Perbaiki Kualitas Berita, AMSI Tawarkan Ide Berita Berbayar
Merdeka.com - Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut menawarakan ide berita berbayar. Hal ini lantaran semakin menurunnya kualitas berita disebabkan mengikuti algoritma mesin pencarian dan media sosial.
"Saya berpikir bahwa mengapa kita enggak paywall, kenapa kita enggak berbayar? Seperti Washington Post, seperti New York Time, lain-lain lah," kata pria yang akrab disapa Wens itu dalam acara Konferensi Nasional Komunikasi Humanis, Kamis (19/11).
Mekanisme ini disebut Wens, cenderung lebih ramah karena tak terpengaruh harus berebut pembaca mengikuti pakem-pakem algoritma ala mesin pencarian dan media sosial yang memancing wartawan untuk membuat konten berita dengan kualitas buruk.
-
Bagaimana Konten AI membantu Trending? Konten AI dapat membantu membuat konten yang relevan dan menarik, yang dapat membantu meningkatkan visibilitas dan popularitas konten tersebut.
-
Bagaimana cara kerja konten AI? Konten AI bekerja dengan mempelajari sejumlah besar data teks dan kode, lalu menggunakan informasi tersebut untuk membuat konten baru yang mirip dengan data aslinya.
-
Apa itu Konten AI? Konten AI adalah konten yang dibuat dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Dengan menggunakan algoritma dan data yang besar, AI dapat menghasilkan berbagai jenis konten seperti teks, gambar, audio, dan video.
-
Bagaimana cara membuat konten AI yang trending? Konten AI dapat dibuat dengan menggunakan berbagai alat dan teknik yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan teks, gambar, video, dan bahkan musik dengan cepat dan efisien.
Akan tetapi hal itu bukan tanpa hambatan. Masalahnya adalah karena suplai berita banyak, maka masyarakat akan sulit untuk mau membayar demi berita.
"Problem di kita itu satu ini over supply. Jumlah medianya terlalu banyak sehingga menyulitkan. Jadinya banyak (media) yang gratis, akan susah orang (mau) membayar," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum AMSI itu menilai algoritma pada mesin pencarian di internet begitu mengganggu kualitas berita. Pasalnya konten berita yang ditulis oleh seorang wartawan supaya dapat mudah ditemukan pembaca harus mengikuti pakem-pakem algoritma yang telah ditentukan.
"Yang kita bayangkan orang datang ke Google, bawa dengan keyword, Google bilang supaya berita anda itu ada di halaman pertama atau paling atas, itu keyword yang dicari itu harus ada di judul. Supaya berita itu ada di atau halaman pertama, keyword itu sesering mungkin muncul di body tulisan anda. Lebih bagus kalau keyword itu nongol dua kali di judulnya. Kan kacau sekali judul berita kalau mengikuti semua syarat dari si algoritma itu. Algoritma ini jelas mengganggu kualitas berita," ujar Wens.
Menurut Wens, hal ini akhirnya memaksa para wartawan untuk belajar search engine optimizer atau SEO. Di mana sebagai rumusan-rumusan dalam menulis agar dapat ditemukan pembaca di mesin pencarian.
"Sekarang juga wartawan harus belajar soal itu, SEO itu. Tidak cukup hanya belajar menulis, dia harus belajar SEO, dia harus belajar cara pikirnya Google, dan juga harus belajar cara pikirnya Facebook, kalau tidak gak akan ketemu dengan pembaca tulisan dia," ujar Wens.
Algoritma dalam Facebook yang menitikberatkan pada 'engagement' misalnya seperti comment, share dan juga like, juga berpotensi mengamplifikasi ujaran kebencian ataupun hoaks.
"Bayangin aja, kalau hate speech, kalau hoax itu tinggi engagement-nya, maka daya sebenarnya akan semakin cepat menggunakan rumusan algoritma seperti ini," jelas Wens.
Jika mekanisme ini dilanggengkan, maka menurut Wens lama-kelamaan akan mempengaruhi sikap wartawan dalam menulis konten berita. Imbasnya mereka akan tergoda membuat berita dengan kualitas rendah asalkan dapat meraup banyak pembaca.
"Eh agar berita itu viral, gini loh caranya. Engagement-nya harus diperhatikan. Mereka tergoda untuk bikin click bait, mereka tergoda untuk bikin berita menimbulkan polemik dan mengorbankan kualitas, karena ada algoritma engagement ini salah satunya," papar dia.
Muaranya, lanjut Wens jurnalis akan disetir oleh publik, bukan malah yang seharusnya yakni jurnalisme yang dikontrol oleh standar jurnalisme yang berlaku. Dan media akhirnya menulis apa yang disukai publik ketimbang apa yang seharusnya.
"Pada akhirnya justru media atau jurnalisme disetir oleh publik, bukan disetir oleh rumusan jurnalisme. Yang makin disukai diklik banyak orang, dikonter banyak orang, makin tinggi di-share itu yang diproduksi oleh media," ucap Wens.
Reporter: Yopi MakdoriSumber: Liputan6.com (mdk/fik)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
AI merupakan pembunuh publisher right. Dengan adanya AI, poin utama dan isu terkait publisher right ini bisa berubah.
Baca SelengkapnyaAMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.
Baca SelengkapnyaTerobosan yang baru pertama kali diterapkan di dunia ini diprediksi akan menjadi tren baru tampilan media online ke depan.
Baca SelengkapnyaTanpa adanya regulasi yang jelas, media siber cenderung tidak mendapatkan insentif dari berita atau konten yang diambil oleh platform digital.
Baca SelengkapnyaAlat tersebut diharapakan dapat membantu jurnalis dalam menyusun berita.
Baca SelengkapnyaRegulasi ini akan memberi jaminan kepada media-media lokal maupun nasional.
Baca SelengkapnyaAgar tetap menyesuaikan dengan pembaca, Kapanlagi Youniverse melakukan terobosan.
Baca SelengkapnyaDewan pers bersama konstituen dan pemerintah sudah memiliki kesamaan pandangan soal perpres publisher rights untuk segera disahkan
Baca SelengkapnyaPakar Siber AS Ungkap Bahaya AI, Warga Bisa Ditelepon dengan Suara Presiden
Baca SelengkapnyaMenurut dia, revisi UU Penyiaran merupakan sebuah kewajiban
Baca SelengkapnyaMenyiapkan diri, bangsa, dan negara memanfaatkan AI dan menanggulangi dampak buruknya bukan lagi suatu pilihan, namun menjadi keharusan.
Baca Selengkapnya