Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Penyelidikan dwelling time belum sentuh Pelindo dan instansi lain

Penyelidikan dwelling time belum sentuh Pelindo dan instansi lain Kasus dwelling time. ©2016 merdeka.com/yan muhardiansyah

Merdeka.com - Penyelidikan yang dilakukan polisi terkait kasus lambatnya dwelling time di Pelabuhan Belawan belum menyentuh instansi berwenang, seperti Pelindo I. Sejauh ini, polisi baru menangkap dua orang luar yang diduga terlibat kejahatan sehingga menghambat proses penanganan logistik di sana.

Kedua orang yang ditangkap bukanlah pegawai dari otoritas yang mengurus dwelling time itu. Mereka yaitu Herbin Polin Marpaung (47) dan Putri. Herbin merupakan Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Sumatera Utara yang membawa nama buruh, sedangkan Putri ditengarai sebagai makelar.

Wakapolda Sumut Brigjen Pol Adhi Parwoto menyatakan banyak instansi yang terkait dengan dwelling time, seperti Pelindo, Syahbandar, Karantina, dan Bea Cukai. Dia mengakui penyelidikan belum menyentuh instansi-instansi itu.

"Pelindo belum. Kita terus melakukan penyelidikan yang mendalam. Nanti kita laporkan hasil penyelidikannya," kata Adhi, Kamis (6/10).

Tersangka Herbin sendiri mengaku pihak Pelindo I mengetahui praktik yang dilakukannya. "Pelindo tahu. Saya kan masuk di sistemnya. Saya di sana sejak 2012," katanya.

Menurut Herbin, yang dilakukannya bukan pemerasan, melainkan murni bisnis. Dia mengaku membuat kesepakatan dengan pemilik barang dan menyepakati biaya bongkar muat Rp 141 juta.

"Saya deal dengan pemilik barang. Saya minta dia bayar Rp 75 juta untuk bayar panjar dulu, karena saya harus bayar 75 persen dari tarif. Saya berbisnis," ujarnya.

Herbin menyatakan pemilik barang tidak sanggup membongkar barangnya, sehingga buruh bongkar muat dilibatkan.

Namun, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut Kombes Pol Toga Habinsaran Panjaitan membantah pernyataan Herbin. Menurutnya buruh hanya dijadikan tameng untuk memeras perusahaan pemilik barang.

"Sebab di sana tidak menggunakan buruh. Sudah punya alat Pelindo, alat pemilik barang. Untuk kasus ini barangnya itu batu pecah, semua pakai mesin curah. Di mana buruhnya? Berapalah itu jumlahnya," sebut Toga.

Meski Herbin menyebut bisnisnya dilakukan sesuai kesepakatan, Toga menyatakan pelaksanaannya tidak sesuai prosedur. Tersangka mengenakan tarif bongkar muat batu pecah hingga Rp 40.000 per ton. "Padahal di Batam tarifnya hanya Rp 900 per kg. Kalau perusahaan menolak, tidak dibongkar. Ini kan memberatkan, biaya bongkar lebih mahal dari harga batunya," jelas Toga.

Dia juga menduga pihak Pelindo I pasti mengetahui praktik yang dilakukan tersangka Herbin Polin Marpaung (47) dan Putri. "Praktik seperti ini sudah berlangsung lama. Sudah bertahun-tahun," ucapnya.

Toga juga menyatakan mereka akan terus menyelidiki kasus ini. Bukan hanya terkait pemerasan, mereka juga mendalami biaya-biaya yang dibebankan kepada pemilik barang. Dia mencontohkan ada biaya buruh Rp 27.500 untuk penanganan setiap kontainer di Pelindo I. "Kita akan selidiki, sampai tidak itu ke tangan buruh," jelasnya.

Bahkan polisi sudah mencium adanya praktik uang pelicin jika kapal ingin lebih cepat bersandar. "Angkanya Rp 5 juta-Rp 7 juta. Ini masih kita selidiki," pungkas Toga.

(mdk/cob)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP