Perenungan Kasus Pengeroyokan Siswi SMP di Pontianak dan Arus Media Sosial
Merdeka.com - Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso mengatakan terpaan media sosial bisa memengaruhi sikap atau perilaku sosial seseorang, termasuk perilaku bullying.
"Memang, dari berbagai studi, ada kaitan erat antara budaya dan media pada era modern ini, termasuk juga media sosial," katanya di Purwokerto, Rabu (10/4/2019), dilansir Antara.
Edi Santoso yang merupakan dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman tersebut mengatakan pada era riset komunikasi massa, ditemukan fakta kaitan antara terpaan media dan sikap atau perilaku sosial.
-
Apa itu bullying? Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh individu atau kelompok terhadap seseorang yang dianggap lebih lemah. Tujuan dari perilaku ini adalah untuk menyakiti, mengintimidasi, atau menguasai korban, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.
-
Siapa saja yang terdampak bullying? Perilaku bullying tak hanya berdampak pada korban, tetapi juga pelaku.
-
Apa penyebab bullying? Seringkali, individu yang menjadi korban bullying di masa lalu berpotensi menjadi pelaku bullying di kemudian hari. Anak-anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan tersebut cenderung melampiaskan rasa sakit yang mereka rasakan dengan cara menindas teman-teman yang dianggap lebih lemah.
-
Kenapa anak terlibat dalam bullying? Anak-anak dapat terlibat dalam tindakan bullying karena berbagai alasan, seperti rasa cemburu, kurangnya kepercayaan diri, atau merasa lebih unggul dibandingkan teman-temannya. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa mereka melakukan bullying sebagai bentuk balas dendam terhadap pengalaman buruk yang mereka alami.
"Kalau kita bicara generasi milenial, media yang lekat dengan kehidupan mereka adalah media sosial. Ada peningkatan tindak kekerasan ini di kalangan milenial. Seperti tawuran, siswa lawan guru, bullying, dan lain sebagainya," katanya.
Masalah perisakan pada anak kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus yang menimpa seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Peristiwa yang menimpa Audrey, korban penganiayaan belasan murid SMA, menyebar luas di dunia maya dan membuat tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama dalam dua hari terakhir.
Dari perspektif psikologi, kata dia, anak-anak usia SMA merupakan transisi menuju fase dewasa, di mana rujukan perilaku mereka adalah teman atau 'peer group' dan bukan lagi orangtua.
"Beragam aksi bullying sangat mungkin menginspirasi atau memunculkan efek imitasi atau peniruan bagi yang lain," katanya.
Kendati demikian, kata dia, ada yang lebih mendasar jika berbicara mengenai media sosial.
"Bukan semata efek imitasi, tapi medsos itu sendiri telah membentuk habitus tersendiri. Teknologi digital misalnya, dianggap telah menciptakan mental atau cara berpikir zig-zag, nonlinier," katanya.
Dia menambahkan, dalam perilaku, mental seperti itu terekspresi dalam keberanian bertindak, dan memikirkan risiko belakangan.
"Digitalisasi juga memunculkan mental serba instan, 'tergesa-gesa'. Itu terekspresikan dalam kecenderungan sikap reaktif, terburu-buru, impulsif," katanya.
Selain itu, kata dia, interaksi secara virtual juga berpotensi mereduksi nilai-nilai sosial.
"Budaya guyub, hangat, tergantikan oleh praktik interaksi yang miskin emosi. Nilai-nilai empati tergerus oleh ilusi eksistensi. Di situlah, kita melihat kasus Audrey terjadi, konflik terbangun dalam interaksi melalui medsos. Sementara kita tahu, banyak pesan yang tereduksi dalam komunikasi via medsos. Aspek-aspek nonverbal, makin menghilang, meskipun ada emoticon," katanya.
Dengan demikian, potensi orang menjadi salah paham lebih besar, ketika aspek nonverbal tidak hadir.
"Misalkan, orang bercanda bisa dianggap serius atau sebaliknya," katanya.
Di juga mengatakan bahwa aksi perundungan hanya salah satu ekspresi perilaku agresi.
"Dan kecenderungan agresi bisa dipicu oleh banyak hal, termasuk juga oleh game online yang banyak berisi konten kekerasan. Intinya, sangat mungkin perilaku seperti itu dipengaruhi oleh media yang mereka pakai sehari-hari," katanya.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kasus bullying atau perundungan makin marak dalam sebulan terakhir.
Baca SelengkapnyaMiris, seorang bocah SD di Situbondo mengaku ikut-ikutan tren viral media sosial dengan menyakiti diri sendiri.
Baca SelengkapnyaTerlebih bukan lagi cuma bully secara verbal, namun sudah mengarah ke tindakan kriminal.
Baca SelengkapnyaSaat ini, tiga orang siswa yang melakukan tindak perundungan atau bullying sudah diperiksa.
Baca SelengkapnyaPolisi menyita barang bukti senjata tajam jenis corbek panjang dan celurit yang digunakan untuk melukai korbannya.
Baca SelengkapnyaPolisi mengungkap kasus perundungan, yang dilakukan oleh gerombolan siswa SMA Binus BSD Serpong.
Baca SelengkapnyaDeretan kasus di atas hanya segelintir. Tentu kondisi tersebut sungguh miris. Pelajar seorang tak lagi menunjukkan sikap sebagai seorang anak terpelajar.
Baca SelengkapnyaSejauh ini motif tawuran diduga akibat saling ejek di media sosial.
Baca SelengkapnyaPolisi juga mendapati beberapa pelaku di antaranya positif narkotika melalui tes urine yang dilakukan.
Baca SelengkapnyaKapolresta Cilacap, Kombes Fannky Ani Sugiharto mengaku mendapat telepon dari staf kepresidenan, Panglima TNI, Kapolri.
Baca SelengkapnyaPolisi telah mengetahui pelaku perundungan siswi SMP itu berjumlah delapan orang.
Baca SelengkapnyaWarga yang kumpul di depan rumah menyorakinya dengan kata-kata kasar.
Baca Selengkapnya