Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur diminta tiru Wonosobo tangani kasus Ahmadiyah

Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur diminta tiru Wonosobo tangani kasus Ahmadiyah Ilustrasi Garis Polisi. ©2015 merdeka.com/afif

Merdeka.com - Penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah kembali terjadi di Pulau Lombok pada Sabtu dan Minggu, 19-20 Mei 2018. Kali ini sebanyak 24 jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Sakra, Lombok Timur akhirnya mengungsi ke Mapolres Lombok Timur setelah rumahnya diduga dirusak oleh sekelompok masyarakat.

Insiden seperti ini juga terjadi belasan tahun silam atau sekitar 2006 di wilayah Lombok Barat. Sampai saat ini puluhan jemaat Ahmadiyah masih mengungsi di penampungan Transito, Kota Mataram.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pemkab Lombok Timur belajar dari Pemkab Wonosobo, Jawa Tengah, dalam menangani konflik dialami jemaat Ahmadiyah. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur harus meniru Wonosobo bagaimana menciptakan harmoni antara jemaat Ahmadiyah dengan agama lainnya sehingga mereka bisa hidup berdampingan.

"Banyak daerah-daerah yang mampu melindungi jemaat Ahmadiyah dan toleransi antara umat beragama berjalan baik. Seperti di Wonosobo ada 6 ribu jemaat Ahmadiyah berpuluh-puluh tahun hidup damai dan tak ada konflik yang berarti," kata Ulung Hapsara saat konferensi pers di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (21/5).

Dia mengatakan, di Wonosobo telah terbangun toleransi antar umat beragama dan Pemda setempat juga bersikap tegas dalam mencegah hal-hal yang berkaitan dengan intoleransi.

"Saya kira patut dicontoh. Pemkab Lombok Timur dan Pemprov NTB tepatnya mencontoh apa yang ada di Wonosobo dan banyak daerah lain. Di Tasikmalaya jemaat Ahmadiyah hidup berdampingan secara damai dan juga di Garut. Kita harus semakin banyak memberi contoh baik pada pemerintah daerah agar mereka secara paripurna melindungi warganya," ujarnya.

Komnas HAM juga mengutuk keras peristiwa yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Sakra, Lombok Timur. Peristiwa itu sebagai bentuk penyerangan langsung terhadap kebebasan beribadah dan berkeyakinan.

"Kami prihatin kepada kawan-kawan Ahmadiyah. Semoga setelah penyerangan tersebut saat ini Pemda mampu melindungi warganya," kata dia.

Komnas HAM juga mencatat belum ada solusi memadai dari Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur maupun Pemkab Lombok Barat atas kasus-kasus penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di daerah ini. Padahal pemerintah atau negara memiliki kewajiban konstitusi melindungi warganya.

Komnas HAM menuntut kepolisian bertindak tegas mengatasi tindakan yang mengarah pada pelanggaran pidana seperti perusakan rumah. Sehingga tak ada pengulangan pola yang sama dari kepolisian dalam menghadapi kasus intoleransi dan kekerasan hanya melalui jalur damai.

"Polisi lebih memilih jalan harmoni, damai daripada tindakan hukum yang bisa memberi efek jera pada pelaku. Ada yang didamaikan begitu saja tapi tidak ada tindak lanjut secara hukum," ujarnya.

Selain meminta kepolisian menindak tegas pelaku penyerangan, Komnas HAM juga meminta Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Timur melindungi hak-hak warga Ahmadiyah secara paripurna. Persoalan tak hanya menyangkut keamanan tapi juga sosio psikologis korban.

Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Khariroh Ali menyayangkan kepolisian tak berhasil mencegah peristiwa tersebut. Padahal menurutnya warga Ahmadiyah telah melaporkan kepada polisi adanya indikasi penyerangan sejak Maret lalu.

"Sangat disayangkan mengapa aparat keamanan tidak mencegah aksi-aksi intoleransi ini," kata dia.

Komnas Perempuan mencatat sejak 2006 penyerangan dihadapi terus menerus oleh warga Ahmadiyah di NTB. Ketika pihaknya melakukan pemantauan pada 2013 bersama lembaga-lembaga lainnya, para perempuan menjadi korban kelompok intoleran baik penyerangan fisik (perusakan rumah, perusakan tempat ibadah, ancaman pembunuhan) dan kekerasan non fisik (penyegelan tempat ibadah, caci maki, pelecehan seksual). Pengungsian Transito di Mataram dan di Praya Lombok Tengah juga disebut sebagai tempat pengungsian paling panjang sejak 2006.

"Setidaknya sudah 12 tahun lebih mereka menempati tempat pengungsian karena ketidakpastian jaminan keamanan dan perlindungan warga negara," kata Kharirah.

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP