepada wartawan, Rabu (1/11).
-
Mengapa PKS menghormati putusan MK? 'Putusan tersebut harus kita hormati sekaligus menjadi penanda dari ujung perjuangan konstitusional kita di Pilpres tahun 2024,'
-
Apa yang diputuskan MK terkait sengketa Pileg PSI? Posisinya digantikan sementara Hakim Guntur Hamzah.'Kenapa ini didahulukan, karena menyangkut pihak terkait PSI maka ada hakim konstitusi yang mestinya di panel tiga untuk perkara ini tidak bisa menghadiri, oleh karena itu sementara digantikan panelnya oleh Yang Mulia Prof Guntur Hamzah,' kata Hakim Arief Hidayat di Gedung MK, Senin (29/4).
-
Kenapa Kemenkum HAM tidak menahan SK kepengurusan PKB? Dia mengatakan prinsipnya Kemenkum HAM tidak mungkin menahan jika ada permohonan dari partai politik.
Dia menjelaskan, keputusan MA dan MK terkait keabsahaan penyelengaraan TWK yang telah sesuai kewenangan KPK. Sedangkan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM menduga terkait dugaan penyelewenangan dalam penyelenggaraan TWK.
Sehingga, polemik TWK, dia mempersoalkan prosedur penyelenggaran yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang No 30 Tahun 2014 yang pada kewenangannya pejabat negara atau badan tata usaha negara tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang.
"Tidak boleh sewenang-wenang. Nah di titik inilah pelanggaran, karena kesewenang-wenangan proses penyelenggaran bertentangan dengan HAM dan cacat administrasi karena tidak terbuka, segala macem. Sebagaimana ditemukan Ombudsman dan Komnas HAM," katanya
Dia memandang Presiden Joko Widodo selaku kepala negara seharusnya menegakkan HAM dan menertibkan proses penyelenggraan TWK sesuai asas umum penyelenggaraan negara yang baik.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU 30 Tahun 2014, penyelenggara negara harus meliputi asas; a.kepastian; hukum; b.kemanfaatan; c.ketidakberpihakan; d.kecermatan; e.tidak menyalahgunakan kewenangan; f.keterbukaan; g.kepentingan umum; dan h.pelayanan yang baik.
"Jadi tidak ada masalah menjalani putusan MA ataupun MK, tetapi harus juga menghormati rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI yang kemudian mereview proses penyelenggaraan. Sementara MA dan MK mereview ketentuan peraturan perundangan-undangannya," jelasnya.
Feri menambahkan suatu hal yang wajar ketika seluruh pihak menagih sikap presiden terhadap masalah TWK pegawai KPK. Karena PP No 40 Tahun 2020 terkait alih status Pegawai KPK serta PP No 17 Tahun 2020 soal Manajemen Pegawai Negeri Sipil Presiden lah yang berwenang mengangkat PNS.
"Artinya ya, kalau problematika berkaitan status PNS ya memang ujungnya ada di Presiden," ujarnya.
Sebelumnya, 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) akan dipecat pada 30 September 2021. Hal tersebut diungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/9) hari ini.
"Memberhentikan dengan hormat kepada 51 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per tanggal 30 September 2021," ujar Alex saat jumpa pers seperti dikutip dalam chanel youtube KPK.
Alex menyebut jika 51 pegawai itu merupakan pegawai yang mendapat rapor merah dalam TWK. Sementara 6 lainnya adalah mereka yang tak bersedia mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan.
Sementara, Alex mengatakan, terhadap 18 pegawai nonaktif yang telah mengikuti diklat bela negara dan dinyatakan lulus menjadi ASN bakal segera dilantik dan diangkat secara resmi.
"KPK akan mengangkat dan melantik 18 pegawai KPK yang telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan," kata dia.
Kemudian, untuk tiga orang pegawai yang baru menyelesaikan tugas luar negeri, KPK memberikan kesempatan untuk mengikuti TWK susulan. Ketiga orang tersebut akan mengikuti TWK pada 20 September 2021.
"Memberi kesempatan kepada tiga orang pegawai KPK yang baru menyelesaikan tugas dari luar negeri untuk mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan yang akan dimulai 20 September 2021," kata dia.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
MK, lanjut Fajar juga siap menghadapi banding Anwar Usman di PTUN.
Baca SelengkapnyaWapres Ma'ruf Amin Imbau Pendukung Capres-Cawapres Terima Apa Pun Putusan MK
Baca SelengkapnyaPN Ganjar-Mahfud tetap menghormati putusan MKMK tersebut.
Baca SelengkapnyaWakil Presiden Ma'ruf Amin merespons soal sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca SelengkapnyaSeperti diketahui, MK baru saja mengeluarkan putusan mengubah syarat Pilkada.
Baca SelengkapnyaCawapres Mahfud Md buka suara terkait tugas Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya
Baca SelengkapnyaMenurut Arsjad Rasjid, MKMK seharusnya menjatuhkan sanksi pemecatan
Baca SelengkapnyaMK pada akhir pekan lalu (29/11) mengabulkan sebagian uji materi terhadap Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca SelengkapnyaGerindra menilai tidak bisa membatalkan keputusan MK soal syarat Capres-Cawapres.
Baca SelengkapnyaDia menyebut bahwa putuskan MK itu tak bisa memuaskan semua pihak.
Baca SelengkapnyaMoeldoko pun mengingatkan masyarakat untuk tetap menjaga suasana politik agar tetap damai, dengan tidak mencampuri urusan hukum.
Baca Selengkapnya"Putusannya bersifat final dan mengikat, selesai, tidak ada bandingnya. Nah pak hakimnya korupsi? Hakimnya melanggar etik? Adili," kata Mahfud.
Baca Selengkapnya