Perjuangan Dwi Aryani lawan Etihad Airways demi keadilan penyandang disabilitas
Merdeka.com - Semua manusia ingin terlahir sempurna. Namun Tuhan selalu punya rencana yang istimewa di balik ketidaksempurnaan makhluk yang dia ciptakan.
Itu pula yang menjadi kekuatan Dwi Aryani. Dia tak takut melawan salah satu maskapai raksasa di Uni Emirat Arab (UEA) setelah mendapat perlakuan diskriminasi pramugari. Sebagai penyandang disabilitas, dia tak menyangka mendapat perlakuan tak mengenakkan dari sebuah maskapai besar bernama Etihad Airways.
Sekadar mengingat ke belakang, peristiwa itu terjadi 2 April 2016 lalu. Saat itu, Dwi hendak terbang dari Surakarta tujuan Jenewa, Swiss. Namun pesawat lebih dulu transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
-
Apa yang membuat Etihad Airways menjadi maskapai termahal? Etihad Airways dinyatakan sebagai salah satu maskapai paling mewah dan mahal di dunia. Berkat suite mewah dari maskapai “The Residence“, Anda dapat melihat maskapai ini sebagai hotel.
-
Dari mana Etihad Airways terbang ke Bali? Maskapai penerbangan nasional Uni Emirat Arab (UEA), Etihad Airways melakukan pendaratan untuk pertama kalinya di Denpasar, Bali pada hari Rabu (3/7) lalu.
-
Apa yang membuat Batik Air menyampaikan permintaan maaf? Batik Air menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan tersebut. Batik Air akhirnya memberikan penjelasan terkait video viral yang menunjukkan kepanikan penumpang di pesawat rute Makassar ke Jakarta, beberapa waktu lalu.
-
Apa tujuan Etihad Airways di Bali? Pendaratan ini menandai peluncuran layanan reguler antara Abu Dhabi dan destinasi pulau surga tersebut.
-
Bagaimana Etihad Airways meningkatkan kenyamanan penerbangan? Pesawat yang digunakan yakni Boeing 787-9 Dreamliner canggih yang dilengkapi kursi Business Studios dan Economy Smart yang terkenal dari Etihad.
-
Kapan Etihad Airways pertama kali terbang ke Bali? Maskapai penerbangan nasional Uni Emirat Arab (UEA), Etihad Airways melakukan pendaratan untuk pertama kalinya di Denpasar, Bali pada hari Rabu (3/7) lalu.
"Saya check in pukul 22.00 WIB (Sabtu, 2 April). Pesawat boarding sekitar pukul 00.15 WIB (Minggu, 3 April)," kata Dwi saat diwawancara 6 April silam. Tepat dua hari setelah pengalaman tak mengenakkan itu terjadi.
Setelah proses check-in selesai dilakukan, Dwi menyampaikan pada petugas dirinya butuh kursi roda kecil yang akan digunakan saat penerbangan. Petugas kemudian memastikan ketersediaan kursi roda yang Dwi minta.
Singkat cerita, saat proses boarding berjalan lancar Dwi masuk ke pesawat dan duduk di kursi bagian lorong, tepatnya di kursi nomor 15C. Beberapa saat kemudian, terjadilah insiden tersebut.
"Ada kru kabin tanya 'Apakah Anda bersama pendamping?'. Saya jawab tidak," ungkap Dwi.
Beberapa kru kemudian ikut mendekati dirinya. Dia ditanya apakah terbang bersama pendamping atau jika seorang diri maka diminta turun dari pesawat.
"Saya sering terbang sendirian. Saya diminta turun. Barang-barang saya sudah dikeluarkan," kata Dwi.
Dwi merasa tidak terima dengan perlakuan kru pesawat itu. "Dia bilang ke saya, 'kalau semua penumpang lari, Anda akan ketinggalan'. Saya bilang ke dia, saya akan berusaha menyelamatkan diri saya sendiri bagaimanapun caranya," ucap Dwi.
Ragam alasan yang disampaikan kru yang pada intinya Dwi tetap ditolak terbang dalam penerbangan tersebut. Kru tersebut bersikukuh Etihad Airways memiliki prosedur membolehkan penumpang difabel untuk bepergian selama bersama pendamping.
"Saya sempat baca di situsnya, mereka sebenarnya tunduk pada Undang-undang (UU) non-diskriminasi untuk Amerika Serikat. Seharusnya, mereka tunduk pada aturan di semua negara di mana mereka beroperasi," ucap Dwi.
Dwi yang batal terbang kemudian menginap di hotel FM7 yang letaknya tidak terlalu jauh dari bandara. Etihad Airways sempat menjanjikan akan mengembalikan seluruh biaya tiket yang sudah dikeluarkan Dwi sebesar 1663 dolar Amerika Serikat, setara Rp 22 juta.
"Sampai sekarang saya belum mendapat kabar lagi soal refund (pengembalian). Saya pulang ke Surakarta saja dengan tiket yang saya beli sendiri lho," ujar dia saat itu
Dwi menyayangkan kejadian ini. Selama berpuluh tahun bepergian dengan pesawat ke pelbagai negara, baru kali ini dirinya mengalami diskriminasi sebagai penyandang disabilitas.
"Ini sudah kelewatan. Tidak boleh terjadi lagi," ucap Dwi.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dwi kemudian melayangkan gugatan terhadap tiga Perusahaan Maskapai Etihad Airwarys dan PT Jasa Angkasa Semesta. Pada Senin 4 Desember 2017 kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan gugatan yang dilayangkan Dwi Aryani.
Adapun putusan hakim, perusahaan Maskapai Etihad Airwarys melawan hukum kepatutan dan melakukan diskriminasi terhadap Dwi. "Mengadili dalam eksepsi menolak tergugat 1,2,4. Dalam pokok perkara mengabulkan untuk sebagian. Menyatakan tergugat 1 melawan hukum," kata Hakim Ketua Ferry Agustina Budi Utami, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/12).
