Pengamat Nilai Senyum Pemimpin Tak Selalu Merepresentasikan Demokratis atau Otoriter
Merdeka.com - Pengamat politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai wajah pemimpin yang ramah tidak mencerminkan bahwa pemimpin tersebut bukan otoriter. Dia pun teringat ucapan Presiden Jokowi yang pernah menyebut bahwa tampangnya tidak sangar.
"Saya ingat pernyataannya Presiden Jokowi yang merespons beberapa pandangan yang menyebut bahwa gejala otoritarianisme sudah muncul di Indonesia saat ini, waktu itu beliau tampang saya ini enggak ada sangar sangarnya kata dia," kata Arif dalam diskusi Formappi: UU Cipta Kerja dan Tumbuhnya Pohon Otoritarianisme, Jumat (6/11).
"Memang ada pandangan yang keliru di kepala banyak orang yang melihat bahwa otoritarianisme itu representasinya lewat wajah sangar para diktator," sambungnya.
-
Kenapa Jokowi dikritik? Khususnya terhadap keluarga Jokowi yang ikut dalam kontestasi politik baik Pilpres maupun pilkada.
-
Siapa yang mengkritik Jokowi? Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
-
Siapa yang membuat Presiden Jokowi gemas? Akhirnya, pertunjukan lucu Ameena sukses membuat semua orang terkesan, termasuk Presiden Jokowi yang menyaksikannya dari kursi utama.
-
Siapa yang bertemu dengan Presiden Jokowi? Dalam lawatannya ke Jakarta, Paus Fransiskus bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta.
-
Siapa yang disebut Jokowi sebagai sosok yang keliru? “Karena ia percaya sumber daya planet bumi terbatas. Akan tetapi, ternyata Thanos keliru.“
-
Siapa yang dipanggil Jokowi? Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil dua menteri Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia (Mendes-PDTT) Abdul Halim Iskandar dan Menaker Ida Fauziyah.
Dia kemudian, mencontohkan bekas Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin dan mantan Presiden Chili Augusto Pinochet yang merupakan diktator tapi berwajah ramah. Lalu, ada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
"Dulu misalnya ada Stalin, ada Pinochet, tapi kita juga ingat kita pernah punya Soeharto yang dikenal the smiling general, jenderal yang suka tersenyum, jadi senyumnya para pemimpin itu tidak selalu merepresentasikan bentuk kepemimpinannya apakah demokratis atau otoriter," tuturnya.
Selain itu, dia menuturkan, ancaman terhadap demokrasi bisa muncul dari pemimpin yang bahkan dipilih lewat pemilu. Dia mencontohkan Amerika Serikat dalam empat tahun terakhir dipimpin Donald Trump dengan dipilih lewat sebuah pemilu yang relatif demokratis.
Tetapi, menurut Arif, Trump justru menjadi salah satu musuh besar demokrasi yang dengan kekuasaannya memojokkan media. Kemudian, mengurangi akses terhadap kontrol atas pemerintahan dan seterusnya.
"Jadi kalau presiden Jokowi mengatakan saya gak ada tampang sangarnya itu bukan berarti pasti di Indonesia tidak ada otoritarianisme," tandasnya.
Arif melihat gejala otoritarianisme dilakukan bukan tanpa alasan. Menurutnya, setiap pemimpin yang baru dilantik harus berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan agar program-programnya lancar.
Sebab, menurutnya, meski punya program sangat bagus sekalipun, tidak akan mungkin program itu diwujudkan jika bertahan di kekuasaan saja tidak mampu.
"Jadi misalnya kita lihat Jokowi begitu dia menang pemilu di tahun 2014 kemudian dilantik sebagai presiden, maka pertanyaan pertama paling itu justru bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan," ucapnya.
"Jadi pertama tama itu bukan bagaimana mewujudkan sebuah program yang sudah dijanjikan lewat kampanye, tapi bagaimana mempertahankan kekuasaan," imbuhnya.
Kemudian, di sisi lain ada faktor dorongan eksternal. Jika dilacak, Pemilu 2014 adalah pertarungan politik yang keras dan itu tidak selesai gara-gara Jokowi memenangi pemilu. Demikian pula di pemilu 2019 yang jauh lebih keras dibandingkan 2014.
Sehingga, menurut dia, hal tersebut memberi ancaman tertentu kepada kekuasaan Jokowi. Sehingga, upaya untuk mempertahankan kekuasaan punya alasan.
"Tidak semata mata Jokowi haus kekuasaan tapi karena tekanan eksternal, yang kalau tidak dihadapi bukan tidak mungkin Jokowi selesai di tengah jalan seperti halnya dulu Habibie tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, demikian pula Gus Dur antara 1999 hingga 2001 gagal mempertahankan kekuasaan," pungkasnya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Yandri menilai upaya pelaporan terhadap Rocky berlebihan. Meski dia mengakui hal tersebut wajar sebagai sebuah respons kontra.
Baca SelengkapnyaHabiburokhman membandingkan pemerintahan saat orde baru dengan Jokowi.
Baca SelengkapnyaPAN mempertanyakan tolak ukur JK membandingkan kepemimpinan Jokowi dan Soeharto.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo atau Jokowi enggan menanggapi sindiran Megawati.
Baca SelengkapnyaJokowi, kata Cokorda sering mendapat kritikan hingga cercaaan namun tak pernah menggubrisnya.
Baca SelengkapnyaJokowi mengatakan, kriteria pemimpin itu bisa dilihat dari fisik, sifat hingga program.
Baca SelengkapnyaMenurut dia, sejumlah Presiden Jokowi seolah tidak pro terhadap tegaknya demokrasi.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, kepribadiannya ini hasil didikan keras di Kopassus TNI. Namun, dia mengingatkan jika direndahkan harus tetap tersenyum.
Baca SelengkapnyaPolitikus PDIP Wayan menilai sosok Jokowi sudah mulai berubah.
Baca SelengkapnyaUcapan Yaqut membuat para elite PKB meradang dan langsung memberi teguran.
Baca SelengkapnyaJokowi menganggap itu sebuah kritikan yang harus didengar
Baca SelengkapnyaTingkat kepuasan publik kepada kinerja Presiden Jokowi diyakini tinggi.
Baca Selengkapnya