Pengamat: Berbahaya kalau media ikut puja-puji Jokowi
Merdeka.com - Media massa alami polarisasi pada kelompok yang mendukung dan tidak mendukung pencalonan Jokowi sebagai capres yang diusung PDIP. Demikian hasil riset Media Literacy Circle UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
"Analisis isi terhadap enam media cetak nasional yang kami lakukan menunjukkan adanya polarisasi pemberitaan Jokowi sebagai calon presiden," kata Direktur Eksekutif Media Literacy Circle Iswandi Syahputra, Rabu (2/4).
-
Siapa yang jadi presiden pasca pemilu 2004? Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memenangkan pemilu ini dengan 60,62% suara, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi yang mendapatkan 39,38% suara. Pasangan ini kemudian dilantik sebagai presiden dan wakil presiden keenam Indonesia pada 20 Oktober 2004.
-
Apa sistem pemilu presiden 2004? Pemilu 2004 adalah pemilu yang bersejarah bagi Indonesia. Karena untuk pertama kalinya, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden mereka, tanpa campur tangan dari lembaga perwakilan.
-
Kenapa pemilu 2004 bersejarah? Pemilu 2004 adalah pemilu yang bersejarah bagi Indonesia. Karena untuk pertama kalinya, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden mereka, tanpa campur tangan dari lembaga perwakilan.
-
Siapa yang menang Pilpres 2014? Hasil pilpres 2014 menunjukkan bahwa Joko Widodo dari PDIP memenangkan pemilu mengalahkan lawannya Prabowo Subianto.
-
Kenapa Pemilu 2004 menjadi momen penting? Pemilu 2004 juga menjadi momen penting karena partisipasi masyarakat yang tinggi, mencapai lebih dari 70%.
-
Gimana caranya Jokowi ikut kampanye? Pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan.
Polarisasi tersebut, dia menjelaskan, terlihat dari tone (bunyi) pemberitaan setiap media massa yang diteliti. Ada media yang memframing Jokowi sebagai penantang kuat dengan tone pemberitaan Jokowi secara positif.
"Ada juga media yang memframing Jokowi bukan sebagai penantang kuat dengan tone pemberitaan Jokowi secara negatif. Selain itu ada pemberitaan media yang malu-malu, seakan ingin netral padahal cenderung mendukung Jokowi," jelas Doktor kajian media UGM tersebut.
Dalam kasus yang paling mutakhir, Iswandi memberi contoh adanya kabar pesawat pribadi yang digunakan Jokowi dalam kampanye ke sejumlah daerah.
"Coba perhatikan, saat Jokowi naik mobil Esemka hampir semua media meliputnya. Tapi saat Jokowi kabarnya naik pesawat pribadi, walau itu mungkin pesawat sewa tapi harganya jauh lebih mahal dari pesawat komersial biasa, beritanya tidak begitu ramai di media massa," paparnya.
Lebih lanjut Iswandi menyatakan, polarisasi pemberitaan media mulai terasa saat Jokowi menyatakan maju sebagai calon Presiden setelah mendapat mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. "Tanggal 14 Maret saat Jokowi menyatakan maju sebagai calon Presiden seperti menjadi pluit bagi polarisasi pemberitaan media tersebut."
Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tersebut menjelaskan, polarisasi media itu hal yang biasa terjadi dalam politik pemberitaan. Dengan catatan media menyajikan fakta dan data objektif, bukan opini yang subjektif.
"Publik juga tidak boleh terlalu lama dalam euforia Jokowi. Sebab sebelum Jokowi maju sebagai capres, tidak ada media bersikap kritis. Situasinya mirip seperti Pemilu 2004, saat itu SBY yang menjadi media darling. Sangat berbahaya jika semua media memuja dan memuji Jokowi," ujarnya.
"Memang harus ada media yang berani bersikap kritis pada Jokowi. Jadi media tidak perlu malu mendukung atau tidak mendukung Jokowi sebagai capres dalam politik pemberitaannya. Polarisasi ini positif untuk publik."
Minggu lalu Media Literacy Circle UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merilis hasil riset analisis isi pemberitaan media cetak nasional terhadap pencalonan Jokowi sebagai Presiden. Penelitian dilakukan pada tanggal 13-22 Maret 2014 atau dua hari sebelum hingga seminggu penetapan Jokowi sebagai capres PDIP.
Isi pemberitaan media cetak nasional yang dianalisis adalah Kompas, Koran Tempo, Republika, Koran Sindo, Media Indonesia dan Jawa Pos. Riset analisis isi media tersebut dimaksudkan untuk menemukan peta pemberitaan media terhadap pencalonan Jokowi sebagai capres.
(mdk/mtf)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jokowi tetap menganggap sebuah kritikan sebagai kebebasan berekspresi.
Baca SelengkapnyaMenurut Raja Juli, presiden maupun menteri merupakan warga negara yang memiliki hak politik untuk mendukung kandidat pilpres.
Baca Selengkapnya"Tidak masalah, tidak berdosa memberikan dukungan politik," kata Sekjen PSI
Baca SelengkapnyaHal itu dikatakan Ketua DPD Golkar Jawa Timur, M Sarmuji.
Baca SelengkapnyaYusril pun membandingkan pasangan calon lain yang juga didukung oleh tokoh-tokoh berpengaruh lain.
Baca SelengkapnyaPada Pemilu 2004, pertama kalinya rakyat memiliki hak suara langsung dalam menentukan siapa yang akan memimpin negeri ini.
Baca SelengkapnyaPemilu Presiden tahun 2004 menjadi ajang pertarungan dua pensiunan Jenderal TNI. Potret keduanya saat berkampanye menjadi satu hal menarik untuk diulas.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai ada kemiripan antara Soeharto dan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mempertahankan kepemimpinan lewat Pemilu.
Baca SelengkapnyaPeneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada dua alasan utama mengapa dukungan publik untuk PDIP tinggi.
Baca SelengkapnyaTingginya approval rating tersebut pun membuat rebutan capres.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menilai banyak drama di tahun politik.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kondisi politik saat ini sudah seperti sinetron dan drama korea. Di mana, kerap terjadi hal diluar dugaannya.
Baca Selengkapnya