Maskapai penerbangan Etihad dinilai melanggar Pasal 134 UU 1 tahun 2009 tentang Pelayanan Dalam Penerbangan Terhadap Penumpang Penyandang Cacat.
Selain itu, majelis hakim juga meminta maskapai Etihad Airways membuat permohonan maaf di salah satu media cetak. Kemudian pihak Etihad juga harus membayar ganti rugi Rp 37 juta dan biaya inmaterial sebesar Rp 500 juta.
"Menghukum untuk membayar ganti rugi Rp 37juta. Dan inmaterial 500 juta," kata Ferry.
Sementara gugatan untuk II yaitu PT Jasa Angkasa Semesta ditolak karena menilai mereka telah melaksanakan tugas dan memberikan fasilitas terhadap Dwi. Seperti mengantarkan ke ruang tunggu sehingga tidak dikenakan hukuman.
"Bahwa penggugat kedua telah melaksanakan tugasnya dan memberikan fasilitasnya. Serta mengantar ruang tunggu. Yaitu kursi nomor 15c. Berupa standar agreement bahwa mewajibkan menyediakan pelayanan. Dan penggugat ke II tidak punya kewenangan dalam hal melarang untuk tidak terbang," kata Ferry.
Usai Ferry membacakan putusan, Dwi langsung mengucap syukur. Putusan tersebut, kata Dwi, bukan hanya kemenangan untuk dirinya melainkan untuk seluruh penyandang disabilitas apalagi bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional.
"Sangat berarti bagi kita semua karena ini menjadi tolak ukur hak-hak disabilitas di Indonesia harus terus diperjuangkan," kata Dwi usai mendengarkan putusan.
"Ini merupakan hadiah dan kado yang terindah untuk hari disabilitas kita International yang di peringati pada Minggu (3/12) kemarin," sambungnya.
Dia menjelaskan dari putusan tersebut terlihat bahwa akses layanan publik untuk kaum disabilitas harus dihormati. Dia juga berharap dengan adanya kejadian tersebut pihak maskapai penerbangan lain tidak mengulangi lagi.
"Kita harapkan bahwa kejadian ini tidak akan terulang di kemudian hari karena tujuan kita melakukan gugatan adalah supaya tidak ada lagi terjadi dilakukan oleh maskapai yang lain bagi penyandang disabilitas yang lain terutama penerbangan international," tambah Dwi.
Dwi juga menegaskan, langkahnya menggugat Etihad bukan untuk mencari popularitas. "Karena mendengar jawaban pengacara (Etihad Airways) sangat menohok. Salah satu yang melukai secara psikis yaitu kasus ini dianggap untuk saya mencari popularitas. Saya mempertanyakan popularitas yang mana?" kata Dwi.
Dwi mengatakan, tidak ada kaum disabilitas yang ingin mencari popularitas dengan cara diusir oleh maskapai penerbangan. Dia menilai pihak Etihad tidak manusiawi lantaran menolak kaum disabilitas untuk terbang.
"Ya enggak ada, enggak perlu gitu mencari sensasi apa dari hal ini. Justru kami sangat-sangat kok manusia enggak ada harganya gitu. Diperlakukan seperti itu. Seperti barang diseleksi. Enggak layak, disuruh pergi begitu aja tanpa penjelasan yang pasti," ungkap Dwi.
Menanggapi putusan hakim, kuasa hukum Etihad Airways, Gerald Saratoga Sarayar, yang ditemui usai sidang mengaku belum bisa berkomentar banyak. Menurutnya, pihak Etihad-lah yang tepat mengomentari putusan hakim.
"Untuk saat ini saya enggak bisa ngasih apa-apa. Enggak bisa ngasih ngomong apa-apa. Kita sebagai kuasa hukum enggak bisa apa-apa. Apapun nanti itu putusan nanti kita dari PT Etihad sendiri," kata Gerald.
"Oh kita belum bisa berbicara itu keputusan nanti. Belum ada apa-apa. Dan kita belum punya kuasa untuk berbicara," ungkapnya meninggalkan gedung.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan.
Baca SelengkapnyaPermohonan maaf tersebut disampaikan oleh Vice President Umrah dan Haji Garuda Indonesia, Ubay Ihsandi.
Baca SelengkapnyaJaksa juga mengenakan biaya pengganti kepada Emirsyah sebesar USD 86.367.019.
Baca SelengkapnyaIngat, penumpang Etihad Airways dilarang untuk membawa barang pribadi tambahan ke dalam pesawat.
Baca SelengkapnyaMandala Airlines kini berganti nama menjadi Tigerair Mandala.
Baca SelengkapnyaJika keberangkatan dari Indonesia menuju negara Timur Tengah, maka dikenakan biaya tambahan sebesar USD36 atau setara Rp566.000 per kg.
Baca SelengkapnyaPengadilan Tipikor menjatuhkan vonis lima tahun penjara terhadap mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar.
Baca SelengkapnyaSurat itu ditulis tangan Sultan untuk Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.
Baca SelengkapnyaHal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 memberlakukan aturan kompensasi untuk keterlambatan dan penundaan penerbangan.
Baca SelengkapnyaAkibatnya jemaah dan petugas mencari-cari setelah mereka mereka mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah.
Baca Selengkapnya"Dia tidak turun dari mobilnya dan pergi begitu saja. Padahal dia sadar kalau dia lindas anakku," kata Ibu korban.
Baca SelengkapnyaDalam Pasal 9 Ayat 1 disebutkan, badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompensasi sesuai dengan kategori keterlambatan.
Baca Selengkapnya